Kavian akan lakukan apapun untuk bisa membuat kekasihnya bangga pada dirinya, termasuk dia mau berkorban besar atas kesalahan yang kekasihnya lakukan.
Namun apa jadinya jika pengorbanan yang dia lakukan adalah sebuah kesalahan besar. Hingga dia harus kehilangan segala hal. Bahkan kekasihnya itu sudah mengkhianatinya.
Qiana adalah seorang yang membantunya menemukan jalan untuk balas dendam, namun apa jadinya jika hati terlibat.
Apakah Kavian akan meneruskan jalannya ? atau memilih berhenti ?
Penasaran yuk ikuti kisah mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lita aprillia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 31
Tiga hari kemudian
'Anda memasuki pesan suara'
"Hei, Kavian kenapa ponselmu tidak menyala ?aku cemas. Bagaimana perasaan kamu, kamu tidak pergi ke rumah sakit ? Aku tiba di Bandung bersama Mutia, dia tidak tahu kamu dipukul jangan mencemaskannya"
Andrian menghela nafasnya sejenak, ancaman itu Andrian dapatkan juga, jadi saat kejadian itu Andrian memilih pergi membawa Mutia.
"Aku akan menjaganya sampai kamu sembuh"
"Kak Andrian" Andrian mematikan teleponnya, karena Mutia datang.
Andrian memasang wajah yang ceria "Mutia, apakah kamu tidur dengan nyenyak ?"
"Kakak, kenapa kita masih di sini ? Di sini memang enak apalagi bisa melihat pemandangan kebun teh dari sini, tapi aku kangen Kak Kavian, ayo pulang"
Tiga hari berpisah dengan Kavian, tentu saja itu terasa sepi.
"Polusi udara di Jakarta sedang tidak baik, aku butuh udara segar seperti di sini, dan ini juga baik untuk kamu, Mutia" sangkal Andrian.
"Aku ingin pulang, kak" Mutia berdiri dan hendak akan pergi.
Andrian menahannya "Tidak, kamu tidak boleh pulang, temani Kakak di sini, kakak ada kerjaan di sini, kita tinggal di sini beberapa waktu lagi ya" pinta Andrian walau berbohong.
Sebenarnya Mutia memang rindu Kavian, tapi ada alasan lainnya, di sini dia tinggal hanya berdua dengan Andrian, yang bisa di bilang dia lelaki yang Mutia sukai, jadi itu membuat jantungnya tidak baik baik saja.
Andrian mendudukkan Mutia di kursi lagi "Dengar, nikmati waktu liburan kamu di sini, jangan memikirkan hal lain, soal Kavian. Dia baik baik saja, jadi jangan terlalu memikirkannya, juga jangan meneleponnya, hanya lihat aku, memikirkan aku, juga bermain denganku, ya" Jantung Mutia berdegup kencang, mendengar Andrian berbicara seperti itu, rasanya membuat dia deg deg an.
"Kakak, apa kamu tidak takut padaku ?"
"Kenapa harus takut ?"
"Hmmm, aku.... Tidak tidak apa apa, aku akan bermain dengan kakak di sini" Mutia memalingkan mukanya, ini benar benar sangat menyiksanya.
***
Jakarta
Selama tiga hari Qiana demam tinggi, dan mengharuskan dia mengistirahatkan tubuhnya, Qiana tidak mau ke rumah sakit, jadi dokter keluarga yang ke rumah.
Dan saat ini Qiana sedang terlelap tidur, Renata berada di sampingnya, dia hendak membawakan makanan untuk Qiana, tapi karena Qiana masih terlelap, dia pun membawanya kembali.
Selepas Renata pergi, Qiana membuka matanya. Dan di bawah Renata bertemu dengan Liam.
"Panaskan ini, dan berikan pada Nona Qiana jika dia ingin mulai makan" titah Liam pada pelayan rumah itu.
"Baik Tuan"
Pelayan itu pun pergi.
"Dia masih tertidur, aku merasa sepertinya dia tidak mau melihat siapa pun datang" ujar Renata.
