Syabilla

Syabilla

Pria tak sempurna

Di ujung sebuah desa, jauh dari keramaian, ada sebuah rumah dengan bangunan sederhana. Berbahan kayu saja, juga hanya diberi cat berwarna putih dan sebagian mempertahankan warna alami kayu.

Rumah itu tak besar juga tak kecil, tapi cukup untuk dihuni satu keluarga kecil yang terdiri dari Ayah, Ibu dan dua anak mereka. Sayangnya di rumah itu hanya ada seorang tuan rumah dan satu pelayannya. Oh iya, selain pelayan, tuan itu juga memiliki seekor kucing kampung.

Berbeda dengan ukuran rumahnya, ukuran tanahnya sangat luas, hingga pekarangan rumah itu mampu menampung beberapa sapi, beberapa kambing dan juga banyak ayam.

Waktu subuh telah tiba. Seorang pemuda keluar dari rumah itu, mengenakan baju koko dan kain sarung. Dia berjalan menyusuri teras rumah.

Gesekan halus bulu si kucing menuntunnya untuk berjongkok "Izaan jaga rumah dulu, ya" jemarinya mengusap lembut kepala hewan berbulu itu. Hitam, putih dan oren, dia memiliki tiga warna pada bulunya.

"Meng!" dengan nada pendek, Izaan membalas perkataan sang majikan.

"Pelan-pelan, tuan" ujar sang pelayan.

Pelayan ini bernama Tio. Usianya beberapa tahun lebih muda dari sang tuan muda. Dia penduduk asli desa ini, sedangkan sang tuan muda adalah seorang pendatang.

"Tongkatku?"

Tio terdiam beberapa detik, kemudian menepuk keningnya"Astaghfirullah! saya lupa, tuan. Sepertinya ketinggalan di dalam rumah."

Memiliki seorang pelayan yang sedikit ceroboh, kejadian seperti ini bukanlah hal baru baginya. Beruntung Tio bekerja dengannya setelah ilham itu datang menghampiri. Tingkat emosi yang dulu kerap melonjak naik dan selalu menggebu-gebu kini hampir tak pernah lagi muncul dalam dirinya.

Ya, begitulah manusia. Berkali-kali mendapat teguran atas sikapnya di masa lalu namun masih saja berbuat semaunya, rasa sesal itu baru muncul setelah Tuhan menegurnya dengan sebuah tragedi. Tak tanggung-tanggung, sang maha pencipta hampir merenggut nyawanya dalam tragedi kecelakaan tunggal beberapa tahun yang lalu. Ia mengalami patah kaki waktu itu, dan benturan keras di kepala hingga mengakibatkan gangguan pada saraf matanya. Kaki yang patah boleh sembuh, namun indra penglihatannya tidak.

Tidak? tidak juga sih. Dokter sangat yakin bisa menyembuhkan kedua matanya, namun atas permintaan dirinya, maka biarkan saja matanya seperti itu.

"Aku nggak buta, hanya hampir buta. Setidaknya masih ada kasih sayang sang maha pencipta padaku, maka biarkan aku melanjutkan hidup dengan keadaan seperti ini" ujar tuan muda ini kala itu.

"Tuan, maaf. Saya nggak menemukan tongkat anda, sementara waktu terus berjalan."

"Ya sudah, kamu tuntun aku saja."

"Siap laksanakan, tuan!" seru Tio.

Bergegas Tio mengunci pintu, namun dia menyempatkan diri mengusap kepala Izaan"Pergi dulu ya, meng!, assalamualaikum." Ujarnya berlari kecil menyongsong sang majikan. Sementara Izaan tak peduli padanya, dia mengusap kepalanya dan menjilati tangan, seolah mensucikan kepalanya setelah dielus Tio. Dasar Izaan, selain sang majikan dia selalu begitu kalau disentuh orang lain.

"Izaan, namanya Izaan."

"Tapi kalau diajak ngomong selalu bilang meng!. Seperti bukan kucing saja tuan." Sahut Tio. Mereka kini telah berada diluar pagar, Tio mengunci pagar dengan mengaitkan tali saja di antara pagar kayu itu.

"Nggak semua kucing bunyinya meong."

"Iya sih, tuan. Tapi Izaan jarang me-ngeong kan. Kalau bilang meng! sering."

"Jadi karena itu kamu selalu memanggil dia meng?."

"Iya, tuan."

"Panggil dia Izaan."

"Kenapa sih, tuan. Nama meng itu lucu lho."

Sang tuan muda menghentikan langkahnya"Tio, kamu atau aku majikannya?."

Tio merapatkan mulut saat itu juga, kebiasaan bawel selalu saja muncul di waktu yang salah.

