"Aku memang bukan cinta pertamamu, tapi aku akan menjadi cinta terakhirmu."
Syabilla, nama gadis yang bicara itu. Dan Dhuha, nama pria yang tertegun setelah mendengar apa yang dia katakan.
"Aku seorang duda."
"Iya aku tahu."
"Aku duda dua kali."
"Iya aku juga tahu hal itu."
"Aku sangat jahat, dahulu..."
"Iya, aku tahu semua tentangmu di masa lalu."
"Lantas, kau masih mau menjadi istriku?."
"Iya."
"Kenapa?."
"Karena kata ayah dan ibu kau pria yang baik."
Sejenak Dhuha terdiam, kemudian....
"Baiklah, karena kau sudah tahu siapa aku dan bagaimana masa laluku, mari kita menikah."
Di balik cadar putih itu Syabilla tersenyum. Sementara Dhuha, pria itu kembali diam. Dia tak tahu bagaimana ekspresi para keluarga setelah mendengar kesepakatan mereka, sebab dia buta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Be___Mei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 31
"Grab!"
Syabilla terkejut, tubuhnya langsung terasa berat.
"Abang ...."
"Hem ...?"
"Berat!"
"Apa yang berat?"
"Abang yang berat!" Mencuci tangannya yang penuh sabun, Syabilla berbalik badan dan kini berhadapan begitu dekat dengan sang suami.
"Dih ... senyum sendiri. Abang kenapa?"
Menepikan beberapa barang yang terasa mengganggu baginya, Dhuha menarik tubuh Syabilla untuk bergeser, dia mengangkat tubuh kecil itu hingga duduk pada barisan wastafel cuci piring.
Dia mengurung tubuh Syabilla dengan kedua lengannya. Sedikit jongkok demi mensejajarkan tatapan mereka, Dhuha juga merapikan rambut tergerai istri kecilnya. Bahkan setelah duduk di atas kabin wastafel pun Syabilla masih kalah tinggi dari Dhuha. Hal ini kerap membuat Syabilla memberengut, kenapa masalah pembagian tinggi badan ini sangat tidak adil untuknya.
"Abang ... pekerjaanku belum selesai."
"Tinggal mencuci piring saja, kan?"
"Iya. Tapi selepas ini Syabill mau menghirup udara sejuk di halaman belakang. Dan abang berangkat ke pasar."
Kening Dhuha dibuat berkerut "Siapa bilang abang akan ke pasar hari ini?"
"Bukannya setiap pagi begitu, sayang," ujar Syabilla menatap intens padanya.
"Setelah kejadian kemarin, abang rasanya mau di rumah saja. Hem ... mungkin ke kebun dua kali dalam seminggu. Setelah itu di rumah saja."
"Ng? Memangnya kenapa, bang?"
"Abang takut dikejar kucing betina lagi. Nanti kamu juga yang repot. Abang kan lumayan tampan, nggak seharusnya abang bebas berkeliaran di pasar, abang takut diculik juga."
"Abang! narsis banget sih!" Tertawa mendengar celoteh sang suami pagi ini, ini kali pertama dia mendengar Dhuha berkata sangat percaya diri.
"Hehehe ... jadi gimana? Abang boleh mengurangi jadwal turun ke pasar?"
"Sisanya biar jadi urusan Dito dan Tio," Dhuha lanjut berkata.
Menyugar rambut Dhuha ke belakang, jemari kecil Syabilla berakhir di kedua pipi sang suami "Abang ... semua itu terserah abang. Kalau abang merasa lebih nyaman di rumah, Syabilla nggak keberatan. Justru Syabilla senang, jadi ada temennya di rumah."
"Uluh ... uluh ... jadi selama ini kamu kesepian kalau abang tinggal ke pasar?" Kini giliran dagu sang istri yang menjadi sasaran tangan jahilnya, dia mencubitnya pelan.
"Enggak juga. Kan ada banyak kawan di sini."
"Oh ya?" Tanya Dhuha dalam mode serius.
"Heem," sahutnya mengangguk.
Melihat ke arah jendela, di sana hanya ada dua ekor sapi setelah banyak darinya dibeli orang.
Ah! Ada kambing juga.
Jari telunjuknya menuju ke arah para hewan ternak itu "Iya, mereka kawan-kawan Syabill."
"Hahahaha ...." Dhuha terbahak.
"Abang! Jangan meledekku!"
Memeluk Syabilla dengan erat, Dhuha jadi merasa keputusannya adalah pilihan yang tepat. Karena sempat mengalami rabun parah, bisnisnya telah dipercayakan kepada masing-masing pekerja handal sejak awal. Tentu dia membayar mahal pada mereka, tapi dampaknya cukup bagus. Bisnis yang berjalan lancar dan pemasukan yang cukup lancar juga. Tak jarang Dhuha memberikan bonus pada para pekerja handalnya itu. Seperti hewan ternak miliknya, sudah ada pekerja yang mengurusi mereka. Dan masalah toko-toko buah di pasar, dia menyerahkan tugas itu kepada Tio dan Dito.
Terdengar cukup mapan bukan, tapi Dhuha lebih senang hidup dalam kesederhanaan alih-alih hidup mewah seperti dahulu. Seperti kemarin, dia membeli cumi-cumi di pasar tradisional saja. Dia juga kerap mengajak Syabilla belanja di pasar itu, dan beruntungnya Syabilla tak pernah mengeluh. Dia senang diajak ke pasar tradisional alih-alih supermarket.
Oh Iya, Dhuha baru ingat ada hal yang ingin dia tanyakan pada Syabill.
Menurunkan Syabilla dengan menggendongnya ala bridal, sang istri kini duduk di sofa.
"Kamu istirahat di sini, cucian piringnya biar abang yang kelarin. Tapi ...." Dhuha menjeda kata-katanya.
Syabilla yang sudah tersenyum senang langsung diam, ada apa dengan kata tapi itu?
"Abang mau tanya, dan abang harap kamu menjawabnya dengan jujur."
"Ada masalah apa, bang?"
"Enggak. Ini bukan masalah berat. Abang hanya penasaran."
"Aduh ... Syabilla juga penasaran."
Menekan pundak sang istri untuk duduk kembali di sofa "Syabilla sayang, abang akan mencuci piring dengan cepat."
Lekas Dhuha berlari ke arah kulkas dan ....
"Ini, minum ini dulu." Menyerahkan sebotol minuman yang dapat membersihkan usus, juga membuat tubuh menjadi sehat.
"Abang ...."
"Syut!" Jari telunjuknya mendarat di bibir Syabilla, dia memintanya untuk diam.
Oke, baiklah ... Syabilla akhirnya diam. Sembari meminum minuman itu dia mengawasi pergerakan Dhuha di dapur yang dapat dilihat dari posisinya sekarang.
Lima menit ... karena cucian piring memang tidak banyak, Dhuha menyelesaikan pekerjaan itu termasuk merapikan kembali kabinet wastafel.
Mengambil duduk di depan Syabilla yang kini duduk di kursi tunggal.
"Waktu ketemu Tiara, abang lihat kamu berbisik padanya. Dan dia langsung terlihat ketakutan. Memangnya apa yang kamu bisikan?"
Oh, jadi itu hal yang membuat Dhuha penasaran. Syabilla pikir ada masalah apa, dia sempat ketakutan kalau-kalau berbuat salah.
Mengulurkan tangan, meminta Dhuha menjemputnya dan duduk pada sofa yang sama. Adegan ini terjadi bertepatan dengan suara bel.
Gegas Syabilla mengambil kerudung instan yang ada cadarnya.
"Assalamualaikum ...." Suara yang cukup familiar.
"Waalaikumsalam," sahut Dhuha dan Syabilla bersamaan.
