NovelToon NovelToon
Satu Satunya Yang Tak Terpilih

Satu Satunya Yang Tak Terpilih

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Light Novel
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: nazeiknow

Oiko Mahakara bukan siapa-siapa.
Di sekolah, dia hanya bayangan yang selalu diinjak.
Tertawa orang lain adalah derita baginya.
Tapi ketika cahaya menelan dunia lamanya, semuanya berubah.

Dipanggil ke dunia lain bersama murid-murid lainnya, takdir mereka tampak seperti cerita klasik: menjadi pahlawan, menyelamatkan dunia.

Namun, tidak semua yang datang disambut.
Dan tidak semua kekuatan... bersinar terang.

Ketika harapan direnggut dan dunia membuangnya, dari kehampaan… sesuatu terbangun.

Kegelapan tidak meminta izin. Ia hanya mengambil.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nazeiknow, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 8: Hangatnya Api di Malam yang Dingin

Langit malam menggantung pekat, dihiasi kerlip bintang dan desir angin dingin yang menyusuri hutan. Di tepi sebuah sungai, di pesisir berbatu dan berumput lembap, tiga tubuh tergeletak tak berdaya.

Oiko, Mikami (si elf), dan Rinya. Basah kuyup, tubuh mereka menggigil karena air dan malam yang menusuk.

Oiko terdampar tepat di atas tubuh Mikami, dengan posisi yang sungguh... tidak biasa.

Kepalanya menyandar tepat di dada Mikami, napasnya pelan dan tersendat, mata terpejam. Mikami perlahan-lahan mulai siuman. Kelopak matanya yang panjang berkedip, lalu membuka dengan lemah.

“Ugh... air... dingin sekali...” bisiknya pelan.

Ia batuk sedikit, “Khu... khu...” dan kemudian menoleh ke bawah... lalu—

Wajahnya langsung memerah.

“…Eh?!”

Ia melihat kepala Oiko yang tidur tepat di atas dadanya. Pipi elf itu langsung menyala merah padam. Ia menahan suara, lalu mengangkat tangan pelan mencoba menggeser posisi Oiko.

Namun sebelum itu, Oiko sendiri tersadar.

“Ugh... kedinginan... huu... haaa...”

Mata Oiko terbuka, dan tiba-tiba ia tersadar posisinya.

“Huh?”

Ia menoleh ke bawah dan...

“EH?!?”

Langsung terlonjak bangun.

Namun karena terlalu cepat, dia tergelincir dan jatuh ke samping. “Ouch—ohok! Ohok ohok!!”

Oiko terbatuk-batuk sambil menarik napas dalam-dalam. Dadanya naik turun karena udara dingin.

“Huuu... haaa... huu... dingiiin…”

Lalu ia menoleh kembali ke elf itu dan menyadari: ia tadi tertidur di atas tubuh wanita.

“MAAF!! Aku nggak sadar!” ucap Oiko cepat-cepat sambil membungkuk. “Sumpah, aku nggak sengaja!!”

Mikami hanya diam. Wajahnya merah, tapi ia tak marah. Ia perlahan duduk sambil membetulkan rambut peraknya yang basah.

Oiko lalu melihat ke arah lain, dan di kanan, ia melihat Rinya tertidur dengan damai, telinganya yang berbulu basah dan menempel ke pipi.

Oiko menghela napas lega.

“Syukurlah... dia juga selamat...”

Beberapa saat berlalu dalam keheningan. Mikami berdiri, lalu tanpa sepatah kata, berjalan ke arah hutan. Oiko menatap kepergiannya dalam diam.

“…Dia pergi?” pikirnya.

Angin malam bertiup, dan Oiko memeluk tubuhnya sendiri. Bajunya masih basah. Ia merasa tubuhnya mulai mati rasa.

Tak lama kemudian...

Langkah kaki terdengar kembali dari balik pepohonan.

“Eh?”

Mikami kembali.

Di tangannya ada tumpukan kayu bakar, dan wajahnya terlihat serius.

Ia menaruh kayu itu di tanah tepat di dekat Rinya. Oiko menatap dengan bingung.

“Kamu... kamu mau bakar dia?!” tanya Oiko spontan, canggung.

Mikami menoleh dengan alis terangkat. “Enggak lah.”

Ia menyiapkan tumpukan kayu itu dengan cepat. Tangannya cekatan, dan tak lama kemudian nyala api muncul. Api kecil, namun cukup untuk memberi kehangatan.

Mikami duduk di depan api sambil mengeringkan tangannya.

“Namaku Mikami,” ucapnya pelan, dengan suara yang tenang namun tegas.

