Dewi Ayu Ningrat, gadis ningrat yang jauh dari citra ningrat, kabur dari rumah setelah tahu dirinya akan dijodohkan. Ia lari ke kota, mencari kehidupan mandiri, lalu bekerja di sebuah perusahaan besar. Dewi tidak tahu, bosnya yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi itu adalah calon suaminya sendiri, Dewa Satria Wicaksono. Dewa menyadari siapa Dewi, tapi memilih mendekatinya dengan cara diam-diam, sambil menikmati tiap momen konyol dan keberanian gadis itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Hari itu, suasana kantor mendung. Bukan karena cuaca walau langit memang kelabu tapi karena hati Dewi... mendadak resah.
Entah sejak kapan, nama “Pak Dewa” mulai menempel erat di benaknya.
Setiap langkah kakinya di lorong kantor, setiap kali pintu lift terbuka, setiap suara langkah sepatu dari ujung koridor... jantungnya otomatis waspada.
"Apakah itu... dia?
Dewi menggigit ujung pulpen. Otaknya tak bisa fokus mengetik laporan. Jarinya justru membuka grup chat:
[DUO GILA - Naya & Dewi]
Dewi: "Nay... aku makin parah"
Naya: "Apa lagi? Flu?"
Dewi: "Flu perasaan karena kayaknya aku mulai... suka sama bosku sendiri"😭
Naya: "HAH?? Tunggu??YANG KEMARIN ITU? YANG DI PANTRY?"
Dewi: 'IYA YANG ITU!"
Naya: "Astaga. Oke. Ini serius.Plan B harus digelar."
Dewi: "Plan B apa?"
Naya: "STALKING DIAM-DIAM. Kita cari tahu siapa sebenarnya si Pak Dewa ini. Kalo ternyata dia udah punya istri tiga, kamu bisa move on sebelum jatuh terlalu dalam"
Dewi: "Aku takut malah jatuh lebih dalam pas tau dia single dan sempurna" 😭
Naya: "Makanya. Kita cari tahu, aku ke kantor kamu hari Sabtu ya!"
Dan begitu rencana gila itu digulirkan... tidak ada jalan kembali.
Hari Sabtu, jam 10 pagi, lobby Satria Corp.
Dewi mengenakan hoodie dan kacamata hitam. Naya berdiri di sebelahnya, pakai topi lebar dan masker, seperti mau pergi ke konser K-pop.
“kami yakin ini penyamaran?” tanya Dewi sarkastik.
“Daripada kita dikira orang aneh, mending dikira orang salah zaman,” balas Naya.
Mereka menyelinap ke area parkir. Dewa katanya selalu datang ke kantor hari Sabtu pagi, setidaknya satu sampai dua jam.
“Liat tuh,” bisik Naya sambil menunjuk mobil hitam mewah yang baru saja berhenti.
Dari dalamnya keluar Dewa. Kemeja putih digulung rapi di lengan, celana bahan abu-abu, sepatu kulit bersih mengilap, dan… senyum kecil saat menyapa satpam.
“MASYAALLAH,” bisik Naya.
“Dia kayak model iklan parfum versi ultra dingin,” balas Dewi, melongo.
Tapi kemudian Dewa menoleh ke arah mereka.
Mata mereka bertemu.
Dewi buru-buru balik badan, pura-pura ngikat tali sepatu.
Naya menjerit tertahan, “Dia LIIHAAATTTTTTTTTTTTTT!”
“DIEM NAY, KAMU PENGEN KITA DIPECAT???” ujar Dewi menekan kata katanya
Sementara itu, Dewa menaiki lift dengan ekspresi datar, tapi matanya menyimpan tawa kecil.
Ia sudah tahu mereka mengintainya.
Dan anehnya… ia tidak marah. Sama sekali tidak.
“Lucu,” gumamnya sambil tersenyum tipis.
“Dia masih seperti dulu… penasaran dengan hal-hal yang dilarang.” ujar dewa dalam hati
Malam harinya...
Dewi duduk di kamar Naya, sambil memeluk bantal dan wajah merah padam.
“Nay… aku makin yakin. Aku… beneran naksir dia.” ujar Dewi putus asa
Naya mendesah dramatis. “Ya udah, kamu tembak aja langsung. Zaman sekarang cewek juga boleh nembak duluan.”
“Gila kali! Itu bos aku". seru Dewi heboh
Bos!....
B-O-S!!....
Kata itu terngiang di telinga Dewi
"Kalau aku ditembak balik pake surat pemecatan, kamu yang tanggung jawab!” ujar Dewi pada Naya
Mereka tertawa, tapi di balik tawanya, Dewi tahu.
Rasa itu makin nyata. Makin jelas.
Dia memang tidak tahu siapa sebenarnya Dewa.
Tapi entah kenapa... hatinya perlahan tertarik pada sosok dingin yang tak pernah marah itu.
Dan Dewa...
Di ruang kerjanya, membuka folder laptop berisi catatan pendek.
Catatan Pribadi - Dewa Satria
> Dewi suka penasaran.
Dewi suka teh manis pakai es batu.
Dewi takut cicak tapi berani debat sama direktur keuangan.
Dewi... masih Dewi yang dulu.
Aku cuma perlu lebih sabar. Dan menunggu waktu yang tepat.
Untuk menghapus batas 'calon suami diam-diam',
dan jadi pria yang benar-benar dia pilih.
...----------------...
Senin pagi datang lagi, tapi bukan dengan rasa malas seperti biasanya.
Hari ini, Dewi bangun dengan semangat aneh. Entah karena mimpi makan seblak bareng Pak Dewa, atau karena... ya, hari ini ia berniat tampil rapi.
