Dul mengerti kalau Bara bukan ayah kandungnya. Pria bijaksana yang dipanggilnya ayah itu, baru muncul di ingatannya saat ia duduk di bangku TK. Namanya Bara. Pria yang memperistri ibunya yang janda dan memberikan kehidupan nyaman bagi mereka. Menerima kehadirannya dan menyayanginya bak anak kandung. Ibunya tak perlu memulung sampah lagi sejak itu. Ibunya tak pernah babak belur lagi. Juga terlihat jauh lebih cantik sejak dinikahi ayah sambungnya.
Sejak saat itu, bagi Dul, Bara adalah dunianya, panutannya, dan sosok ayah yang dibanggakannya. Sosok Bara membuat Dul mengendapkan sejenak ingatan buruk yang bahkan tak mau meninggalkan ingatannya. Ingatan soal ayah kandungnya yang merupakan terpidana mati kasus narkoba.
Perjalanan Dul, anaknya Dijah yang meraih cita-cita untuk membanggakan ayah sambungnya.
*****
Novel sebelumnya : PENGAKUAN DIJAH & TINI SUKETI
Cover by @by.fenellayagi
Instagram : juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
031. Di Tengah Keluarga
Ternyata perjalanan yang mereka lewati menuju tempat liburan itu bertahap. Bara mengatakan soal mereka yang akan mampir di Pulau Batam sebelum menuju Pulau Bintan dengan kapal. Jangankan melaluinya, cukup mendengar cerita Bara saja, Dul tidak sabar.
Sepanjang perjalanan berganti-ganti moda transportasi itu, ia kebanyakan berada dalam gandengan tangan teman ibunya yang bernama Boy. Pria itu menggandeng ia dan Robin di kiri kanannya. Sesekali ia dan Robin berpindah digandeng oleh ibunya Robin. Dan saat mereka harus berpisah, Dul kembali berada dalam genggaman tangan Bara.
Dalam satu hari itu saja Dul telah merasakan tiga jenis moda transportasi. Kali pertama naik pesawat dan kali pertama naik kapal kecil bertingkat. Seperti ingin menambah kepuasan Dul, Bara sempat mengajaknya untuk pergi ke dek kapal paling atas untuk melihat laut langsung saat kapal itu berjalan.
“Dari mana kau, Dul?” tanya Robin saat Dul baru saja kembali ke tempat duduknya.
“Dari atas lihat laut. Kamu ngapain aja?” tanya Dul yang sejak tadi duduk terpisah dari Robin.
“Aku di sini aja. Nontonin Bu Tini yang sekarat,” jawab Robin, menunjuk Tini yang merebahkan diri di bangku yang terdekat dengan toilet.
“Itu mabuk kendaraan, kan? Mbah Wedok juga begitu kalau naik mobil. Makanya Mbah Wedok males ke mana-mana,” sahut Dul, ikut menatap Tini.
“Baru kali ini Bu Tini enggak bisa cakap,” kata Robin. “Biasanya paling bising,” sambungnya lagi.
“Apa aja yang kau bilang itu, Robiiin ….”
Dul dan Robin sama-sama tersentak mendengar seruan dari Mak Robin yang menjulurkan kepala menoleh ke belakang.
“Mana ada aku bilang apa-apa,” jawab Robin.
“Ah, mana ada kau bilang … jadi, suara siapa yang cakap barusan? Hantu? Duduk ke sini kelen bedua. Nanti tiba-tiba datang ombak kencang, lengket mulut kelen ke lantai kapal.”
Tak perlu diminta dua kali. Dul dan Robin yang sedang berdiri di lorong langsung menuju ke barisan depan dan duduk.
Kesibukan Bara selama berada di Pulau Bintan membuat pria itu hanya memiliki sedikit waktu bersama Dul dan Dijah. Dul tidak menganggap itu sebagai suatu masalah besar karena keasyikannya saat itu terpusat pada sosok sahabat baru. Awalnya Dul sempat mengira kalau ibunya Robin yang bicara sangat keras itu adalah wanita yang judes. Ternyata hanya suaranya saja yang keras wanita itu aslinya memiliki sifat penyayang dan peduli.
Prasangka itu suatu hari pernah diungkapkan Dul ketika ia dan Robin berenang bersama. “Bin … apa ibumu enggak cerewet? Soalnya suaranya keras banget,” ucap Dul.
“Ah, apa pula … mamakku suaranya aja yang kuat. Kalau orang dengar mamakku cakap, kayaknya mamakku marah-marah. Muka mamakku seram kayak satpam supermarket liat anak kecil masuk. Tapi hati mamakku baik kali itu. Lembut kayak Bolu Meranti.” Robin terkekeh-kekeh sambil memandang ibunya di seberang kolam.
Lagi-lagi Dul tertawa mendengar perkataan Robin. Sungguh berteman dengan Robin sangat menghibur bagi Dul. Ia merasa memiliki sahabat yang memiliki keberanian sama besar dan perkataan yang tak perlu diragukan kebenarannya. Robin selalu apa adanya. Bahkan terkadang terlalu apa adanya.