Oiko duduk bersila di seberang, mendekat ke api. “O-oh... aku Oiko. Makasih udah... bawa kayu.”

Mikami mengangguk singkat. Lalu... tanpa banyak bicara, ia berdiri dan—perlahan mulai membuka bajunya.

Oiko langsung tertegun. “Eh—EH?!”

Mikami menatap datar. “Aku cuma mau mengeringkan baju. Jangan mikir yang aneh-aneh.”

Oiko menoleh ke arah api, wajahnya mulai merah. “I-iyaiya... bukan maksudku... bukan...”

Pakaian Mikami dijemur dekat api, dan ia duduk menyamping sambil membiarkan rambut dan pakaiannya kering. Di balik api, siluet tubuhnya samar-samar terlihat dari sudut mata Oiko, dan itu bikin jantungnya deg-degan gak jelas.

Suasana mendadak hening dan canggung. Hanya suara api dan desiran sungai yang menemani mereka.

Namun tiba-tiba....

...

“AAAH!! OHOK OHOK!!”

Rinya tersentak bangun, tubuhnya gemetar, wajahnya panik.

Oiko langsung menghampiri. “Hei! Kamu bangun juga!”

Rinya memegang kepala dan terbatuk keras. “Kuh... dingin... kepala ku... berat...”

Oiko mengulurkan tangan dan menepuk bahunya. “Kita jatuh dari air terjun... tapi kayaknya kita semua selamat.”

Rinya menoleh. Matanya langsung menatap Mikami yang sedang duduk dengan pakaian sebagian terbuka di dekat api.

Rinya memiringkan kepala. “Siapa itu...?”

Oiko tersenyum. “Namanya Mikami. Dia elf. Tadi bantu nyalain api.”

Rinya diam sebentar, lalu berusaha duduk. “Aku... kedinginan...”

“Dekat ke api aja,” kata Mikami datar, tanpa menoleh.

Oiko membantu Rinya berjalan ke dekat api unggun, dan mereka bertiga duduk melingkar, menatap nyala api yang berkilau dalam malam yang dingin.

Malam itu terasa panjang...

Namun untuk pertama kalinya, mereka selamat bersama.

...

Bintang bertaburan di langit hitam pekat, dan hanya nyala api unggun yang menari perlahan di tengah mereka bertiga: Oiko, Rinya, dan Mikami.

Mereka duduk melingkar, tubuh masih terasa dingin dan lembap. Api menghangatkan sedikit, tapi suasana... hening. Sangat canggung.

Tak ada yang bicara.

Bahkan desiran daun pun terasa lebih ramai daripada suasana mereka.

Akhirnya, Oiko yang tak tahan dengan sunyi itu mencoba membuka percakapan.

“Ehm... jadi... ini... di mana, ya?”

Mikami mengangkat sedikit wajahnya dari tatapan apinya.

“Tempat ini disebut Lembah Kematian,” jawabnya dengan tenang namun dingin.

Oiko terdiam sejenak.

“…Kematian?” ulangnya pelan.

Rinya yang duduk di sebelah Oiko langsung tegak.

“Haaah?! Kita... sejauh itu?!”

Wajahnya mulai panik. Ia menoleh ke kiri dan kanan, seakan memastikan tidak ada iblis mengintai dari balik kegelapan.

Oiko menggaruk kepala. “Kematian... berarti mematikan ya? Tempat ini ada... racun atau sesuatu?”

Mikami menggeleng.

“Bukan racun. Tapi katanya... di sini hidup monster dengan level S atau lebih.”

“HAH?!?!”

Teriakan itu berasal dari Rinya.

Mata Rinya melotot, mulut terbuka, dan... tubuhnya langsung pingsan.

“PLAK!”

Kepalanya jatuh, menyundul lutut Oiko.

Oiko langsung panik. “Woi! Woi! Eh? Rinya?! Kamu pingsan beneran?!”

Tapi Rinya tak menjawab. Napasnya pelan, tapi wajahnya tegang seperti mimpi buruk.

“…Jadi kita di tempat yang sangat... sangat berbahaya,” ucap Oiko dengan canggung, matanya tetap menatap Rinya.

Mikami mengangguk ringan. “Begitu katanya. Aku sendiri juga belum pernah ke tempat ini sebelumnya.”

Oiko menoleh. “Berarti... kita nggak aman?”

Mikami memandangi nyala api. “Mungkin. Tapi... yang bikin lebih mengerikan bukan cuma karena monsternya...”

Oiko menelan ludah.

“…Apa lagi?”

Mikami menoleh padanya.