Rambutnya dikuncir setengah, kemeja putihnya disetrika dengan mulus, dan bibirnya sedikit diberi warna.
“Aku dandan bukan buat siapa-siapa,” gumamnya sambil ngaca. “Tapi kalo dia liat, ya alhamdulillah, hehehe " ujar Dewi sambil tertawa geli
Di kantor, suasana seperti biasa: sibuk, padat, dan penuh tumpukan kerjaan. Tapi baru lima belas menit duduk, panggilan muncul dari asisten direksi.
“Dewi, Pak Dewa minta kamu ke ruangannya.” ujar asisten direksi
Jantung Dewi berdetak cepat, tapi ekspresinya tenang. Seolah ini bukan pertemuan kesekian dengan bos super dingin itu.
Di ruang kerja beraroma kopi dan parfum mahal itu, Dewa berdiri di depan jendela besar.
“Laporan progres event bulan ini?” tanyanya tanpa menoleh.
“Sudah saya kirim via email pagi tadi, Pak,” jawab Dewi sopan, tangannya tetap tegap memegang folder.
Dewa menoleh, pandangan matanya tajam tapi tenang. “Baik. Terima kasih.”
Hanya itu. Tapi buat Dewi, dua kata itu seperti mendapat medali dari presiden.
Jam makan siang, Dewi sedang duduk santai di pantry, mengaduk sisa teh hangat, ketika suara langkah sepatu tinggi terdengar. Tok. Tok. Tok. Tajam dan percaya diri.
Seorang wanita muncul. Cantik. Elegan. Seperti baru turun dari billboard iklan perhiasan.
Rambut panjang bergelombang. Blazer pas badan. Wajah flawless tanpa cela.
“Permisi, kamu Dewi Ayu?” tanyanya dengan senyum tipis.
Dewi menoleh, tersenyum ringan. “Betul. Ada yang bisa saya bantu?”
“Aku Celine,” jawabnya sambil duduk di depan Dewi tanpa diundang. “Teman... lama Pak Dewa.”
Dewi masih tenang. “Oh ya? Salam kenal, Mbak Celine.”
Celine menyilangkan kaki, bibirnya tersenyum kecil namun suaranya tajam.
“Kudengar kamu sering dipanggil ke ruangannya. Lumayan dekat, ya?” tanya Celine
“Lumayan. Tapi bukan karena dekat. Lebih ke... saya bisa kerja,” jawab Dewi tanpa jeda, menatap mata Celine langsung.
Celine terdiam sejenak, lalu tertawa pelan. “Cukup percaya diri, ya?”
Dewi menaikkan satu alis. “Kalau saya nggak percaya diri, saya nggak akan bertahan di kantor yang isinya orang ambisius dan... ya, penuh gaya.”
Ada jeda lagi.
Celine menatap Dewi seolah menilai dari ujung kepala sampai kaki. “Kamu tahu kan, Pak Dewa itu pria luar biasa. Banyak wanita yang... sangat ingin kembali dekat dengannya.”
Dewi menyender santai di kursi. “Kalau dia luar biasa, saya doakan dia dapat yang luar biasa juga. Tapi maaf, saya bukan tipe yang rebutan laki-laki. Apalagi kalau lakinya nggak minta diperebutkan.”
Senyum Celine mulai kaku.
“Oh ya,” lanjut Dewi dengan santai. “Dan satu lagi. Saya kerja di sini karena saya kompeten. Bukan karena saya pengen cari suami. Jadi... kalau Mbak Celine ke sini buat pamer, saya doain sukses. Tapi saya masih harus lanjut kerja.”
Dewi berdiri. Memungut kotak bekalnya, lalu berkata pelan, “Semoga kita bisa ketemu lagi... dengan alasan yang lebih dewasa.”
Dan ia pergi. Tanpa menoleh.
Di kejauhan, Dewa berdiri di balik kaca pantry yang buram. Ia melihat interaksi itu dari awal hingga akhir.
Tidak mendengar suaranya, tapi bisa membaca bahasa tubuh mereka.
Dan saat melihat Dewi melangkah santai dengan kepala tegak ia tersenyum. Untuk pertama kalinya hari itu.
[Grup DUO GILA – Dewi & Naya]
Dewi: " Nay, kamu nggak bakal percaya barusan gue disamperin cewek model!"
Naya: "HAH? KAMU BERANTEM?"
Dewi: "Nggak. Aku menang pakai tatapan dan ketenangan. Dia sindir-sindir soal Dewa, aku senyum. Dia pamer, aku ucapin selamat.
Naya: "Sumpah Dew, ksmu Ningrat paling savage se-Jakarta"
Dewi: "Kalau dia pikir aku bakal minder cuma karena dia cantik dan akrab sama bos...Salah besar. aku punya harga diri, bukan ilusi.
Naya: "Gila. Kamu harus ngajar seminar 'Cara Menang dengan Santai.'
Dewi: "Nanti. Setelah dapetin Pak Dewa dulu" 😌
Sore harinya, saat Dewi sedang membereskan dokumen, Dewa muncul di meja kerjanya. Tanpa suara, tanpa formalitas.
“Terima kasih,” katanya singkat.
Dewi menoleh. “Untuk apa, Pak?”
“Untuk... tetap jadi kamu.” jawab Dewa
Lalu ia pergi lagi.
Tapi kali ini, Dewi tak cuma diam.
Ia tersenyum. Ringan dan percaya diri.
Dan hatinya berbisik:
“Kalau memang harus jatuh cinta,
maka jatuhlah pada pria yang menghargaimu...
bukan hanya karena cantikmu, tapi karena keberanianmu.”
Bersambung