Pengembaraan seorang pendekar muda yang mencari para pembunuh kedua orang tuanya.Ia berkelana dari satu tempat ketempat lain.Dalam perjalanannya itu ia menemui berbagai masalah hingga membuat dirinya menjadi sasaran pembunuhan dari suatu perguruan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kelana syair( BE), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
perjalanan masih panjang
"Lalu apa tindakan kita selanjutnya kakang, apakah kita akan diam saja melihat berdua itu dikeroyok oleh orang-orang itu atau sebaiknya kita menyingkir saja menghindari pertarungan dengan mereka? " tanya Suryadenta.
"Kita lihat dulu situasinya, jika mereka berdua tidak mampu menghadapi orang orang itu, tentu saja kita akan turun tangan.Kalau kita menghindar pun percuma pasti akan bertemu dengan orang-orang itu,karena jumlah mereka pasti banyak" Jawab Baradenta."Antasena bagaimana menurut mu? "
Antasena mengangguk-angguk, "Kita memang tidak perlu terburu buru, aku lihat orang tua dan gadis itu cukup mampu untuk menghadapi para pengeroyok itu",Antasena memperhatikan pertarungan itu dengan seksama."
Gadis berpakaian hitam itu bergerak secepat kilat. Jurus-jurusnya bagai tarian maut, setiap gerakannya diiringi oleh lengkingan pedang yang mematikan. Lawannya terperanjat, tak mampu mengimbangi kecepatan dan ketepatan gadis itu. Satu persatu mereka jatuh tersungkur, mengerang kesakitan.
Di sisi lain, orang tua berpakaian putih itu bagaikan pohon kokoh yang tak tergoyahkan. Dengan tenang ia mengeluarkan jurus-jurus silat yang sangat kuat. Pukulannya menghantam dengan dahsyat, membuat lawan-lawannya terpental jauh. Meskipun usianya tak lagi muda, tenaganya seolah tak terbatas.
"Paman hati-hati!" teriak gadis itu di sela-sela pertarungan.
"Kau juga, Intan!" jawab orang tua itu sambil menangkis serangan bertubi-tubi.Serangan orang tua itu menjadi momok menakutkan bagi para pengeroyoknya.
"Perguruan Pagar Ruyung,mereka adalah orang orang dari perguruan pagar ruyung, "ucap Baradenta setelah melihat dengan seksama jurus jurus yang mereka peragakan.
"Pantas saja ilmu mereka sangat tinggi, " timpal Suryadenta.
"Ya, mereka memang tangguh," gumam Baradenta, matanya menyorot tajam mengamati pertempuran yang semakin sengit.
Kedua pendekar dari perguruanPagar Ruyung itu bergerak bagai badai, serangan mereka cepat dan tak terduga. Setiap gerakan mereka dipenuhi tenaga dalam yang kuat, membuat lawan-lawan mereka terdesak.
Jurus-jurus maut mereka, kombinasi serangan dan tangkisan yang mematikan, membuat setiap orang yang menyaksikan menahan napas.
"Lihat, mereka menggunakan jurus Pamungkas Pagar Ruyung!" seru Suryadenta, menunjuk ke arah salah satu pendekar yang tengah mengumpulkan tenaga dalam di telapak tangannya.
Sebuah bola energi berwarna biru menyala terbentuk di tangan pendekar itu. Bola energi itu berputar semakin cepat, mengeluarkan suara berderak yang menakutkan.
Orang-orang berpakaian hitam yang semula garang kini mulai ketakutan. Mereka sadar telah salah menilai kemampuan lawan mereka. Niat awal untuk membunuh, kini berubah menjadi perjuangan mati-matian untuk mempertahankan diri
Dengan satu teriakan lantang, pendekar itu melontarkan bola energi tersebut ke arah musuhnya.
Duuaar...!!
Ledakan dahsyat mengguncang tanah, debu dan serpihan kayu beterbangan menutupi pandangan. Saat debu mereda, terlihatlah orang orang yang berpakaian hitam sudah terkapar tak berdaya.
"Sungguh luar biasa," desis Baradenta kagum.
Suryadenta mengangguk setuju. "Mereka memang pantas disebut pendekar terbaik Pagar Ruyung."
"Sungguh kekuatan yang mengerikan , " gumam Antasena, dengan pandangan tidak lepas dari mereka.
"Pantas ayah dan ibu melatih ku cukup keras, ternyata di dunia ini banyak orang orang kuat, " ucap Antasena.
"Paman Sugiwara, apakah mereka ini adalah para anak buah Brajadara? " tanya gadis itu.
"Mmm... melihat senjata yang mereka gunakan ini sepertinya bukan, intan, " pria tua yang bernama Sugiwara itu memungut sebuah trisula pendek di bawah kakinya.