Acara liburan itu berakhir dan menyisakan hati yang bahagia dan merasa tercukupi. Di ambang perpisahan, Dul dan Robin saling bertanya kira-kira kapan mereka bisa bertemu lagi.
“Kapan ketemu lagi, Bin?” tanya Dul.
Jawaban Robin terdengar sangat optimis seperti biasa. “Selo aja kau. Mamak kita, kan, kawan dekat … pasti kita sering jumpa. Kalo kawan dekat itu enggak akan tahan kalo lama-lama nggak jumpa.”
Sejak tumbuhnya ingatan dul sebagai seorang anak kecil, ia merasa tak pernah melihat ibunya sakit. Selain luka lebam babak belur yang diberikan bapaknya, ibunya terlihat selalu sehat. Dul bahkan tak pernah tahu apakah ibunya pernah demam atau tidak. Karena ibunya selalu datang ke rumah Mbah dalam keadaan sehat.
Persoalan sakit ibunya ini, ia ingat saat mereka bertandang pertama kali ke rumah orang tua Bara seusai mereka pergi berlibur. Rumah Akung dan Uti. Siang itu rumah Pak Wirya diramaikan keluarga lain, keluarga Heru, kakak sepupu Bara.
Saat baru tiba di rumah itu, Bara mengeluarkan puzzle berukuran sangat besar untuk Dul. Sebelum makan siang, perhatian Dul terfokus dengan puzzle raksasa yang baginya merupakan tantangan baru. Yang menambah semangat Dul saat itu adalah kehadiran Pak Wirya yang membantunya untuk menempatkan keping-keping awal di papan puzzle.
Dul duduk diam di antara Pak Wirya dan Heru. Kedua pria itu berbicara akrab dan bertutur sangat lembut dalam bahasa daerah yang tak dimengertinya. Lalu Bara dan ibunya datang ke sofa. Pembicaraan para orang tua itu berlanjut dan Dul mengerti satu dua hal yang dibicarakan saat itu. Misalnya soal Heru yang fasih berbahasa Jawa karena menghabiskan masa muda dengan tinggal bersama Eyang mereka. Sedangkan Bara hanya melewati tak lebih dari seminggu di rumah eyangnya.
Suasana ruang makan selalu membuat Dul sedikit tegang. Di meja makan semua orang duduk saling berhadapan dan bisa saling menatap dengan mudah. Gerakan sedikit saja akan terlihat mencolok.
Tiga keluarga besar sudah berkumpul di meja makan. Dul menekuni hidangan lengkap di hadapannya. Saat Bu Yanti yang mengisi piringnya, akan terasa berat mengatakan apa yang tidak ia sukai. Dul berusaha menghabiskan nasi, lauk dan beserta sayur yang disendokkan Bu Yanti ke piringnya. Ia makan dengan sangat tertib. Tenang dan tidak terburu-buru. Tak mau kalau makanan jatuh dan mengotori pakaiannya seperti tempo hari. Ia juga memungut beberapa butir nasi yang jatuh keluar dari piring. Pokoknya meja makan juga tak boleh kotor.
“Dijah kenapa?” tanya Bu Yanti.
“Pusing dan mual, Bu,” sahut ibunya.
Percakapan itu langsung membuat Dul menoleh.
Ibu sakit? Pusing? Mual?
“Ya, udah, baring ke kamar aja dulu. Itu pucat banget.”
Dul memandangi wajah ibunya lekat-lekat. Mencerna arti perkataan pucat dengan raut wajah yang ditunjukkan ibunya.
Ooh ... begitu yang namanya pucat. Tapi Ibu enggak ada bilang ke aku kalau sakit.
“Nginep di sini aja, Ra .... Sekali-sekali. Nanti Dul tidur di kamar Sukma. Banyak mainan anaknya. Ayah belum selesai nyusun puzzle Dul yang gede itu.”
Setiap seseorang bicara, Dul menoleh. Pak Wirya mengatakan hal barusan dan Dul menoleh padanya.
Nginep di sini?
“Iya ... Aku ke kamar dulu nganter Dijah.”
Dul lalu menoleh pada Bara.
“Dul, lanjut makan aja. Nanti kita lanjutin nyusun puzzle-nya.”
Dan Dul langsung menoleh pada Pak Wirya.
Nginep di sini?
Dul merasa terjebak di antara para orang tua. Hanya ia satu-satunya anak kecil berada di sana. Beberapa saat di meja makan, ia berpindah kembali ke dekat Pak Wirya. Duduk di sofa melanjutkan menyusun puzzle yang masih jauh dari kata selesai.
“Bara sudah turun?” tanya Pak Wirya pada Bu Yanti yang baru mendekat ke sofa.
“Belum. Masih di atas. Kehamilan Dijah mirip istri Heru. Mabuk,” ucap Bu Yanti.
Kehamilan Dijah? Ibu hamil? Aku bakal punya adik?
To Be Continued