Rania menjalani kehidupan yang monoton. Penghianatan keluarga, kekasih dan sahabatnya. Hingga suatu malam, ia bertemu seorang pria misterius yang menawarkan sesuatu yang menurutnya sangat tidak masuk akal. "Kesempatan untuk melihat masa depan."
Dalam perjalanan menembus waktu itu, Rania menjalani kehidupan yang selalu ia dambakan. Dirinya di masa depan adalah seorang wanita yang sukses, memiliki jabatan dan kekayaan, tapi hidupnya kesepian. Ia berhasil, tapi kehilangan semua yang pernah ia cintai. Di sana ia mulai memahami harga dari setiap pilihan yang dulu ia buat.
Namun ketika waktunya hampir habis, pria itu memberinya dua pilihan: tetap tinggal di masa depan dan melupakan semuanya, atau kembali ke masa lalu untuk memperbaiki apa yang telah ia hancurkan, meski itu berarti mengubah takdir orang-orang yang ia cintai.
Manakah yang akan di pilih oleh Rania?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#8
Happy Reading...
.
.
.
Hari ini setelah berdebat dengan atasannya, Rania memutuskan untuk pulang tepat waktu. Tidak ada alasan untuk tetap bertahan di kantor lebih lama. Tidak ada lembur seperti biasanya. Tidak ada lagi keinginan untuk menenggelamkan diri dalam tumpukan pekerjaan hanya agar ia tidak perlu berhadapan dengan dunia luar.
Untuk saat ini yang ia inginkan hanyalah pulang. Meski rumah bukan tempat yang memberikan kehangatan, tapi setidaknya ia butuh menjauh dari lingkungan kantor yang semakin membuatnya sesak.
Begitu jam pulang berbunyi, Rania langsung mematikan komputer dan merapikan barang-barangnya. Beberapa rekan kerja yang melihatnya ikut berkemas mengerutkan keningnya dengan raut terkejut.
“Kamu tidak lembur, Ran?” tanya salah satu dari mereka dengan nada yang seolah mempertanyakan sikap Rania.
Rania hanya tersenyum tipis. “Tidak. Aku pulang.”
Temannya mengerutkan kening. “Biasanya kamu yang paling akhir. Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa,” jawab Rania singkat.
Ia benar, tidak ada apa-apa. Tidak ada satu hal pun yang membuatnya ingin bertahan di tempat itu lebih lama. Tidak ada yang peduli ketika ia lembur sampai tengah malam selama ini, jadi mengapa ia harus bertahan? Mengapa ia harus terus mengorbankan waktunya hanya untuk orang-orang yang menganggapnya tidak lebih dari alat?
Dengan langkah pelan namun pasti, Rania meninggalkan kantor. Udara sore yang menyentuh kulitnya terasa berbeda, lebih dingin tapi juga lebih menenangkan. Sudah lama ia tidak merasakan perasaan sederhana seperti ini.. Perasaan bebas seolah beban yang ada di atas pundaknya berkurang meski hanya sedikit.
Rania menikmati udara Jakarta sore itu. Ramai, penuh suara klakson dan lampu-lampu kendaraan yang berbaris seperti tak berujung. Namun di tengah hiruk pikuk itu, Rania justru merasa ada sisi kosong. Terlalu kosong.
Ia menghela napas panjang. “Apa hidupku hanya akan seperti ini terus?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Saat masih di perjalanan ponsel Rania berulang kali bergetar di dalam tasnya, namun Rania memilih mengabaikannya. Ia sudah terlalu lelah untuk menghadapi siapa pun hari ini. Namun setelah deringan itu terus muncul tanpa henti, ia mulai merasa terganggu.
Ia menghela napas panjang, meraih ponselnya, dan melihat nama yang tertera di layar.
Alisa.
Rania memejamkan mata sesaat. “Ada apa lagi…” gumamnya pelan, mencoba menyiapkan diri untuk berita apa pun. Akhirnya ia menekan tombol hijau lalu menggeser ke atas.
“Halo...”
“Kak! Kakak dimana sekarang? Kakak tolong… kakak cepat ke rumah sakit!” suara Alisa pecah begitu sambungan terhubung. Napasnya terdengar tersengal, seperti baru saja menangis hebat. “Papa kak… papa… tolong Kak…”
Rania langsung menegang. “Apa maksud kamu? Papa kenapa?”
“Papa kena serangan jantung! Kak, tolong cepat! Dokter bilang kondisinya kritis!” suara Alisa semakin tinggi, penuh panik dan ketakutan.
Rania terdiam beberapa detik. Sejujurnya masih ada kemarahan di dalam hatinya, ada luka yang belum sembuh. Tetapi kabar itu seolah meruntuhkan dinding yang sudah susah payah ia bangun.
“Baik. Kakak ke sana sekarang. Kirim lokasinya,” ucap Rania dengan suara gemetarnya.
Ia langsung memanggil taksi yang baru lewat. Begitu masuk, ia berkata dengan terburu-buru, “Pak, tolong ke alamat ini.”
Supir itu mengangguk dan segera menjalankan mobil.
Sepanjang perjalanan, Rania hanya memandang keluar jendela, pikirannya kosong. Ia tidak pernah benar- benar bisa membenci kedua orang tuanya bahkan papanya. Ia hanya kecewa, merasa tidak dianggap… namun ia tidak pernah membayangkan akan mendengar kabar seperti ini. Setiap kata dari Alisa masih bergema di kepalanya.