"Jika mereka bukan Kelompok Brajadara lalu siapa mereka Paman Sugiwara?" tanya Intan sambil memperhatikan trisula pendekar di tangan pamannya.
"Mereka adalah para pembunuh bayaran yang di kirimkan untuk membunuh kita semua, " Kata Antasena.Sambil melangkah ke arah mereka.
Intan dan Sugiwara menoleh ke arah orang yang berbicara tadi. "Apa maksud mu berkata seperti itu? " Jangan jangan kau bagian dari mereka?"tanya Intan, lalu menatap Baradenta dan Suryadenta yang ada di belakang Antasena.
"Jaga bicara nona dan jangan asal tuduh, kalau aku bagian dari mereka,tentu aku sudah menyerang kalian berdua dari tadi" ucap Antasena.
Melihat akan adanya pertikaian,Baradenta dan Suryadenta lalu menghampiri Antasena."Benar apa kata teman saya nona, kami tidak ada hubungannya dengan orang orang itu, "tegas Baradenta.
"Sudahlah Intan jangan berprasangka buruk pada mereka, " ucap Sugiwara. "Kalau boleh saya tahu kalian ini dari perguruan mana? "
"Aku Baradenta dan ini adik ku Suryadenta berasal dari perguruan Kemuning paman." jawab Baradenta.
Intan dan Sugiwara saling pandang begitu mendengar Baradenta dari perguruan Kemuning. Dalam pikiran mereka langsung terlintas Kitab Tapak dewa terbalik yang rumornya sekarang ini hilang.
"Nona dan Paman ini pasti berasal dari perguruan Pagar Ruyung ,karena tadi aku melihat paman memperagakan jurus pukulan pemecah gunung yang terkenal dahsyat itu " ucap Suryadenta.
"Kau cukup berpengetahuan Suryadenta, kami berdua memang berasal dari perguruan Pagar Ruyung dan tidak menyangka akan bertemu dengan para murid perguruan Kemuning di sini, " ucap Sugiwara.
Sugiwara kemudian menoleh ke arah Antasena, "Lalu Anak Muda ini siapa? "tanya Sugiwara.
"Nama ku Antasena, maaf aku terburu buru, " ucap Antasena, langsung berkelebat pergi meninggalkan mereka.
"Tunggu Antasena...! " Teriak Baradenta.
"Tuan dan nona kami permisi dulu, untuk menyusul teman kami, " ucap Baradenta.
"Tunggu Baradenta , bagaimana kalau kita bekerja sama dalam sayembara ini? " ucap Intan,memberikan tawaran.
Baradenta menimbang nimbang tawaran Intan, tapi setelah melihat kemampuannya tadi, sulit bagi dirinya untuk menolaknya.
"Sepertinya, tanya orang bodoh yang menolak bekerjasama dengan mereka" batin Baradenta.
"Baiklah aku setuju" ucap Baradenta, Ia lebih memilih bekerjasama dengan mereka berdua yang ilmunya lebih tinggi dari pada dengan Antasena yang tidak jelas .
Intan tersenyum senang mendengar Baradenta setuju dengan begitu ,ia akan lebih mudah mengorek keterangan kitab tapak dewa terbalik.
Mereka berempat kemudian melanjutkan perjalanannya ke tempat Brajadara.
Di tengah perjalanan Antasena menghentikan perjalanannya setelah melihat banyaknya mayat.
Tiba-tiba, Antasena merasakan kehadiran seseorang di dekatnya. Ia menghentikan langkahnya, waspada.
"Siapa di sana?" tanyanya.
Tidak ada jawaban. Hanya terdengar suara gemerisik daun dan ranting.
Antasena mencabut pedangnya, bersiap menghadapi segala kemungkinan. Jantungnya berdebar kencang. Ia merasa terjebak dalam situasi yang berbahaya.
Dari balik pepohonan, muncul sesosok bayangan hitam. Bayangan itu bergerak mendekat, perlahan tapi pasti.
Antasena memegang erat pedangnya, siap bertarung.
"Keluar kau!" tantang Antasena.
Bayangan itu semakin mendekat. Akhirnya, muncullah sosok seorang pria tua berjubah hitam. Wajahnya tertutup tudung, menyembunyikan ekspresinya. Di tangannya, tergenggam sebuah tongkat kayu berukir aneh.
"Kau siapa?" tanya Antasena.
Pria tua itu tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sinis, menampakkan deretan gigi yang tajam dan mengerikan.
Antasena merasa berdiri bulu kuduknya. Ia sadar bahwa pria tua itu bukanlah orang biasa. Aura kegelapan yang kuat terpancar dari tubuhnya.
"Apa mau mu?" tanya Antasena lagi, suaranya sedikit lebih keras
Pria tua itu kembali tersenyum. "Nyawa mu," jawabnya dengan suara serak.