Bissmillah Cinta
Sarapan bersama mas Juna adalah hal yang paling membosankan bagiku. Pasalnya, setelah aku bebas darinya selama tujuh bulan ini, pria itu akhirnya kembali dari pendidikan dokmil. Dia pasti akan kembali membuatku emosi yang hanya bisa ku tahan dalam hati tanpa berani melampiaskan padanya.
Lihatlah!
Kelakuannya yang sok cuek, dan wajah yang terkesan kaku serta menjengkelkan itu membuatku mengumpat dalam hati.
Amit-amit kalau aku di pertemukan dengannya di pelaminan. Pria yang memiliki track record buruk di mataku, tidak akan pernah menjadi pendamping apalagi untuk seumur hidup.
Big no!
Napasku terembus pelan, sangat menyadari kalau keberadaanku di rumahnya memang sudah membuatnya terusik. Aku bak orang yang sudah merampas kebahagiaan mas Juna, menggeser posisinya sebagai anak terakhir, itu sebabnya dia begitu membenciku bahkan sampai detik ini.
Ya.. Karena nasib baikku, aku di adopsi oleh keluarga mas Juna dari sebuah panti asuhan. Dia yang merasa tersisih karena kehadiranku, membuatnya tak menyukaiku meski aku sudah berusaha menjadi adik yang baik dan patuh untuknya.
Ah iya, namaku Yura, sebenarnya Azzura, Azzura Al Uhti Namira, tapi keluarga angkatku biasa memanggilku Yura. Dan panggilan itu melekat padaku hingga teman-teman pun turut memanggilku seperti itu.
Usiaku dua puluh dua tahun.
Mamah bilang, orang tua kandungku sudah meninggal sejak aku bayi, mama langsung menyukaiku begitu melihatku sampai kemudian membawaku pulang ke rumahnya, katanya aku cantik, lucu, juga menggemaskan.
Mama yang sudah tidak ingin hamil lagi karena trauma, sebab ketiga anaknya laki-laki, beliau mengadopsi dan mengangkatku sebagai anak perempuannya.
Aku memiliki tiga saudara angkat yang semuanya adalah laki-laki.
Pertama mas Angga, dia adalah kakak paling baik dan selalu perhatian padaku. Istrinya juga sama baiknya. Mempunyai anak kembar laki-laki dan perempuan, namanya Nukha dan Naura.
Yang kedua namanya mas Rezki, orangnya rame, suka bercanda, baik dan sayang padaku layaknya adik kandung, tapi sayang, istrinya kurang suka padaku. Entah apa yang membuatnya begitu, aku tak mau ambil pusing, yang jelas aku selalu mendoakan keluarga kecil mas Rezki agar selalu sehat dan bahagia. Satu lagi, mas Rezki memiliki satu anak laki-laki, namanya Altara, usianya lebih muda tiga tahun dari anak-anak mas Angga dan mbak Tita.
Yang terakhir adalah mas Juna. Si paling anarkis, dan si paling membenciku, selalu mengganggu, membentak sampai memarahiku. Dia seorang dokter dan baru-baru ini terjun ke dunia kemiliteran, menjadi dokter militer untuk para pejuang. Usia mas Juna dua puluh enam tahun, beda empat tahun denganku.
Dan yang paling penting dalam hidupku, akrab di sapa ibu Jazil, dia adalah sosok yang mampu menggantikan ibu kandungku, wanita yang sudah merawat sekaligus membesarkanku dengan penuh kasih sayang.
Jazilatul Muna, adalah mamah kandung mas Angga, mas Rezki, dan mas Juna.
Lalu papah? Meski bukan ayah biologisku, beliau sangat menyayangiku seperti menyayangi ketiga putranya.
Aku disini sama sekali tidak di perlakukan berbeda dari anak-anaknya.
"Ngapain ke kampus, Ra? Hari ini kan libur?" Mama bertanya setelah menyuapkan nasi ke mulutnya dan memindai wajahku. "Mas Juna juga baru pulang, siapa tahu kalian pengin jalan-jalan berdua, memangnya nggak kangen setelah tujuh bulan nggak ketemu?" Tambahnya menggodaku.
Mas Juna yang asyik makan sambil main ponsel, jelas tak mendengar ledekan mama apalagi ada benda yang menyumpal telinganya.
Jalan-jalan berdua dengan mas Juna? Ah itu bagaikan mimpi buruk buatku. Sama seperti mas Juna, mungkin dia juga merasa sedang apes jika pergi denganku.
Ibarat keberadaanku adalah ujian baginya, dan keberadaan dia pun juga ujian bagiku.
Kami tak sefrekuensi, pasti nggak akan pernah nyambung kalau di satukan. Sudah sering kami ribut di perjalanan jika mama menyuruh kami pergi berdua. Aku juga heran sendiri, pasti ada saja sesuatu yang kami perdebatkan, kadang aku yang mengalah karena mas Juna maunya selalu benar.
"Ada informasi beasiswa S2 mah, aku pengin ikut tes"
"Beasiswa di kampus itu saja atau di lain kampus?"
"Singapura, mah"
Mendengar ucapanku, mama sedikit kaget. "Singapura?" Beliau menatapku lembut.
Aku mengangguk dengan bibir terkatup rapat.
"Mama harap kamu nggak akan kemana-mana, sayang"
Aku terdiam, padahal itu adalah salah satu rencanaku dalam waktu dekat.
Ambil beasiswa di luar negri supaya bisa pergi dari sini dan mandiri. Selain itu juga menghindari fitnah karena tinggal satu atap dengan pria yang bukan muhrim.