Papa… kritis.
Seketika dada Rania terasa berdenyut.
Beberapa menit kemudian, taksi berhenti di depan rumah sakit. Rania turun tergesa-gesa, bahkan tanpa menunggu kembalian. Langkahnya cepat, hampir berlari menuju resepsionis.
“Permisi, saya mencari pasien atas nama Dewa... Dewa Pratama,” ucapnya terburu-buru.
Petugas itu menatapnya dengan raut yang seketika membuat jantung Rania berdetak lebih cepat. “Keluarga pasien?”
“Iya… saya anaknya.”
Petugas itu mengangguk pelan. “Silakan ke ruang ini…” Ia memberikan kertas kecil sambil berkata dengan suara rendah, “Keluarga sudah menunggu.”
Ada sesuatu dari nada itu yang membuat lutut Rania melemah.
Namun ia tetap berjalan. Setiap langkah terasa berat, seolah lantai rumah sakit ingin menahannya. Begitu sampai, ia melihat Alisa duduk sambil menangis dalam pelukan Melisa. Wajah Mamanya pucat, mata sembab. Begitu melihat Rania, Alisa langsung berdiri dan berlari memeluknya.
“Kak… papa…” suara Alisa terputus-putus.
Rania membalas pelukkan adiknya untuk pertama kalinya setelah sekian lama. “Di mana Papa? Dokter bilang apa?”
Melisa mengangkat wajah, menatapnya dengan mata merah.
“Papa kamu…” suaranya bergetar. “Papa kamu sudah tidak ada, Rania.” Bukan Alisa, tapi Melisalah yang menjawab dengan tatapan kosong dan air mata yang masih setia mengalir
Dunia Rania seolah berhenti.
“Apa…?” ia hampir tidak bisa mendengar suaranya sendiri.
“Papa kamu meninggal...” lanjut Melisa dengan suara serak. “Dokter sudah berusaha. Tapi… semuanya terlambat.”
Rania terpaku. Tubuhnya kaku. Kata-kata itu menusuk masuk ke dadanya, menciptakan ruang kosong yang tiba-tiba terasa semakin besar.
Tidak ada suara. Tidak ada gerakan. Hanya keheningan yang menyakitkan.
Alisa menangis semakin keras, memeluk Rania seolah takut kehilangan kakaknya juga. Rania mengangkat wajah, air mata mulai mengalir tanpa bisa ia tahan. “Papa… kenapa mendadak begini…” ucapnya pelan, suaranya serak.
Ia merasa dadanya seperti dihantam sesuatu yang tidak terlihat. Semua hal yang belum sempat ia ucapkan, semua perdebatan, semua luka, semuanya berputar di dalam ingatannya seolah kembali menghantam dirinya satu persatu.
Dan untuk kesekian kalinya… Rania menangis bukan karena diabaikan... bukan karena terluka... Tetapi karena rasa kehilangan.
.
.
.
Rania melangkah perlahan memasuki ruangan itu bersama Melisa dan adiknya, Alisa. Udara dingin dari pendingin ruangan bercampur dengan aroma obat dan alkohol yang masih terasa jelas di indra penciumannya. Di tengah ruangan, terbaring tubuh Dewa. Beberapa alat medis masih menempel, seolah belum sempat dilepas sepenuhnya. Pemandangan itu membuat langkah Rania sempat terhenti.
Melisa menarik napas panjang, sementara Alisa memegang lengan ibunya dengan kedua tangan yang gemetar. Keduanya terus berjalan mendekat dan Rania menyusul di belakang mereka. Saat tiba di sisi ranjang, Rania mengulurkan tangan dengan perlahan. Tangannya akhirnya menyentuh tangan dingin sang papa. Tanpa sadar, ia menggenggamnya erat.
“Pa…” suara Rania bergetar, hampir tidak terdengar. “Rania datang, Pa…”
Di belakangnya, Melisa dan Alisa saling berpelukan untuk menguatkan satu sama lain. Isak kecil Alisa terdengar sesekali, sementara Melisa hanya mampu menahan tangis di bahu putrinya. Rania berdiri di sisi jasad papanya, seolah dunia hanya menyisakan dirinya dan penyesalan itu.
"Seandainya aku tahu Papa akan pergi secepat ini…" batin Rania. "Aku tidak akan menghindari papa. Aku tidak akan menolak ajakan Papa makan malam waktu itu. Aku tidak akan bersikap dingin hanya karena aku ingin terlihat kuat."
Rania menunduk lebih dalam. Ia ingin menangis tapi tak bisa.
"Jika aku tahu ini akhirnya… Aku akan tetap menjadi Rania yang dulu.."
“Pa… maafkan Rania…” bisiknya lirih, menggenggam tangan dingin itu semakin erat. “Rania menyesal… sangat menyesal…” Rania mengusap punggung tangan papanya yang sudah tak bernyawa.
"Jika waktu bisa diputar ulang… hanya sebentar saja… Rania ingin meminta maaf." Ucap Rania lirih bahkan hampir tak terdengar.
Namun keheningan kamar itu seolah menjawab semuanya. Kini yang tersisa hanyalah penyesalan Rania.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak...