Setelah menyandang gelar sebagai seorang istri. Rima memutuskan berhenti berkarir agar bisa fokus mengurus suami dan anaknya. Dengan sepenuh hati Rima menyayangi mertua seperti menyayangi ibu kandungnya sendiri. Namun, bukannya kasih sayang dan kebahagiaan yang Rima dapatkan tetapi pengkhianatan dari kedua orang tersebut.
Dengan perasaan hancur, Rima berusaha bangkit dan membalas pengkhianatan suaminya. Balas dendam terbaik adalah dengan menjadikan diri lebih baik dari para pengkhianat. Hingga perlahan Rima bangkit dari keterpurukan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon violla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31
31
Dada ini terasa nyeri melihat Dimas membukakan pintu mobil untuk Rima. Hal sederhana yang dulu pernah aku lakukan untuknya, tapi itu sudah lama sekali. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali mengajak Rima jalan-jalan. Lamat-lamat mobil yang dikemudikan Dimas pergi meninggalkan lokasi yang menjadi saksi bisu perceraianku dengan Rima. Air mata penyesalan menetes kala menyaksikan Rima pergi dengan pria lain. Pria asing yang mungkin akan menjadi pendamping Rima di masa depan.
Pada akhirnya aku kembali ke rumah dengan perasaan hancur. Mobil bekas yang aku beli patungan dengan Citra aku parkirkan di halaman rumah. Mobil itu yang kami gunakan untuk mencari uang. Ya, setelah dipecat aku dan Citra berusaha mencari pekerjaan di perusahaan lain, tapi sampai saat ini belum ada satu pun panggilan atas surat lamaran kerja yang kami kirimkan. Selama menunggu aku membuka bengkel motor kecil-kecilan.
"Kamu udah pulang, Mas?" Citra menyambutku di ambang pintu. "Gimana, kalian udah resmi bercerai 'kan?" Wajah Citra tampak sumringah sekali, sementara aku tertunduk lesu.
"Kenapa diam aja? Status kamu udah duda 'kan?" Citra meraih daguku hingga aku melihatnya. "Itu artinya nggak ada lagi yang menghalangi pernikahan kita. Satus kamu bukan lagi suami orang."
"Aku lelah, jangan bahas masalah itu sekarang." Aku mengabaikan Citra dan masuk ke rumah. Rumah yang beberapa minggu ini seperti tidak ada kehidupan. Semua ini menyiksaku. Bayangan Rima selalu ada di setiap sudut, tapi tidak bisa aku sentuh.
"Mau kapan lagi kita bahas? Sudah cukup Mas menghindar!" sungut Citra.
Tar!!!!
Aku terperanjat mendengar suara dari kamar ibu, sontak aku bergegas menemui ibu. Kulihat ibu masih berbaring di tempat tidur sementara terdapat serpihan beling di lantai.
"Ra-Rama... ibu mau minum." Ibu bicara terbata. Aku tahu fisiknya masih lemah hingga ibu kesulitan duduk dan pasti tidak sengaja menjatuhkan gelas.
"Sebentar, aku ambilkan minum di dapur." Cepat-cepat aku menuangkan air hangat dari dispenser dan aku bawa segelas air itu ke kamar ibu. Perlahan kubantu ibu duduk dan meminum air yang aku bawakan.
"Obatnya udah diminum, Bu?" tanyaku sembari celingukan mencari obat yang biasa diminum ibu.
Ibu menggelengkan kepala. "Belum... nanti aja."
"Kenapa belum? Udah hampir jam tiga sore, harusnya siang tadi ibu sudah minum obat, 'kan? Kenapa alhir-akhir ini ibu sering lalai? Ada di mana obatnya?"
Ibu menunjuk nakas, aku pun segera mrngambil obat ibu di sana.
"Sekarang ibu minum obatnya."
Ibu menggelengkan kepala lagi. "Ibu belum makan," ucap ibu lirih.
Aku menatap ibu heran. "Kenapa belum makan? Apa Citra nggak masak lagi?"
Ibu terdiam dan menggenggam tanganku. Seolah tidak mau membahas tentang Citra.
"Keterlaluan Citra, bisa-bisanya dia bebas ngelakuin apapun di rumah ini tapi nggak mau menjaga dan mengurus ibu!" Aku kesal sekali, ini bukan yang pertama kali Citra mengabaikan ibu. Padahal, Citra tahu ibu sedang sakit.
"Biarkan aja, ibu nggak mau ribut sama Citra. Apa hasil sidang hari ini? Apa kamu dan Rima---
"Mereka udah cerai, Bu!" Citra menyahut tiba-tiba. Aku dan ibu sama-sama beralih melihat Citra yang ntah sejak kapan berdiri di ambang pintu kamar. "Ngapain Ibu masih ingat sama Rima. Bukannya ini yang ibu harapkan dari dulu? Aku masih ingat bagaimana ibu memperlakukan Rima di rumah ini, bahkan ibu sendiri yang menyuruh Mas Rama menceraikan Rima. Semenjak Rima pergi dari rumah ini ibu malah selalu mengingat Rima. Dan sekarang kenapa sepertinya ibu menyesali perceraian mereka?"
"Citra jaga ucapanmu! Apa seperti ini caramu bicara sama ibuku?"sentakku pada Citra, aku tidak terima wanita itu membentak ibuku. "Di depanku aja kamu sekasar ini sama ibu, apa lagi di belakangku?" Aku bertanya dengan dada bergemuruh karena emosi.
"Memangnya kenapa, Mas? Apa yang aku katakan sesuai kenyataan, 'kan? Ibu juga dari awal merestui hubungan kita, bahkan saat Rima masih menjadi istri Mas. Tapi, sekarang kenapa sepertinya kalian mengacuhkan aku?" Citra melawan dan berkacak pinggang di depanku. Hal yang tidak pernah dilakukan Rima walaupun wanita itu sedang marah.