"Kalaupun aku pergi, aku pasti akan jengukin mama" Kataku menggenggam tangan kiri mama yang ada di atas meja "Aku nggak akan pernah lupa sama papa mama meskipun aku telah menikah"
"Sepertinya mamah nggak akan siap melihatmu menikah, setelah menikah, mungkin kamu akan ninggalin mamah. Mamah nggak mau jauh-jauh dari Yura"
Jujur aku bingung, sudah cukup aku merebut kasih sayang papa mama dari mas Juna, tapi bagaimana jika mama tidak mengizinkanku keluar dari rumah ini, lantas bagaimana aku mengakhiri fitnah yang timbul dari para tetangga?
Aku menarik napas panjang, suasana mendadak hening, aku kembali melanjutkan kegiatan sarapanku, begitu pula dengan mama.
"Assalamu'alaikum" Tiba-tiba suara mas Angga menggema di ruang makan. Aku dan mama kompak menoleh ke arahnya.
"Wa'alaikumsalam" Jawab aku dan mama kompak. Kecuali makhluk salju yang duduk berhadapan denganku.
"Angga!" Mama menjulurkan tangan, membiarkan putra sulungnya mengecup punggung tangannya.
"Eh, mas!" Mas Juna menoleh ke kiri sambil melepas earphone, kemudian sedikit mengangkat kepala untuk mempertemukan netranya dengan netra sang kakak.
Pria itu menyalami mas Angga.
"Anak militer kapan pulang?" Tanya mas Angga usai giliranku mengecup punggung tangannya.
"Tadi malam, mas"
"Sudah sarapan, mas?" mama bertanya ke mas Angga.
"Sudah, mah!"
"Sendirian aja, apa sama si kembar dan mbak Tita?"
"Sendirian aja, mah. Tadi habis antar Naura les balet, terus aku tinggal dulu ke sini buat antarin Yura ke kampus"
"Mas bela-belain ke sini cuma mau antar aku ke kampus?" Sambarku sedikit heran.
"Iya, kenapa? Nggak boleh?" Mas Angga yang sudah ambil posisi duduk di sebelahku menatapku dengan kening berkerut.
"Nggak gitu, mas. Aku kan bisa berangkat sendiri"
"Kata mbak Tita kamu lagi pusing, jadi dari pada mas nungguin Naura les, ya udah ke sini aja ngantar kamu"
"Ada Juna yang antar, nak" Kata mama menyela.
"Dari pada di antar mas Juna mending di antar mas Angga aja" Ucapku. Aku memang selalu di manja oleh mas Angga dan mas Rezky. Kalau mbak Tita, istrinya mas Angga sama sekali nggak keberatan suaminya manjain aku, tapi mas Rezki? Jangan tanya seperti apa judesnya mbak Dini kalau suaminya sedang manjain aku. Tapi aku merasa nggak enak juga sama istri-istri mereka.
"Kenapa memangnya kalau aku yang antar?" mas Juna menatapku tajam, lengkap dengan wajah sadisnya "Kamu nggak suka? Eh aku juga nggak minat nganterin kamu, jangan Kepedean jadi orang"
Tuh kan, baru saja bertemu setelah tujuh bulan, dia langsung bicara dengan begitu ketusnya.
Untuk sesaat aku menyesali kalimatku beberapa detik lalu. Aku salah, harusnya aku nggak menyebut namanya.
"Juna, kalian tuh sudah dewasa, satu sudah kerja, satu lagi mau sidang skripsi, masa masih suka ribut" Tegur mama menatapku dan mas Juna bergantian.
"Dia dulu, mah. Terlalu sok nggak mau ku antar, padahal siapa yang suka antar jemput selama ini kalau dia lagi ada tugas kuliah tambahan sampai malam?" Pandangan mas Juna yang tadinya ke mama, kini teralihkan padaku, dan aku langsung menunduk. "Aku, kan? Dan kamu mau aja ku jemput, iya apa iya?"
"Iya si, tapi jemputnya suka nggak ikhlas" Gerutuku, lalu mengerutkan bibir. Aku bilang seperti itu karena mas Juna selalu memasang wajah cemberut ketika menjemputku, jadi ku pikir dia nggak tulus.
"Ikhlas nggak ikhlas itu urusanku, yang penting kamu bisa pulang, bisa ku serahkan tanpa kurang apapun ke hadapan papa mama" Timpal mas Juna dengan sangat ketus.
"Awas jangan berlebihan, ntar benci jadi cinta" Seloroh mas Angga sambil cekikikan.
"Aku? Jatuh cinta sama dia? Meski dia satu-satunya wanita di dunia ini mas, aku lebih baik melajang selamanya"
"Memangnya aku mau sama mas Juna? Nggak juga, si. Banyak laki-laki premium di dunia ini yang lebih baik dari pada pria gondrong seperti mas" Lirih, aku mengatakannya dengan pandangan tertunduk sambil memainkan sendok di atas piringku.
"Kamu pikir kamu wanita premium? High class?" Pria itu berdecak, menatapku sinis sebelum kemudian pergi meninggalkan meja makan.
"Kalian masih suka ribut begini?" Tanya mas Angga keheranan.
"Mas Juna yang selalu ngegas, mas. Aku sudah baikin dia, tapi dia tetap judes, nggak di baikin, apalagi"
"Sudah, nanti mama tegur dia"
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Mika Saja
masih nyimak dan mencermati alurnya biar tdk salah untuk berkomentar 🤭
2024-10-06
0
N I A 🌺🌻🌹
awal yg bagus, hadir anne☝️☝️☝️😃
2024-10-03
0
Nitha Ani
nyimak min
2024-10-03
0