"Ketua Galen ingin bertemu dengan ku" sahut Liam, dan dia memberi salam untuk pergi menemui Tuan Galen.
Renata sudah salah sangka
Di dalam ruangan Tuan Galen, Liam dikejutkan dengan beliau memberikan tablet pada Liam yang menunjukan rekaman Renata yang mencium Tian.
"Anda sudah tahu ?" Liam menghela nafas, dia pikir lambat laun pun Tuan Galen pasti akan tahu juga.
"Itu berarti kamu sudah tahu ?" tebak Tuan Galen "Kenapa tidak mengatakannya padaku ?" ucap Tuan Galen dengan geram "Apakah kamu memihak mereka ?" tanyanya lagi kemudian.
"Tidak, aku hanya tidak ingin membuat anda terkejut, Tuan" jawab Liam yang sebenarnya.
"Nona direktur juga sudah setuju"
Mata Tuan Galen nampak membulat "Qiana juga tahu ?"
"Ya, Tuan" Tuan Galen menutup matanya "Maafkan aku tidak mengatakannya padamu"
Tepat setelah mengatakan itu Tuan Galen memegang dadanya dan merasa kesakitan.
"Tuan !!" pekik Liam panik.
"Tuan" Liam tambah khawatir melihat Tuan Galen, tapi beliau memberikan kode tangannya pada Liam, agar tidak khawatir.
Setelah tenang, Tuan Galen kembali berbicara "Jangan menunjukan kalau kita mengetahuinya, jangan biarkan Qiana tahu aku mengetahuinya"
"Aku tidak akan membiarkan mereka tenang, gunakan semua jalur hukum, jika harus membuat satu laporan pembiayaan palsu, siapkan"
"Aku ingin Asisten Tian dan Renata membusuk di penjara sekurang kurangnya 30 tahun, aku tidak bisa menutup mataku sampai nanti, itulah satu satunya caraku untuk meninggalkan Qiana bersamamu, dan beristirahat dengan tenang" Mata Tuan Galen sudah berkaca kaca, Liam juga ikut sedih.
Asisten Tian baru saja datang ke rumah itu, ternyata dia datang ke sana karena khawatir pada rekaman CCTV itu.
"Kita dalam masalah, Ketua Galen meminta rekaman CCTV, di dalam rekaman itu ada anda dan Nyonya Renata"
"Dimana rekaman itu ?"
"Ketua mengambilnya, setiap satu bulan sekali beliau akan mengecek itu"
"Aku pikir Tuan Liam juga mengetahuinya"
Tian memukulkan tangannya pada setir mobil, dia dapat informasi itu dari pria yang menjadi suruhannya. Dia juga memijit dahinya merasa bingung harus bagaimana, tapi tiba tiba dia terpikir ide.
***
"Kavian, Mutia. Aku membuatkan kalian sup sapi, makanlah selagi masih hangat" teriak tetangganya Kavian.
"Kenapa sepi sekali, apakah mereka pergi ?" gumamnya sendiri.
"Mutia, Kavian, Andrian" serunya lagi.
"Kalau mereka pergi, kenapa membiarkan pintu gerbang terbuka" gumamnya lagi
"Tapi ada sepatunya di sini" Beliau melihat ada satu sepatu di depan pintu rumah Kavian.
Karena tidak ada jawaban, beliau pun pergi dan memilih meninggalkan sup itu di atas meja luar. Hingga sampai malam pun sup itu belum tersentuh sama sekali.
Di kediaman Qiana
Qiana terbangun dan duduk di pinggir tempat tidur, dia menatap makanan yang tersaji di depannya , namun enggan untuk mencicipinya sedikit pun.
Qiana melepaskan impus san dari tangannya, dia pun berdiri dan menuju ke meja belajar, dia pun melihat sebungkus obat yang Kavian berikan saat terakhir bertemu.
"Kamu ingin mengakhirinya kan ? baiklah, ayo kita akhiri"
"Kondisimu memburuk, kamu harus masuk rumah sakit pagi besok"
Qiana meremas itu dengan erat dan membuangnya.
