Sebuah insiden kecil memaksa Teresia, CEO cantik umur 27 tahun, menikah dengan Arga, pemuda desa tampan umur 20 tahun, demi menutup aib. Pernikahan tanpa cinta ini penuh gengsi, luka, dan pengkhianatan. Saat Teresia kehilangan, barulah ia menyadari... cintanya telah pergi terlalu jauh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Helliosi Saja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 9
Pagi itu Jakarta menyambut Tere dengan wajah khasnya: hiruk-pikuk kendaraan, suara klakson bersahut-sahutan, dan aroma khas asap knalpot yang bercampur dengan udara pagi. Mobil sedan hitam yang mengantarnya berhenti tepat di depan gedung megah milik perusahaannya — sebuah gedung tinggi berlapis kaca yang mencerminkan langit biru.
Tere melangkah turun dengan anggun. Setelan kerjanya rapi, blouse putih bersih dipadukan dengan rok pensil hitam dan sepatu hak tinggi. Rambut panjangnya tergerai indah, wajahnya bersih tanpa cela, namun sorot matanya tajam, penuh wibawa. Karyawan yang berada di lobi segera menunduk, ada yang pura-pura sibuk dengan komputer tablet di tangan, ada yang buru-buru menghindar masuk lift.
Semua tahu, CEO mereka itu wanita cerdas, disiplin, tapi juga dikenal galak jika pekerjaan tak sesuai standar.
“Selamat pagi, Bu Tere...” sapa seorang resepsionis dengan suara bergetar.
Tere hanya mengangguk kecil tanpa senyum, lalu melangkah cepat menuju lift khusus direksi. Derap sepatunya bergema di lantai marmer, menambah kesan dingin sosoknya pagi itu.
Sesampainya di lantai atas, Tere masuk ke ruang kerjanya. Ruangan luas dengan kaca menghadap panorama kota Jakarta. Meja kerjanya bersih, hanya laptop, beberapa dokumen, dan segelas kopi hangat yang sudah disiapkan sekretarisnya.
Tere duduk, membuka laptop. Tangannya cekatan membuka email, memeriksa laporan keuangan, membaca notulen rapat. Tapi tak butuh waktu lama, pikirannya melayang...
Wajah Arga. Senyumnya yang tulus. Sorot matanya yang jujur. Suaranya yang lembut namun tegas saat menolak tawaran cek darinya. Tere mengerjap, menggeleng pelan.
“Kenapa sih aku mikirin anak kampung itu?” gumamnya, mencoba mengalihkan fokus ke layar laptop. “Dia cuma bocah ingusan... tampan iya, tapi... sudahlah.”
Namun semakin Tere berusaha menepis, bayangan Arga justru makin mengganggu. Cara Arga memperhatikannya, masakan sederhana yang dibuatnya, perhatian kecil yang membuat hatinya tak bisa sepenuhnya menutup diri.
Tere menghela napas panjang, menyandarkan diri di kursi.
“Ini cuma karena aku lelah. Aku butuh fokus. Rio... ya, Rio yang harus aku pikirin. Rio pasanganku, Rio masa depanku.” Ia mencoba meyakinkan diri sendiri.
Seolah alam mendengar pikirannya, pintu ruangannya diketuk. Sekretaris masuk, tersenyum kikuk.
“Bu Tere... ada tamu. Pak Rio, Bu. Beliau sudah di lobi, ingin bertemu langsung.”
Tere mengerjap, jantungnya berdebar tak karuan.
“Rio? Dia datang ke sini?”
“Iya, Bu. Tadi katanya telepon Ibu nggak aktif terus.”
Tere diam sesaat. Lalu mengangguk.
“Suruh naik.”
Tak butuh waktu lama, Rio masuk. Pria tinggi, tampan dengan setelan jas mahal. Wajahnya berseri melihat Tere.
“Tere... akhirnya aku ketemu kamu juga!” serunya penuh rindu. Ia menghampiri dan mencoba meraih tangan Tere. Tapi Tere menahan, pura-pura sibuk dengan dokumen di meja.
“Aku sibuk, Rio. Kenapa nggak telepon dulu?”
“Ya aku sudah telepon berkali-kali! Tapi kamu nggak bisa dihubungi, Tere. Kamu ke mana aja sih? Kamu tahu aku khawatir banget?”
Tere menarik napas, mencoba tersenyum.
“Aku... aku ada urusan keluarga mendadak, Rio. Maaf nggak kasih kabar. Tapi sekarang aku sudah kembali, jadi tenang aja.”
Rio menatapnya penuh selidik.
“Urusan keluarga? Tere, ada apa? Kamu berubah. Matamu nggak kayak biasanya. Kamu nggak cerita apa pun sama aku.”
Tere mengalihkan pandangannya keluar jendela. Jantungnya berdegup lebih cepat.
“Aku capek, Rio. Jangan tanya yang aneh-aneh dulu. Aku cuma mau kerja.”
Rio tersenyum kecut.
“Kamu nggak kangen aku?”
Tere memaksakan senyum.
“Tentu kangen...”
Tapi dalam hati, Tere gelisah. Entah kenapa, ia merasa kalimat itu seolah bohong. Entah kenapa, yang ada di benaknya justru mata lembut Arga — bocah desa yang seharusnya tak ada artinya baginya.
Rio duduk di sofa ruang kerja itu, menatap Tere lama, seolah ingin membaca isi hatinya. Sementara Tere sibuk menata kembali dokumen di meja, berusaha keras mengusir bayang-bayang yang terus menghantuinya.
Di luar sana, Jakarta tetap sibuk seperti biasa. Tapi di dalam hati Tere, sebuah gejolak baru mulai tumbuh — gejolak yang bahkan ia sendiri tak paham apa artinya.