NovelToon NovelToon
TINI SUKETI

TINI SUKETI

Status: tamat
Genre:Romantis / Komedi / Cintamanis / Tamat
Popularitas:13.7M
Nilai: 5
Nama Author: juskelapa

Tidak cantik, tidak menarik, tidak berdandan apik, tidak dalam keadaan ekonomi yang cukup baik. Namun, hidupnya penuh polemik. Lantas, apa yang membuat kisah hidupnya cukup menarik untuk diulik?

Tini Suketi, seorang wanita yang dijuluki sebagai legenda Desa Cokro yang melarikan diri. Kabur setelah mengacaukan pesta pernikahan kekasih dan sahabatnya.

Didorong oleh rasa sakit hati, Tini berjanji tak akan menginjak kampungnya lagi sampai ia dipersunting oleh pria yang bisa memberinya sebuah bukit. Nyaris mirip legenda, tapi sayangnya bukan.

Bisakah Tini memenuhi janjinya setelah terlena dengan ritme kehidupan kota dan menemukan keluarga barunya?

Ikuti perjalanan Tini Suketi meraih mimpi.

***

Sebuah spin off dari Novel PENGAKUAN DIJAH. Yang kembali mengangkat tentang perjuangan seorang perempuan dalam menjalani hidup dengan cara pandang dan tingkah yang tidak biasa.

***

Originally Story by juskelapa
Instagram : @juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

21. Penghuni Baru Dengan Speaker

Tak perlu waktu lama bagi Asti untuk bisa dekat dengan Tini, Mak Robin dan Dijah. