NovelToon NovelToon
Dewa Setan Perbatasan Utara

Dewa Setan Perbatasan Utara

Status: sedang berlangsung
Genre:Raja Tentara/Dewa Perang / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:19.1k
Nilai: 5
Nama Author: Jibril Ibrahim

Muda, tampan, kaya, tidak berguna! Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan sosok Huan Wenzhao. Namun…

Siapa sebenarnya Huan Wenzhao tak ada yang tahu.

Mau tahu identitas lain Huan Wenzhao?

Ikuti kisahnya di sini!
Hanya di: Noveltoon/Mangatoon.

~Selamat membaca~

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jibril Ibrahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode³¹

“Huan Wenzhao!” Guru sastra mengambil giliran pertama. “Jangan takut orang lain tak mengetahui jati dirimu, tapi sebaliknya. Menurutmu… apa arti pepatah ini?”

“Arti dari pepatah ini…” Huan Wenzhao menjawab pelan dan menggantung kalimatnya sambil berpikir. Lebih tepatnya pura-pura berpikir.

Sebagai ketua sekte mata-mata, mustahil ia tidak mengerti pepatah itu. Bukankah itu yang sedang ia lakukan sekarang?

Tapi dibanding sastra, bakat aktingnya jauh lebih hebat!

“Arti dari pepatah itu adalah…” Huan Wenzhao menggantung kalimatnya lagi. “Tak takut orang lain tak tahu, asalkan saya tahu. Hanya takut orang lain tahu…” tuturnya terbata-bata sambil terbengong-bengong. “Dalam belajar berarti… orang lain memberi sedikit petunjuk, dan kita langsung mengerti intinya.”

Pangeran ketujuh berpaling dan tertunduk menyembunyikan senyum gelinya. Mengatupkan mulutnya menahan tawa.

Guru sastra itu mendesah dan mengerang.

“Siapa gurumu sebelumnya?” Tanya Dekan Qin menyela Huan Wenzhao.

“Guru?” Huan Wenzhao melengak memasang wajah polos. “Memang ada beberapa,” katanya sambil mengusap bagian belakang kepalanya dan tersenyum bodoh. “Kemudian… ada urusan keluarga… ada yang sudah tua… ada yang sakit… ada yang putranya menikah… ada yang putrinya menikah…” Jelasnya dalam tempo pelan yang membosankan.

Dekan Qin dan kedua guru di kiri-kanannya membeliak diam-diam dengan ekspresi muak.

“Intinya, semua itu wajar, kan?” Huan Wenzhao menambahkan sambil cengengesan. “Itu masih bisa dimaklumi. Yang terakhir pergi… tidak pernah kembali lagi!”

Pangeran ketujuh berdesis tertawa sambil membekap mulutnya dengan kepalan tangan.

Kedua guru di kiri-kanan Dekan Qin bertukar pandang.

“Apakah Adipati Huan tak pernah mempertanyakan perkembanganmu?” Tanya Dekan Qin dengan alis tertaut. “Menguji pengetahuanmu?”

Huan Wenzhao mengulum senyumnya dan menggeleng. “Ayahku bilang, aku adalah petarung, pewaris beladiri spiritual, tak perlu bersaing di bidang sastra. Tidak berguna saat bertarung!”

“Bagaimana dengan tatanegara?” Guru tatanegara menginterupsi.

“Ayahku juga tidak berharap aku jadi pejabat,” Huan Wenzhao menjawab tanpa beban. “Membaca buku-buku itu juga tidak berguna!”

Dekan Qin dan kedua guru di kiri-kanannya melengak bersamaan.

Pangeran ketujuh tersenyum kecut. Aku sungguh kagum dengan bakat aktingmu, dengusnya dalam hati. “Paling tidak kau bisa berkuda, kan?” Tanyanya sambil menoleh pada Huan Wenzhao.

“Benar!” Dekan Qin membenarkan. “Begini saja,” katanya. “Kita ke lapangan sekarang. Panggil guru berkuda!”

Tidak ada habisnya! Erang Huan Wenzhao dalam hatinya.

“Kami ingin lihat semangat petarung penerus Huan!” Tantang Dekan Qin.

Tak lama kemudian, Dekan Qin sudah memimpin mereka ke tempat pelatihan kuda.

Rata-rata pelatih kuda di Sekolah Kekaisaran adalah pensiunan tentara atau keturunannya. Mereka semua adalah pengagum Adipati Huan.

Jadi, begitu mereka tahu pengujian hari itu untuk penerus Huan, para pelatih kuda itu menyambutnya dengan antusias.

Kebetulan saat itu semua pelajar juga sedang beristirahat. Melihat Huan Wenzhao digiring ke lapangan berkuda, para pelajar yang penasaran itu segera menghambur dan berkerumun di tepi lapangan.

Sekali lagi, Huan Wenzhao akan menjadi tontonan. Mungkin juga menjadi lelucon!

Salah satu pelatih kuda memandu Huan Wenzhao menuju istal dengan tergopoh-gopoh. “Lihatlah!” Katanya sambil menunjuk deretan kuda di depan mereka. “Semua ini adalah koleksi kuda terbaik yang dimiliki Sekolah Kekaisaran.”

Huan Wenzhao berjalan pelan di sepanjang istal dengan kedua tangan bersilangan di belakang tubuhnya. Mengamati satu per satu koleksi kuda itu dengan wajah serius.

Pelatih kuda itu merekomendasikan beberapa kuda yang mungkin cocok dan menjelaskan keistimewaan masing-masing kuda dengan menggebu-gebu.

“Lihat ini!” Pria itu menunjuk kuda berwarna cokelat kemerahan dengan surai berwarna hitam. “Yang ini adalah kuda Mongolia. Sangat kuat!”

Huan Wenzhao melewatinya. Tatapannya sudah bergulir ke arah kuda berikutnya.

“Yang ini kuda Dawan, larinya sangat cepat!” Pelatih kuda itu memberitahu.

Tatapan Huan Wenzhao sudah beralih ke kuda berikutnya lagi.

“Ah—kalau yang ini kuda Gaoli!”

Huan Wenzhao melewatinya lagi.

Pelatih kuda itu tergagap dan menggeleng-geleng. Mau mencari sampai kapan? Ia mengeluh dalam hatinya. Kemudian mengejar Huan Wenzhao.

Dalam hatinya, Huan Wenzhao mengakui semua kuda itu merupakan kuda unggulan ketentaraan. Tapi bukan itu yang sedang dicarinya.

“Kuda-kuda ini memang tak bisa dibandingkan dengan kuda Akhal Teke Perbatasan Utara Anda,” pelatih kuda itu mencoba beralasan. “Tapi…”

“Dia saja!” Huan Wenzhao tiba-tiba berhenti dan menunjuk seekor keledai muda di ujung deretan kuda apkiran.

Guru berkuda itu nyaris tersedak air liurnya. “Ini—” Ia tergagap dan menelan ludah. Lalu berdeham dan memperbaiki ekspresi wajahnya. Mau tak mau menurutinya.

“Ah—jujur saja, Penerus Huan! Yang Anda pilih ini… sebenarnya keledai,” ungkap pelatih kuda itu berhati-hati. Tapi tetap mengeluarkan keledai itu dan menuntunnya menuju lapangan.

“Haish!” Huan Wenzhao mengibaskan tangannya. “Kau tidak mengerti!” Ia berkilah.

Tiga generasi Adipati Agung terkenal berkepribadian nyentrik, batin pelatih kuda itu mencoba berpikir positif. Mungkin sifat itu juga menurun ke generasi keempat. “Keledai ini… bisa menunjukkan kehebatan Anda?” Ia mencoba menerka.

“Tidak juga!” Tukas Huan Wenzhao tanpa beban sedikit pun. “Keledai ini lebih rendah,” katanya sambil menepuk-nepuk punggung keledai itu dan menyeringai. “Membuatku merasa jauh lebih aman. Kalau jatuh juga tidak akan terlalu sakit, kan?”

“Ternyata begitu,” gumam pelatih kuda itu sambil mengernyih. Antara tersenyum dan mengernyit.

Para pelatih kuda lainnya menunggu di lapangan bersama dekan sekolah, guru berkuda dan para pelajar yang penasaran. Semuanya terlihat tak sabar. Namun dengan begitu saja, Huan Wenzhao menghancurkan penantian mereka.

“Ini—” Dekan Qin tergagap menatap keledai itu dari atas podium.

Guru berkuda terperangah di bawah podium itu dengan dahi berkerut-kerut. “Ini kuda yang dia pilih?” Desisnya dengan raut wajah tak yakin.

Para pelajar dan para pelatih kuda melengak bersamaan.

“Ini kan, keledai?!” Pekik beberapa orang.

“Inikah semangat petarung yang disebut-sebut?” Guru sastra mengerang di dekat guru tatanegara.

Pangeran ketujuh mendesah kasar dan menggeleng-geleng. Penerus Huan ini mau apa lagi? Geramnya dalam hati. Lalu bertukar pandang dengan Yang Zhongyu.

Tidak mengerti lagi! Pikir Yang Zhongyu tak bersemangat.

“Konyol!” Dengus Putra Dekan Qin di sisi Yang Zhongyu.

