Terbangun dari koma akibat kecelakaan yang menimpanya, Lengkara dibuat terkejut dengan statusnya sebagai istri Yudha. Jangan ditanya bagaimana perasaannya, jelas saja bahagia.
Namun, Lengkara merasa asing dengan suaminya yang benar-benar berbeda. Tidak ada kehangatan dalam diri pria itu, yang ada hanya sosok pria kaku yang memandangnya saja tidak selekat itu.
Susah payah dia merayu, menggoda dan mencoba mengembalikan sosok Yudha yang dia rindukan. Tanpa dia ketahui bahwa tersimpan rahasia besar di balik pernikahan mereka.
******
"Dia berubah ... amnesia atau memang tidak suka wanita?" - Lengkara Alexandria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31 - Jangan Permainkan Putriku
Mereka masih satu atap semalam, tapi tidak lagi seranjang. Sakit sebenarnya, tapi mau bagaimana keputusan itu satu-satunya jalan tengah paling baik menurut Bima. Seperti yang sudah Bima katakan, berakhirnya pernikahan mereka harus jelas dan diketahui keluarga Lengkara.
Cukup sudah bersandiwara, dia tidak ingin lagi. Pagi ini mereka masih sempat makan bersama, Bima tidak menerima alasan tidak ataupun tidak ingin. Pembicaraan mereka agaknya sudah sampai ke telinga pelayan yang bekerja di sana.
Sebagai orang luar yang menjadi saksi hidup pasangan itu sejak menikah, jelas dia menyayangkan andai benar mereka berpisah. Memang beberapa hari terakhir majikannya terlihat murung, tapi sama sekali dia tidak menduga pernikahan yang baru berjalan satu bulan itu hancur seketika.
"Kasihan ... padahal mereka pasangan yang serasi menurutku," tutur pak Iwan yang merupakan penjaga kediaman Bima bersama Lengkara.
"Iya, mereka yang pisah aku yang sakit hati, Wan."
"Orang kaya begitu, tidak ada angin tidak ada hujan tahu-tahu cerai."
"Memangnya harus hujan dulu?"
"Istilah saja, Minarsih!!"
Masih begitu mereka sayangkan, Lengkara yang mengulas senyum sebelum pergi tetap membuat Asih merasakan sakit. Padahal, Lengkara bukan keluarga dekatnya, tapi melihat wanita itu mendadak lesu, hati kecil Asih perih rasanya.
"Kamu bisa memiliki rumah itu jika mau, Ra," ucap Bima sebelum melajukan mobilnya, Lengkara yang menoleh ke arah Asih membuat Bima salah paham.
"Tidak, untukmu saja, Mas," jawab Lengkara menghela napas kasar, tatapannya fokus ke depan sembari membayangkan bagaimana reaksi papanya.
Lengkara sudah cukup dewasa, jelas dia memahami bagaimana watak papanya. Sama seperti dia yang keras kepala, sang papa lebih gila lagi. Entah bagaimana cara Yudha meminta dan memaksa hingga pada akhirnya pria itu rela menikahkan Lengkara pada pria lain.
Dia juga tidak bertanya, tapi yang jelas setiap kali bertemu mata papanya seolah sangat berharap Lengkara menerima pernikahan itu. Saat ini, dadanya berdebar melebihi gugup dalam meminta restu.
Jemarinya bergetar, telapak tangan Lengkara terasa dingin dan firasat wanita itu sama sekali tidak baik. Aneh, bukankah seharusnya Bima yang gugup? Kenapa justru dia yang takut, pikir Lengkara.
Baru memasuki gerbang utama, jantung Lengkara semakin berdegub tak karu-karuan. Wajahnya mulai pucat dengan tangan yang kini terasa dingin. Terlebih lagi, kala melihat papanya berlari menghampiri mereka.
Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya Lengkara. Walau jujur dia begitu marah mengingat papanya juga berperan dalam pernikahan ini, tapi wajah keriputnya membuat hati Lengkara luluh dan merasa tidak siap untuk mengatakan kebenarannya.