"Jeng! jeng!" Ternyata tamunya adalah Jelita, dia membawa banyak bayi kepiting. Seketika Syabilla merasakan lapar, padahal mereka baru selesai sarapan.
"Mama!" Syabilla senang sang mertua datang.
"Sayang, gimana kabarnya? Sudah makan belum?" Tak ayal Jelita langsung memeluk Syabilla, sedangkan Dhuha bagaikan manekin saja.
Melihat dua wanita itu berpelukan, Dhuha jadi merasa diabaikan.
"Mama ... anak mama di sini!" ujarnya menekannya kata anak.
"Iya mama lihat kok."
"Terus ... kenapa nggak dipeluk? Mama nggak kangen Dhuha?"
"Enggak. Mama kangennya sama menantu mama."
Agh! dada Dhuha terasa sesak, sakit ... rasanya ada panah yang menghujam jantungnya. Ck! Dhuha berlebihan.
"Sudah makan belum?" Tanya Jelita lagi.
"Sudah, ma," jawab Syabilla.
"Yah ... mama melewatkan waktu sarapan demi mendapatkan kepiting kecil ini."
Syabilla terkekeh "Walaupun sudah makan, perut Syabilla masih muat kok untuk bayi-bayi kepiting itu. Digoreng dengan tepung bumbu, kita bikin saos ala-ala mama, di makan sama nasi hangat enak banget itu, ma."
Glek, Dhuha menelan air liur.
"Mama ... aku juga mau."
"Oh boleh. Boleh banget malah. Nih, kamu masak ya."
"Hah?" Dhuha terperangah.
"Masa Dhuha yang masak!" Protesnya.
"Mama kangen masakan kamu." Jelita tersenyum, Syabilla juga. Dhuha jadi merasa dimanfaatkan oleh dua wanita ini.
"Tapi bagian Dhuha paling banyak, ya?"
"Boleh," jawab Jelita.
"Mama serius?"
"Hem," Jelita mengangguk, dan masih dengan senyuman.
Alhasil Dhuha yang memasak di dapur, sedangkan Jelita dan Syabilla ke halaman depan. Selain membawa kepiting, Jelita juga datang dengan membawa bibit bunga.
Syabilla senang, dia tak menyangka Jelita yang dulu katanya jahat malah terlihat begitu sayang padanya. Tak jarang dia memarahi Dhuha kalau terlihat nakal pada Syabilla.
"Ma ... Syabilla bantu bang Dhuha, boleh?"
"No ... kamu di sini saja. Lihat, taman kecil kamu sangat indah. Biarkan pagi ini Dhuha yang memasak, sesekali boleh dong makan masakan suami."
"Masalahnya ... bang Dhuha baru selesai mencuci piring, mama."
"Oh ya? Bagus dong. Berarti dia patut diacungi jempol."
"Mama ... kok begitu. Kan kasihan."
Jelita menggelengkan kepala "No!. Tadi malam dia ngobrol banyak sama mama. Dia bilang mau mengurangi jadwal turun ke pasar. Mama sengaja datang dan membuatnya repot, biar dia tau gimana repotnya wanita di rumah. Sedangkan dia, hanya tinggal turun ke pasar dan buka toko, setiap hari hanya begitu, bukan. Tiba-tiba minta jadwal ke pasar dikurangi. Enak saja ...."
"Mama ... kemarin ada Tiara mencari bang Dhuha ke toko."
"Apa? Tiara?" Jelita terkejut bukan main. Dia tak terpikir bahwa akan bertemu dengan Tiara lagi. Akh! Jelita jadi resah ... apakah itu penyebab Dhuha mengurangi jadwalnya turun ke pasar?.
To be continued ...
Salam anak Borneo.
Tapi agak nyesek kl inget nasib Jena dulu.. 🥺 Untung aja Jena udah bahagia di Ratu-kan Agam dan mertuanya..
kalau begitu kenapa mau menikah lagi?