Arlena dan Dominus telah menikah lebih dari enam tahun. Tahun-tahun penuh kerja keras dan perjuangan untuk membangun usaha yang dirintis bersama. Ketika sudah berada di puncak kesuksesan dan memiliki segalanya, mereka menyadari ada yang belum dimiliki, yaitu seorang anak.
Walau anak bukan prioritas dan tidak mengurangi kadar cinta, mereka mulai merencanakan punya anak untuk melengkapi kebahagian. Mereka mulai memeriksakan kesehatan tubuh dan alat reproduksi ke dokter ahli yang terkenal. Berbagai cara medis ditempuh, hingga proses bayi tabung.
Namun ketika proses berhasil positif, Dominus berubah pikiran atas kesepakatan mereka. Dia menolak dan tidak menerima calon bayi yang dikandung Arlena.
》Apa yang terjadi dengan Arlena dan calon bayinya?
》Ikuti kisahnya di Novel ini: "Kualitas Mantan."
Karya ini didedikasikan untuk yang selalu mendukungku berkarya. Tetaplah sehat dan bahagia di mana pun berada. ❤️ U 🤗
Selamat Membaca
❤️🙏🏻💚
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sopaatta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Arlena CS 3
...~°Happy Reading°~...
Setelah berada di halaman, pengacara Amarta naik ke mobil tapi tidak menjalankan mobil. Dia duduk diam sambil memikirkan pertemuannya dengan Arlena. Ada sesuatu dalam diri Arlena yang menganggu pikirannya.
Ketenangan Arlena bagaikan air laut yang dalam. Sulit ditebak apa yang ada di dalamnya dan penuh misteri. 'Apakah pengacara yang dia maksud terkenal atau mengenalku?' Pengacara Amarta membatin sambil memikirkan sikap Arlena.
'Apakah kesalahannya ada di pihak Dominus?' Pengacara Amarta ingat tangan Arlena yang diperban. 'Apa Dominus melakukan kekerasan dan tidak jujur padaku?' Pengacara Amarta terus berpikir dan bertanya sendiri.
Ketika sedang memikirkan sikap Arlena, telponnya berdering. 'Orang ini sudah tidak sabar bercerai? Apa Bu Arlen ada lakukan kesalahan fatal hingga digugat?' Amarta membatin saat melihat nama Dominus di layar ponsel.
Dia hanya tahu penyebab perceraian dari yang Dominus katakan, bahwa mereka sudah tidak cocok dan sering cekcok.
"Hallo, Pak Domi."
"Kau sudah bertemu Arlen?"
"Sudah, Pak." Amarta yakin, ada orang di rumah yang melapor atau Dominus sudah hubungi orang yang ada di rumah, sehingga bisa tahu dia sudah bertemu Arlena dan sudah selesai.
"Dia sudah tanda tangan surat cerai?"
"Belum, Pak..."
"Belum? Apa katanya?" Suara Dominus naik level.
"Bu Arlen mau konsultasi dengan pengacaranya."
"Dia sudah punya pengacara?"
"Itu yang beliau katakan. Jadi kita tunggu dihubungi oleh pengacara beliau."
"Apa yang dikatakan tentang pembagian harta gono-gini?"
"Bu Arlen tidak mengatakan apa pun. Beliau hanya baca lalu menutup lagi...." Pengacara Amarta menjelaskan yang dilakukan Arlena.
Namun jawaban Armata membuat Dominus gusar dan tidak tenang. 'Mengapa dia tidak protes?' Dominus bertanya sendiri dan bingung dengan respon Arlena.
Baginya, lebih baik Arlena bereaksi, marah, protes, tidak terima atau mengatakan sesuatu, dari pada hanya diam. Kalau Arlena hanya diam, dia tidak tahu apa yang akan terjadi. Apa lagi sekarang Arlena sudah punya pengacara.
'Apa waktu itu dia merekamku?' Dominus jadi mengaitkan ketenangan Arlena dengan kejadian di ruang kerja.
"Kau tahu siapa pengacaranya?"
"Tidak, Pak. Beliau bilang akan dihubungi oleh pengacaranya."
"Jadi kita akan bertarung di ruang pengadilan?"
"Bisa jadi, Pak. Jadi Pak Domi siapkan bukti kuat, agar bisa mudah disetujui dan memenangkan tuntutan. Apa lagi Pak Domi tidak mau ada sesi mediasi." Pengacara Amarta serius mengingatkan.
Dominus langsung mematikan ponsel, mendengar yang dikatakan Amarta. Hal itu membuat Amarta heran dan geleng kepala. 'Apa kesalahannya ada di pihak Pak Domi, hingga Bu Arlen sangat percaya diri?' Pengacara Amarta langsung menyalakan mesin mobil lalu meninggalkan halaman rumah.
~*
Arlena yang sedang memperhatikan mobil Amarta meninggalkan halaman dari jendela di lantai 2 (dua) jadi bernafas lega. Dia meniup dengan kuat untuk melegakan dada yang sedang bergemuruh.
Setelah pengacara Amarta keluar dari gerbang, Arlena langsung menelpon. "Cal, sorry. Aku minta tolong lagi." Arlena langsung mengatakan yang diinginkan saat Calista merespon panggilannya.
"Iya, ngga pa'pa. Mau minta tolong apa?"
"Aku minta tolong dikirimi sopir lagi ke...." Arlena menyebut nama salah satu restoran fast food yang terdekat dengan rumahnya.
"Kau mau ke mana? Biar aku kasih tahu sopir."
"Ke butik. Tolong sekalian minta Muel datang, ya."
"Ok. Nanti sopir telpon kalau sudah dekat. Supaya kau ngga lama tunggu di sana." Calista tidak bertanya lagi.
"Ngga pa'pa... Aku mau lunch di sana."
"Ok. Hati-hati." Calista yakin, tangan Arlena belum pulih, sehingga belum bisa setir mobil jauh.
"Ok. Thanks. See you..." Arlena mematikan telpon lalu segera mengganti pakaian yang nyaman dan sesuai untuk keluar rumah.
Setelah rapi, Arlena turun ke lantai bawah. "Tari, masak buat kalian saja. Saya mau makan di luar." Ucap Arlena kepada Tari yang sedang berbicara serius dengan pelayan lain di dapur. "Baik, Bu."
Tari dan pelayan lain hanya melihat punggung Arlena yang sudah berjalan keluar meninggalkan mereka.
"Mbak, ada apa? Kok sekarang bapak tidak pulang ke rumah dan Ibu sering tinggal di rumah, tapi jarang makan di rumah?" Salah satu pelayan yang tidak bisa tahan berkomentar dan suka ceplas ceplos.
"Ngga usah dikomentari. Bekerja saja yang benar, sesuai permintaan Ibu dan Bapak." Tari mengingatkan sambil menepuk pundak rekannya. Dia sendiri bingung mau menjawab apa.
~*
Beberapa waktu kemudian, Arlena sudah menuju butik bersama sopir Calista. "Hallo, sayang. Kangen sama Aunty, ya." Calista tidak bertanya kepada Arlena, tapi mengelus perut Arlena sambil menyapa calon bayi.
Calista sudah bisa tebak, ada yang terjadi dengan Arlena, sebab wajahnya merah dan tidak happy. "Sabar... Ingat calon ponakanku ini." Ucap Calista sambil berjalan di samping Arlena dan mengelus pinggangnya.
"Duduk dan minum ini, supaya tenang. Ada apa?" Calista bertanya, sebab melihat nafas Arlena memburu saat duduk di sofa.
"Dia sudah ajukan cerai." Arlena berkata setelah minum.
"Bagus. Ternyata dia takut hidup dalam dosa." Ucap Calista, tapi heran dengan sikap Arlena. Dia tahu, Arlena sudah siap bercerai. "Tapi mengapa kau begini? Bukannya kau bilang sudah siap kalau harus bercerai?"
"Aku emosi bukan karena gugatan cerainya. Tapi pembagian harta gono-gininya. Coba kau baca yang dia kasih ini." Arlena mengeluarkan dokumen gugatan cerai Dominus.
Calista ambil lalu duduk untuk baca. Dia baca satu persatu lembar dengan serius dan teliti. "Apa? Si Bajing ini mau berikan bagianmu segini? Kurang ajar..." Calista berdiri dan mencak-mencak.
"Jangan terima. Rumah itu dijual baru bagi dua. Bukan dia tetap pertahankan rumah itu, tapi berikan sejumlah uang dari setengah harga rumah."
"Nah, itu bikin emosi."
"Lalu barang-barang mahal dalam rumah itu ngga ada harganya?"
"Bukan hanya itu, tapi harga rumah yang dicantumkan adalah harga saat kami beli. Ini sudah lebih dari 3 tahun. Harga rumah di lingkungan itu sudah naik berkali-kali lipat."
"Kau benar. Aku ngga mikir itu. Dia benar-benar ngga punya otak." Arlena hanya mendengus sambil mengelus perut, agar tetap sadar sedang hamil.
"Astaga.... Mobil yang sedang kau pakai itu ditarik? Kau tidak boleh membawa mobil itu, karena dia yang beli?" Calista seperti orang gila yang terus berteriak membaca apa yang akan diterima Arlena.
"Si Kunti itu bukan saja mau merampas si Bajing, tapi semua milikmu, termasuk mobil sedan mewahmu." Calista berkata setelah membaca yang harus diserahkan Arlena
"Jangan tanda tangan. Mari kita bertarung di pengadilan. Waduuuh... Kenapa Muel belum datang juga?"
"Eeh, ini apa? Ngga ada pembagian harta dari perusahaan. Dia hanya menggantikan uang yang kau kasih buat modal usaha saat itu?" Mata Calista seakan maju beberapa senti membaca pembagian harta dari usaha.
"Jadi dia pikir selama ini dia hanya pinjam uang darimu? Tambahan jumlah uang yang hanya sekali lipat ini, bunganya..?!" Calista tercengang membaca angka yang tercantum yang diberikan Dominus.
...~*~...
...~▪︎○♡○▪︎~...
up Thor makin penasaran aja aku
sedangkan sudah banyak bukti perselingkuhanmu