“Katanya, kalau sudah masuk ke Lembah Kematian... nggak akan bisa pulang.”

Deg.

Jantung Oiko seperti berhenti berdetak sesaat.

“…Ng... nggak bisa pulang...?” gumamnya.

Pikirannya langsung dipenuhi hal-hal mengerikan.

Wajah iblis, bayangan kegelapan, tubuh-tubuh terbakar, tengkorak... semua berkelebat di otaknya.

“Aaaaa!!!”

Oiko menggeleng-gelengkan kepala keras.

“Tidak tidak tidak! Jangan bayangin yang aneh-aneh! Tenang Oiko! Tenang!”

Mikami hanya memandang dengan datar, lalu melirik ke arah Rinya yang masih pingsan dengan posisi aneh.

“Temanmu itu... kuat juga, ya. Bisa pingsan seketika.”

Oiko menghela napas panjang.

Lalu, perlahan, ia mulai bicara lagi.

“...Kalau begitu, gimana cara kita pulang?”

Mikami terdiam sejenak, lalu menunjuk ke arah sungai di kejauhan.

“Mungkin... kita bisa coba mengikuti arus sungai, tapi dari arah sebaliknya. Arus air bawa kita masuk ke sini, jadi... kebalikannya mungkin bisa bawa kita keluar.”

Oiko mengangguk-angguk.

“Berarti kita... harus jalan... menyusuri sungai?”

Mikami menggeleng lagi.

“Bukan lewat pinggir sungai. Terlalu terbuka.”

Oiko mengernyit. “Kenapa?”

Mikami menatap lurus ke api, suaranya serius.

“Karena kalau kita di pinggir sungai... monster bisa melihat kita dari segala arah. Dari air, dari udara, dari tebing. Kita jadi sasaran empuk.”

Oiko mulai merasa merinding.

“...Terus kalau lewat hutan?”

Mikami mengangguk pelan.

“Kalau kita menyusuri sungai dari arah hutan, setidaknya ada pohon-pohon sebagai perlindungan. Kita bisa sembunyi. Bisa dengar suara monster sebelum mereka datang.”

Oiko melihat ke arah gelap di balik pepohonan. Bayang-bayang aneh tampak bergoyang ditiup angin.

“...Hutan pun menakutkan...”

“Segalanya menakutkan di sini,” kata Mikami datar.

Oiko mendesah panjang.

“…Tapi aku rasa, kita gak bisa cuma duduk di sini. Kita harus coba sesuatu.”

Mikami tersenyum kecil, pertama kalinya malam itu.

“Setidaknya kamu punya keberanian.”

Tiba-tiba...

“Ughh... huh?”

Rinya mulai menggerakkan tubuhnya, lalu mengangkat kepala dari paha Oiko.

“Eh... kenapa aku di...?”

Dia melihat Oiko dan Mikami yang duduk melingkar dekat api, lalu sadar dia bersandar ke paha Oiko.

“EEHHH?!”

Langsung melompat mundur sambil memeluk telinga dan ekornya.

“M-maaf! Aku... aku pingsan ya?”

Oiko mengangguk. “Iya, dan posisimu... yaa... agak lucu juga sih.”

Rinya langsung menutup mukanya dengan kedua tangan. “Uuuu jangan lihat aku!! Malu banget!!”

Mikami hanya tertawa kecil sambil menutup mulut.

“Lucu juga kalian.”

Setelah semuanya tenang, mereka duduk kembali melingkar.

Rinya mendengarkan penjelasan ulang tentang situasi mereka dari Oiko, dan wajahnya berubah pucat lagi.

“Berarti kita... di tempat monster level S?!”

“Tenang,” kata Mikami. “Kalau kita hati-hati, kita bisa keluar.”

Oiko mengepalkan tangan. “Oke! Kalau gitu... besok pagi, kita mulai perjalanan. Kita harus temukan jalan pulang.”

Malam itu pun berakhir dengan tekad baru dalam hati mereka.

Namun mereka belum tahu...

apa yang sudah menunggu di dalam hutan gelap itu.

Mata mata merah menyala banyak muncul di bayangan hutan...

1
Protocetus
jika berkenan mampir ya ke novelku Frontier
HarusameName
bukan hasil AI 'kan, ini?
HarusameName: Narasinya bagus, loh! Nice work.
nazeiknow: kalau ga libur up chapter nya per hari "Minggu"
total 4 replies
nazeiknow
JANGAN LUPA LIKE TEMAN BIAR SAYA LEBIH SEMANGAT MENULIS CERITA INI KALAU BISA LOVE LOVE DI PENCET 😉
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!