***
Pagi hari
Renata masuk dengan membawa makanan untuk Qiana lagi, dia melihat Qiana yang sudah agak rapi.
"Apakah kamu akan pergi ?" Renata bertanya
"Aku harus kerja" sahut Qiana.
"Kamu tidak bisa pergi bekerja, Papa kamu tidak akan menyetujuinya, kamu tidak bisa meninggalkan ruangan ini" Renata sedang mengingatkan Qiana.
Tapi Qiana tidak peduli, dia mengambil tasnya dan hendak pergi, tapi Renata menahan.
"Dia memintaku untuk menjagamu dalam beberapa hari, dia juga menyewa beberapa pengawal untuk kamu"
"Jangan bercanda"
"Lihat saja ke luar, kalau kamu tidak percaya"
Qiana pun melangkah ke arah jendela dan melihat ke arah luar, dan benar saja ada pria berjas hitam di sekitar rumahnya.
Qiana langsung menatap Renata dengan geram, Renata menyimpan makanan yang tadi dia bawa.
"Kamu harus makan, beberapa hari ini kamu tidak makan" Renata menyarankan agar Qiana makan.
"Apa yang kamu lakukan padanya ?" tiba tiba Qiana bertanya dengan geram pada Renata mengenai Kavian.
"Siapa maksud kamu ?"
"Kavian" Renata terkejut.
"Kamu kirim orang untuk mengancamnya kan ? Itu tindakan yang sangat buruk"
Renata mendecih "Kamu tahu kalau aku mendengarkan ?" Qiana berbicara dengan nada yang geram.
"Tidak masalah, aku memang mengirim preman untuk mengancamnya, dengan tidak berperasaan, itu karena dirimu" Renata bicara tidak kalah geram.
"Apa hasilnya ?"
"Kamu dapat mengakhirinya, tidak ada yang tidak mungkin bagi Papa mu, akhiri itu sebelum semuanya menjadi lebih buruk, kamu hanya perlu mengakhirinya saja"
"Dia tidak akan terpengaruh, bahkan dengan ancaman seperti itu, ku rasa akulah seorang hakim yang baik"
Renata tidak menjawab dia hanya bilang pada Qiana untuk mengistirahatkan dirinya. Qiana pun tak peduli jika Papa nya marah, dia akan tetap pergi, tapi saat ingin membuka pintu, pintu sudah terkunci.
Renata turun ke bawah, dan saat saat di pertengahan tangga, ponselnya berdering.
"Renata, ini aku Kakakmu. Haruskah aku mendatangi mu"
"Apa yang kamu inginkan ?" Renata merasa takut, tapi dia mencoba pura pura baik baik saja.
"Sudah delapan tahun, begitukah kamu memberi salam, tidak ada yang ku inginkan. Aku hanya ingin melihat wajah adik ku"
"Sayang sekali, aku yang tidak ingin melihat wajahmu. Aku sibuk, aku harus pergi" Renata akan menutup teleponnya, tapi Kakaknya kembali bicara.
"Adakah kepastian datang dari Kavian ? kamu sungguh sudah membesarkan pengikut yang setia, Dia mengancam untuk membunuhku jika aku mendekatimu, dia sudah benar benar kehilangan akalnya"
Renata terkejut mendengar itu.
"Dia mengatakan siap membuat tangannya berdarah dan membunuh siapapun. Dia memang sudah berubah setelah membunuh orang"
"Kamu kelihatannya dipersalahkan, kamu tau aku mencintaimu adikku, darah lebih kental dari air, aku tidak peduli seberapa banyak Kavian peduli pada kamu, dia tidak bisa mencintaimu melebihi aku. Jangan mengatakannya aku menelepon mu"
"Ayo bertemu dan bercerita tentang masa lalu" Renata langsung menutup teleponnya, dia pun merasa lemah.
Dan dia tersadar kalau dia sudah berbuat salah lagi pada Kavian, dia sudah menuduhnya yang tidak tidak.