Dara

Dara berlari menuju kamarnya sesaat setelah mendengar kalau suaminya sakit. Apalagi, Rey tidak mau dipanggilkan dokter.

Ceklek

Begitu memasuki kamar, Dara melihat Rey meringkuk didalam selimut. Perlahan Dara mendekat, di sentuhnya dahi sang suami. Panas. Benar kata Mamanya, Rey demam.

"Ra, kamu sudah datang?"

"Kenapa tidak bilang kalau sakit? Kenapa tidak mau dipanggilkan dokter!"

Rey tersenyum, "Aku cuma demam biasa"

Dara hendak beranjak tapi ditahan oleh suaminya, "Temani aku disini. Nggak usah kemana - mana"

"Aku mau ambil kompresan sama buatin kamu bubur. Sekalian panggil dokter"

"Aku nggak butuh dokter. Aku cuma butuh kamu"

Dara mendengus, "Jangan keras kepala. Kamu mau sakitnya lama"

"Kalau dengan sakit bisa bikin kamu dekat sama aku, aku rela"

"Arrgg. Sakit, Sayang" keluh Rey saat Dara mencubitnya

"Nggak perlu sakit, kita juga udah dekat. Jangan aneh - aneh deh! Pokoknya tunggu disini! Jangan bantah!"

Rey mengangguk sembari tersenyum, "Iya, iya"

Dara mulai beranjak tapi lagi - lagi Rey menahannya, "Apa lagi?" tanya Dara sedikit kesal

"Aku nggak suka bubur, Sayang"

Dara menghela nafas, "Iya. Aku buatin yang lain. Sup ayam mau?"

"Mau, mau, mau"

Dara terkekeh, "Ya sudah, tunggu disini"

Dara segera keluar dari kamar langsung menuju ke dapur.

"Bagaimana keadaan suami kamu?" tanya Papa Axel

"Badannya panas. Ini aku mau buatin sup sama ambil kompresan. Papa bisa tolong hubungi dokter Alan" ucap Dara

"Papa sudah menghubunginya tadi"

Jawaban Mama Raya membuat Dara terkekeh, "Papa bisa se care itu ya sama Rey"

"Karena Papa sudah nyaman sama dia dari lama"

"Biar Mama yang bikin sup nya, kamu kompres Rey dulu sambil nunggu dokter Alan"

Dara mengangguk, dia membawa baskom berisi air hangat dan lap kain ke kamar.

"Sup nya Mama yang bikin. Tunggu sebentar ya. Aku kompres dulu"

Rey hanya tersenyum, tanpa menjawab. Jujur saja, badannya terasa semakin tidak nyaman. Dengan telaten dan penuh perhatian, Dara mengompres kepala suaminya. Dirasa agak kering, ia kembali memasukkan kain lap dalam air lalu memerasnya kemudian ditempelkan lagi.

Tok Tok Tok

"Sayang, ini sup nya sudah jadi"

"Iya, Ma"

Dara menerima sup dari Mamanya, masih panas dan mengepulkan asap.

"Loh, dia tidur?" tanya Mama Raya saat melihat menantunya terlelap.

"Mungkin karena demamnya itu"

"Ya sudah, taruh dulu sup nya. Kasihan kalau harus dibangunkan. Dokter Alan juga sudah dijalan. Mama keluar dulu. Kamu disini saja temani suamimu"

"Iya, Ma"

Beberapa menit kemudian, dokter Alan tiba. Papa Axel langsung memintanya memeriksa sang menantu.

"Ini hanya demam biasa, Tuan. Tidak perlu khawatir. Menantu Anda hanya perlu istirahat yang cukup dan minum obat"

"Terima kasih banyak dok"

"Sama - sama, kalau begitu saya permisi dulu"

Papa Axel dan Mama Raya mengantar dokter Alan kedepan.

"Sekarang makan dulu ya, sup nya masih agak hangat. Atau kamu mau yang panas?"

Rey menggeleng, "Ini saja. Tapi suapi" ucapnya dengan nada manja

"Hm. Iya, iya"

Dara mulai menyuapi suaminya.

"Masakan Mama enak ya. Pantas kamu juga pintar memasak. Pasti belajar dari Mama"

"Mama bilang, meski seorang istri menjadi wanita karier, usahakan urusan makanan tidak dilakukan oleh orang lain. Sebab, masakan adalah salah satu bukti cinta seorang istri pada suaminya"

Rey mengangguk dan tersenyum, "Dan beruntung aku mempunyai istri seperti kamu"

Tak terasa, semangkok sup sudah Rey habiskan, "Sekarang minum obatnya"

"Hm"

Usai meminum obat, Dara membantu Rey berganti pakaian. Tak lupa menyeka tubuh suaminya dengan air hangat.

"Sekarang istirahat ya"

"Aku capek tidur terus"

"Terus maunya apa?"

Rey menepuk sebelah ranjang, Dara yang paham pun langsung duduk disamping suaminya.

"Apa yang ingin kamu tanyakan?"

Rey tersenyum, selain cantik dan baik hati, Dara juga merupakan sosok yang peka. Beruntunglah dia bisa memperistri wanita itu.

Rey merebahkan kepalanya dibantal kemudian memeluk perut sang istri,

"Kenapa kamu masih mempertahankan Ibra bekerja denganmu? Apa kamu belum bisa melupakannya?"

Dara menggeleng, dia mengusap rambut sang suami dengan lembut. "Aku hanya ingin membuatnya merasakan sakit seperti apa yang aku rasakan"

"Tapi tidak harus dengan mempekerjakan dia sama kamu, Sayang. Aku keberatan. Aku cemburu. Aku nggak suka"

Bukannya marah, Dara malah terkekeh melihat ekspresi kesal suaminya.

"Sekalian ini bisa buat ngetes kamu juga"

"Ya nggak gini juga caranya, istriku. Pokoknya Ibra nggak boleh kerja sama kamu. Terbuat dari apa sih hatimu sampai sudi mempekerjakan Ibra dikantor"

"Kan aku sudah bilang, biarkan dia merasakan apa yang aku rasakan"

Rey memeluk perut sang istri semakin erat, "Kalau aku minta kamu buat berhentikan dia, apa kamu keberatan?"

Dara menatap suaminya, "Belum waktunya"

Jawaban Dara membuat Rey merengut, "Masalah pekerjaan Ibra biar jadi urusanku. Pokoknya kamu nggak boleh dekat lagi sama dia. Atau ...."

"Atau apa?"

Rey menyeringai lalu membisikkan sesuatu, "Kamu akan kubuat nggak bisa jalan setiap hari"