Masih kelanjutan dari PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN.
Petualangan Aji kali ini lebih kelam. Tidak ada Pretty, dkk. Hanya dirinya, Sari (adiknya), bidadari nyentrik bernama Nawang Wulan, Tumijan, Wijaya, dan beberapa teman barunya seperti Bonar dan Batubara.
Petualangan yang lebih kelam. Agak-agak horor. Penuh unsur thriller. Sungguh tak bisa ditebak.
Bagaimanakah dengan nasib Pretty, dkk? Oh, tenang, mereka masih memiliki porsi di serial ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tengah Digojlok Keras
"AYO, CEPAT!" Jaka Kerub terus memberikan semangat. Sekaligus ia memerintahkan Aji untuk terus berlari.
Tak peduli napas Aji yang sudah terengah-engah. Aji yang sudah beberapa kali mengambil posisi setengah jongkok. Pokoknya Aji harus terus berlari.
Hari ini latihan Aji adalah berlari kecil-kecilan di sekitar sungai kecil. Jalan yang harus ditempuh Aji pun tak mudah. Berbatu-batu. Kadang harus menghindari dahan. Bahkan Jaka Kerub acap iseng. Jaka Kerub membiarkan Aji dikejar-kejar babi hutan.
Jaka Kerub tertawa terbahak-bahak. "Hahaha... aku memang sengaja, Aji. Jika fisik itu kuat, batin kita pun kuat. Pikiran kita juga sulit ditembus, apalagi coba manipulasi. Rata-rata orang-orang perkasa, mereka memiliki ketangguhan pikiran pula."
Aji tak bisa marah. Jika direnungkan sekali lagi, Jaka Kerub benar. Setiap aktivitas fisik ini, mungkin tak sekarang, pasti kelak akan berguna. Ia teringat kata-kata gurunya saat masih di desa dekat Majapahit.
"Ambil saja semuanya. Tak semuanya langsung berguna. Mereka akan berguna di waktu yang tepat."
Kata-kata itu bergema di kepala Aji saat kakinya kembali menghantam batu, hampir terpeleset. Ia menjerit kecil, lalu berusaha menyeimbangkan tubuhnya. Sungai kecil di samping jalur itu berkelok, airnya jernih namun licin di bebatuan. Napasnya terasa seperti terbakar, dada naik-turun tak beraturan.
“Jangan berhenti!” teriak Jaka Kerub dari belakang. lelaki tua itu berlari ringan, seolah tanah tidak memberinya beban sedikit pun. “Berhenti melakukan sesuatu itu sesungguhnya merupakan kemewahan dari orang yang tidak sedang diburu!”
Aji ingin membalas, tapi napasnya habis. Ia hanya mengangkat tangan, isyarat meminta waktu. Namun sebelum permintaan itu selesai terbentuk, dari balik semak terdengar suara dengusan keras.
Prak!
Seekor babi hutan melompat keluar, matanya merah, taringnya berkilat terkena cahaya matahari yang menyusup di antara daun. Tanpa banyak pikir, Aji menjerit dan berlari lebih kencang.
“Kurang ajar kau, Kakek!” teriak Aji sambil berlari zig-zag.
“Hahaha... justru bagus begitu...” Jaka Kerub tertawa terbahak. “Tak ada guru yang lebih jujur dari rasa takut itu sendiri.”
Aji memaksa kakinya terus melangkah. Dahan rendah menyapu wajahnya, membuat goresan tipis di pipi. Kerikil melukai telapak kaki. Yang anehnya, di tengah kepanikan itu, pikirannya justru menjadi jernih. Ia tidak lagi memikirkan Sari, tidak memikirkan lubang hitam atau dunia lain. Yang ada hanya satu. Ia hanya bisa bertahan hidup di detik ini.
Di situlah, tanpa ia sadari, latihannya sedang bekerja. Di saat seekor babi hutan itu terlalu dekat, Aji mendadak berbelok, melompat ke batu besar di tepi sungai, lalu meloncat turun ke air dangkal. Tubuhnya basah, tapi babi itu berhenti di tepi, menggeram kesal sebelum akhirnya berbalik.
Aji terjatuh telentang di sungai, air mengguyur wajahnya. Napasnya tercabik-cabik, tapi ia tertawa kecil. Bukan tawa senang. Itu lebih seperti tawa orang yang baru lolos dari kematian.
Jaka Kerub berdiri di tepian, menyilangkan tangan. “Nah, kau mulai mendengarkan tubuhmu sendiri.”
Aji bangkit dengan susah payah. “Kalau aku mati, sia-sia saja semua ajaranmu.”
“Kalau kau mati,” jawab Jaka Kerub ringan, “itu berarti kau belum pantas menyelamatkan siapa pun.”
