Menjadi Ibu Untuk Keponakanku

"Kenapa sih, beberapa hari ini Mama perhatikan kamu itu bengong terus?" Tegur mama Sinta yang kembali ke ruang makan untuk mengambil ponselnya yang tertinggal, mendapati Rangga melamun dan belum juga menyentuh makanannya.

Rangga hanya mendongak menatap mamanya tanpa menjawab, kemudian kembali mengarahkan pandangannya pada sepiring makanan dihadapannya yang belum ia cicipi sedikitpun.

Mama Sinta pun menarik kursi lalu duduk, ia menatap putranya dengan iba.

Sejak kembali dari rumah Flora hari itu, Rangga tak hanya sering melamun tapi juga seperti tak berselera makan.

Entah apa yang terjadi di sana, ia juga merasa enggan untuk bertanya. Menurutnya untuk saat ini, ia maupun suaminya tidak berhak untuk ikut campur, mereka yakin Rangga masih bisa mengatasinya sendiri permasalahan rumah tangganya bersama Flora.

Namun, jika masalahnya ternyata pelik, mau tidak mau sebagai orang tua mereka akan turut membantu menyelesaikan.

"Kalau kamu tidak keberatan, cerita saja sama Mama. Barangkali Mama atau Papa bisa bantu kasih solusinya." Mama Sinta menyentuh punggung tangan putranya. Sebagai seorang wanita ia turut merasa sakit hati mengetahui sikap putranya sendiri terhadap Flora. Namun, sebagai seorang ibu ia juga merasa tak tega melihat putranya kini kian terpuruk menyesali perbuatannya itu.

Rangga hanya tersenyum miris, ia juga tidak tahu harus bercerita bagaimana pada kedua orangtuanya. Sebagai seorang pemimpin perusahaan, ia sangat disegani dan dihormati. Tapi dihadapi Farzan kakak iparnya, ia tak lebih hanya seorang laki-laki pecundang.

Ucapan Farzan hari itu membuktikan bahwa ia memang tidak pantas disebut pria sejati karena pria sejati tidak akan pernah menyakiti dalam kondisi apapun itu.

'Aku sangat tahu kalau kamu sedang berduka atas kehilangan Adikku, tapi bukan berarti kamu harus menyakiti Adikku yang lain.'

'Aku juga dapat merasakan kesedihan yang kamu rasakan, tapi masih ada yang keadaannya jauh lebih sedih.'

'Bahkan rasa sakitmu itu masih ada yang keadaannya jauh lebih sakit daripada kamu dan dia adalah Flora.'

'Flora juga sama sedihnya sepertimu, juga sama berduka sepertimu bahkan lebih sakit karena dibalik kesedihan dan duka atas kepergian saudari kembarnya, dia mengorbankan cintanya.'

'Flora rela memutuskan hubungannya dengan laki-laki yang sangat dicintainya demi anak-anakmu, demi memberikan sosok ibu untuk Kia dan Azka! Tapi kamu sedikitpun tidak melihat pengorbanannya itu, dan yang kamu lakukan justru merasa adalah orang yang paling tersakiti oleh keadaan karena terpaksa menikahi adik ipar mu sendiri!'

'Dan satu hal yang perlu kamu ketahui, awalnya Flora juga terpaksa setuju menikah denganmu tapi setelah beberapa hari dia berpikir, mungkin memang inilah takdirnya. Arkan bukan jodohnya dan dia akan belajar menerima kamu sebagai pendampingnya.'

'Flora mengatakan itu padaku sehari sebelum kalian menikah, dan perkataannya itu juga yang membuat aku yakin dan setuju dengan pernikahan itu. Tapi hari ini, aku berdiri di hadapanmu sebagai anak tertua dan kakak sulung Flora dengan tegas mengatakan, aku tidak rela atas perbuatanmu yang menganggap dan memperlakukan Adikku hanya sebagai pengasuh!'

'Dan secara sadar aku meminta padamu, segera bebaskan Adikku!'

Rangga menggelengkan kepalanya mengingat semua ucapan Farzan beberapa hari lalu.

Yah, ia memang terpaksa menikahi Flora, ia juga menganggapnya tak lebih hanya sebagai ibu untuk anak-anaknya. Tapi jauh dari dalam lubuk hatinya, ia tidak pernah mempunyai niat untuk menceraikan Flora.

Seiring berjalannya waktu, ia mulai menyadari bahwa tak semestinya ia bersikap demikian terhadap Flora. Maka dari itu ia mulai merubah sikapnya itu dan sesekali lebih banyak mengajak Flora untuk mengobrol. Dalam beberapa pekan semuanya perlahan membaik hingga pada akhirnya semua terungkap, berawal dari kasur lipat yang ditemukan oleh mama Sinta dan mama Zana di kamarnya serta pengakuan Kiara, kini ia harus berjuang untuk mendapatkan kesempatan memperbaiki kesalahannya.