"Maaf, tuan. Iya, saya akan panggil dia dengan nama Izaan mulai sekarang."

"Bagus."

"Tapi tuan, dia kan cewek, kenapa diberi nama Izaan?."

"Memangnya kenapa?."

"Kayak nama cowok."

"Perasaanmu saja."

"Tapi..."

"Kita sudah sampai mana, Tio?" tanya sang tuan muda. Hanya membahas nama kucing saja, obrolan mereka seperti nggak ada habisnya.

"Di depan rumah kakek Sa'ad, tuan."

"Beliau ada?."

"Itu, baru keluar."

"Assalamualaikum, kakek." Pemuda ini sedikit menyaringnya suaranya, agar lebih terdengar kakek Sa'ad. Dia tau, jarak rumah kakek dan pagar di tepi jalan lumayan jauh, meski tak sejauh rumahnya dan pagar pembatas di kediamannya.

"Waalaikumsalam, nak Dhuha. Lho, kenapa dituntut?. Kalau sakit sholat di rumah saja." Sang kakek berjalan menghampiri dua pemuda ini.

"Rasulullah saja sampai minta digotong demi sholat ke masjid. Masa hanya karena sakit sedikit saya langsung libur ke masjid."

"Waduh, kakek salah bicara. Maaf ya nak Dhuha."

"Enggak kek. Kok minta maaf sih. Dhuha yakin kakek hanya spontan berkata seperti itu."

Kakek Sa'ad tersenyum menatap Dhuha"Kamu sok tau" kekehan kecil terdengar darinya yang membuat Dhuha dan Tio ikut terkekeh.

Sembari berjalan mereka melanjutkan obrolan. Masalah tongkat yang tak menyertai Dhuha pada subuh ini, masih menjadi pertanyaan kakek Sa'ad. Dia bahkan khawatir kalau Dhuha memang benar-benar sakit.

"Alhamdulillah saya sehat, kek. Cuma lupa di mana saya meninggalkan tongkat itu."

"Itu salah saya, tuan. Nggak menjaga barang tuan dengan baik."

Dhuha menggelengkan kepala"Justru sebagai pemiliknya, seharusnya aku yang menjaga tongkat itu dengan baik."

Lagi-lagi kakek Sa'ad tersenyum"Kamu beruntung, Tio. Teledor tapi dipertemukan Allah dengan majikan sebaik nak Dhuha."

Dhuha terlihat menggeleng lagi"Saya yang beruntung, kakek. Sebab dia bersedia merawat dan menjaga saya."

"Saya manusia dengan banyak dosa, memiliki seorang teman sebaik Tio sungguh sebuah anugerah." Wajah yang semula ceria, kini terlihat muram.

Tentang kisah Dhuha di masa lalu, baik Tio atau kakek Sa'ad sudah sama-sama tahu. Bahkan bukan hanya mereka berdua, telah banyak orang yang mengetahui hal itu. Sempat menjadi buah bibir para warga, kesungguhan Dhuha dalam memperbaiki diri mampu menepikan kisah kelamnya di masa lalu.

Sekarang bukan lagi bisik-bisik di belakang yang dia dengar, tapi pujian akan kebaikan dirinya saja.

Kerap mendapat pujian, alih-alih senang pemuda ini justru merasa sedih. Tentang hidupnya sekarang yang terbilang sederhana, Dhuha takut rasa sombong itu datang kembali. Sejatinya dia hanya manusia biasa dengan tingkat keimanan yang pasang surut setiap harinya. Selalu, di dalam doa dia meminta pada Allah agar selalu menjadi manusia yang rendah hati.

"Nak Dhuha, kamu yang Adzan, ya." Pinta kakek Sa'ad saat mereka telah sampai di masjid.

"Jangan, kek. Yang lain saja dulu."

"Kakek rindu sama suara kamu pas lagi Adzan."

"Maaf, kek. Boleh kakek mendekat?. Ada yang mau Dhuha bisikan" ujar Dhuha.

Entah apa yang pemuda itu katakan. Setelah mendengar bisikan itu, kakek Sa'ad meminta orang lain saja yang mengumandangkan adzan.

To be continued....

Salam anak Borneo.

Terpopuler

Comments

Pelangi Senja

Pelangi Senja

mampir di ceritaku ya?
MENTARI TERTUTUP AWAN
terimakasih.

2024-04-05

0

Elisabeth Ratna Susanti

Elisabeth Ratna Susanti

mampir di karya keren ini😍 langsung like and favorit ❤️

2024-03-10

1

Lee

Lee

Aku baru siuman dari bertapa kak...
ehh... ka Bee udah ada karya baru aja.ikut event jg ya 🤩
Subcrib dlu biar gk ktinggalan..

2024-03-10

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!