Beberapa anak dari kelas mereka mengerling ke arah Jiao Jingling.

Gadis itu tertunduk dengan raut wajah muram.

Shi Xia juga meliriknya dengan tatapan prihatin.

“Penerus Huan, silahkan naik!” Seorang pelatih kuda berusia belasan tahun tetap terlihat antusias dan bersikap hormat. “Berputarlah satu kali mengelilingi lapangan,” ia menginstruksikan.

Pelatih kuda yang menuntun keledai itu berhenti di dekat remaja itu.

Huan Wenzhao memutar tubuhnya dan melangkah perlahan mendekati keledai itu sambil membentangkan kipasnya di depan dada. Lalu tertunduk sekilas dan mendongakkan hidungnya lagi sembari mengipasi diri. “Mana pijakannya?” Tanyanya tak tahu diri.

Semua orang serentak berdesis menahan tawa.

“Benar-benar manja,” Qin Wu mencebik sembari membeliak sebal.

“Penerus Huan! Di medan perang tidak ada pijakan!” Guru berkuda menghardik Huan Wenzhao dari dekat podium.

“Ck! Ini kan, bukan di medan perang!” Tukas Huan Wenzhao acuh tak acuh. “Tidak ada pijakan bagaimana aku naik?”

“Kau—” Guru berkuda itu meringis menahan kesal. “Pengawal! Carikan pijakan!” Teriaknya setengah menghardik.

Huan Wenzhao tertawa dalam hatinya.

Dasar anak setan!

Setelah seseorang menaruh pijakan di bawah keledai itu, Huan Wenzhao masih mengulurkan tangannya untuk dipegangi, “Hmmmh!” Geramnya dengan isyarat perintah.

Pengawal yang membawakan pijakan itu mengerang dalam hatinya. Lalu dengan terpaksa membantu Huan Wenzhao naik.

Yang Zhongyu dan pangeran ketujuh mengatupkan mulutnya dengan raut wajah kecut.

Shi Xia tersenyum muram.

Adiknya, Shi Lingling menyeringai di sisi lain lapangan sembari berkacak pinggang.

“Pegang talinya dan berlarilah mengelilingi lapangan!” Instruksi guru berkuda.

“Kalau berlari terlalu berguncang,” Huan Wenzhao beralasan. “Jalan begini saja,” katanya sembari menghela pelan keledai itu.

Guru berkuda itu sudah hampir meledak karena jengkel. Wajahnya sudah semerah tomat.

“Saat berperang, sudah pasti harus berlari kencang!” Guru tatanegara memprovokasi.

“Aku penerus Adipati Agung!” Tukas Huan Wenzhao. “Kedepannya menjadi jenderal besar. Berperang melawan musuh tak perlu aku yang maju! Benar, kan?”

Para guru dan pelatih kuda menggeleng-geleng dengan raut wajah kecewa.

“Mau keledai atau kuda, yang penting masih bisa kutunggangi!” Huan Wenzhao menambahkan sambil pura-pura berkonsentrasi mengendalikan tunggangannya seolah-olah keledai itu monster raksasa. “Larinya cepat atau lambat tak penting!”

“Seperti ini juga mau melawan musuh?” Gerutu beberapa pelajar di tepi lapangan.

“Mau jadi jenderal besar?” Cemooh Shi Lingling. “Sungguh pemimpi besar!”

“Menarik!” Sindir pelajar wanita lainnya.

Para pelajar wanita lainnya lagi tertawa cekikikan.

“Penerus Huan akan menjadi jenderal besar?” Seloroh salah satu pelajar pria meneriakinya. “Sudah pasti mengerti teknik perang, kan?”

“Menguji teknik perang juga bisa!” Guru tatanegara merasa seperti mendapat pencerahan. “Undang penasihat bagian prajurit ahli perang kemari!”

“Ah—tu-tu-tu-tunggu, tunggu!” Huan Wenzhao menyela cepat-cepat dan terbata-bata. “Tidak perlu begitu! Jenderal besar tak harus menguasai teknik perang. Kalau semuanya aku kuasai sendiri, lalu apa gunanya penasihat perang dan prajurit yang begitu banyak?”

“Prajurit keluarga Huan, kelak diserahkan padanya,” gumam salah satu pengagum Adipati Huan. “Perbatasan Utara sungguh di ambang bencana!”

1
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Clink
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yeaaah
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Hancurken
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yuhuuuuu
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yeaaah
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Shi
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yeaaah
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Clink
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Jlebz
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yeaaah
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Jlebz
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Klik
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Iyeeeees
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Jlebz
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow
Sembilαn βenuα
😂😂😂😂😂
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!