Kalimat itu menusuk, tapi Aji tidak membantah. Ia tahu jalan yang dipilihnya memang seperti itu. Bahwa tak ada jaminan pulang.
Mereka lalu berjalan kembali ke pondok. Aji tertatih, tubuhnya penuh lumpur. Jaka Kerub menyerahkan air dan menyuruhnya duduk menghadap sungai.
“Sekarang,” katanya, “pejamkan mata. Coba dengarkan tubuhmu.”
Aji menuruti. Detak jantung masih keras. Namun perlahan, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya tidak. Ada ruang kosong di dalam kepalanya, tidak diisi ketakutan, tidak juga oleh penyesalan.
“Di sinilah orang mudah dimasuki,” ujar Jaka Kerub, seolah membaca pikirannya. “Saat lelah tapi pikiran tetap gaduh. Kau baru saja sudah melampaui batas itu.”
Aji mengangguk pelan.
“Sekarang, coba rasakan dunia sekelilingmu,” lanjut Jaka Kerub. “Bukan dengan pikiran. Tapi, dengan keberadaanmu.”
Aji menarik napas. Ia mendengar air mengalir. Angin menyentuh kulitnya. Jauh, ada suara burung. Sesuatu yang lain. Seperti benang tipis yang ditarik dari dadanya ke arah yang sangat jauh.
Aji membuka mata. “Sari..."
Jaka Kerub menatapnya tajam. “Kau merasakannya?”
“Tidak jelas,” kata Aji. “Tapi… arahnya dari arah laut.”
Jaka Kerub tidak terkejut. Ia justru menghela napas panjang. “Pesisir. Dekat selat itu."
Aji berdiri, tubuhnya kembali tegang. “Kau tahu?”
“Aku tahu,” jawab Jaka Kerub. “tapi belum pernah ke sana secara langsung. Aku sering mendatangi tempat itu secara roh atau di alam mimpi.”
“Aku tidak punya waktu lagi, Kek,” desak Aji. “Kalau manusia yang menculiknya, mereka bisa memindahkan Sari kapan saja.”
“Justru karena itu,” ujar Jaka Kerub dingin, “kau harus belajar satu hal hari ini.”
Sekonyong-konyong Jaka Kerub berdiri di depan Aji, menancapkan tongkatnya ke tanah.
“Manusia yang merasa menguasai makhluk tak kasatmata,” lanjutnya, “adalah yang paling ceroboh. Mereka mengira bisa memerintah sesuatu yang bahkan tidak sepenuhnya mereka pahami. Di situlah celahmu.”
“Bagaimana caraku masuk?” tanya Aji.
“Bukan masuk,” koreksi Jaka Kerub. “Kau harus mendekat tanpa dilihat musuh-musuh kau itu.”
Ia menyuruh Aji duduk bersila. Kali ini, bukan semedi panjang. Hanya hitungan napas.
“Bayangkan dirimu bukan sebagai tujuan,” kata Jaka Kerub. “Tapi sebagai jalan.”
Aji menelan ludah. Ia mengikuti instruksi. Dunia sekeliling mengabur, bukan menghilang, tapi menjadi jauh. Tubuhnya terasa ringan. Itu bukan seperti saat lubang hitam datang, melainkan seperti berdiri di tepi bayangan sendiri.
“Ada orang-orang yang sedang memanggil sesuatu,” suara Jaka Kerub terdengar samar. “Dan ada sesuatu yang menjawab. Itulah simpulnya.”
Sekejap, Aji melihat kilasan. Ada rumah panggung di pesisir, api kecil, dua bayangan lelaki, dan seorang gadis terikat. Wajahnya pucat, tapi matanya menyala marah.
Aji terhuyung mundur, membuka mata.
“Kau sudah melihatnya, kurasa,” kata Jaka Kerub pelan.
“Ya.”
“Itu cukup untuk hari ini,” ujar Jaka Kerub.
“Kesabaran adalah senjata yang tidak dimiliki para pengkhianat.”
Aji mengepalkan tangan. Tubuhnya sakit, tapi hatinya mantap. Ia tahu sekarang bahwa semua latihan ini bukan tentang menjadi kuat, melainkan agar tidak mudah ditarik dengan mudahnya. Agar ia menjadi lebih bijaksana. Jika ia bijaksana, maka ia akan tidak mudah diperalat oleh siapa pun.
Jauh di pesisir selat, dua penjaga yang merasa aman itu, mereka tidak tahu bahwa sesuatu sedang bergerak mendekat. Bukan badai. Bukan makhluk gaib pula. Mungkin saja itu seorang manusia yang akhirnya belajar berjalan tanpa ditarik oleh kegelapan dunia.