"Mas Bima tunggu," pinta Lengkara tanpa sadar menggenggam jemari Bima. Antara yakin dan tidak, dia khawatir pria yang menjadi pahlawan dalam hidupnya itu ikut hancur juga.
"Kenapa? Apa ada masalah?" tanya Bima yang menduga jika kaki Lengkara sakit ataupun semacamnya.
"Bu-bukan." Lengkara memejamkan mata, jemarinya yang terasa dingin membuat Bima mengerti jika wanita itu ketakutan.
"Aku yang akan bicara, jangan khawatir."
Jangan khawatir, Bima tidak tahu saja bagaimana jika pria itu marah. Lengkara tidak bisa menjamin Bima pulang dalam keadaan baik-baik saja, minimal lebam atau mungkin saja sudut bibirnya mengalirkan darah.
Awalnya memang masih baik-baik saja, papa Mikhail menyambut kedatangan mereka layaknya seorang putri yang baru saja menikah. Senyumnya sangat tulus, mungkin pria itu menduga pernikahan putrinya baik-baik saja. Bima berhasil menjadi pendamping sebagaimana yang Yudha janjikan.
Namun, kehangatan itu berlangsung tidak lebih dari sepuluh menit. Pria itu murka kala mendengar penuturan Bima, dadanya naik turun dan terlihat jelas gurat kekecewaan di sana.
Semua yang Lengkara khawatirkan benar terjadi. Kemarahan pria itu membuncah, berjuta kekecewaan dan penyesalan atas langkah yang dia ambil Lengkara dengar dengan jelas.
"Kenapa kau talak putriku? Kau yang turut berlutut meminta papa mengabulkan permintaan Yudha!! Kau berjanji akan menggantikannya dan tidak akan pernah membiarkannya terluka walau sedikit saja!! Lupa, Bima?"
Berlutut, benar dugaan Lengkara sudah tentu ada alasan kenapa papanya sampai berani mengambil langkah itu. Bima mencoba menjelaskan, kurang lebih sama seperti yang dia katakan pada Lengkara semalam.
Bukannya redam, papanya justru semakin marah. Bukan hanya menyalahkan Bima dan Yudha, tapi juga dirinya sendiri. Hingga, di puncak kemarahannya pria itu hendak mendaratkan pukulan di wajah Bima.
"Papa!!"
Lengkara tidak menginginkan hal itu terjadi. Bima yang tetap diam di tempat membuat Lengkara kesal sendiri. Tengah menyerahkan nyawa atau bagaimana, pria itu belum bisa tenang sebelum istri dan anaknya yang lain turut masuk.
"Jangan permainkan putriku ... jika begini kalian menyakitinya dua kali." Bima tidak melepaskan pria tua itu dari pandangan, terlihat jelas dia sangat kecewa dengan keputusan Bima.
"Jika tahu akhirnya akan begini, Papa tidak akan pernah goyah dan mengizinkannya menikahimu, Lengkara, maafkan Papa, Nak," lirih sang papa menatap sendu Lengkara yang sejak tadi berusaha menahan amarahnya.
Mikhail adalah seseorang yang percaya bahwa kekuatan pernikahan tidak ada duanya andai rela berjuang bersama. Sebagaimana Zia dahulu, karena itu dia luluh usai melihat Yudha dan Bima memohon padanya.
"Maafkan aku, Pa."
Hanya itu yang Bima utarakan, bukan hanya berucap, tapi dia kembali bertutut sebagaimana dia turut meminta Lengkara atas nama Yudha kala itu. Percuma, permintaan maaf atau apapun intinya mereka sudah menciptakan luka yang tak seharusnya Lengkara rasakan.
"Berhenti berlutut, Bima ... Lengkara masuk ke kamarmu, kamu terlalu berharga untuk dipermainkan semacam ini!! Masuk!!"
.
.
- To Be Continued -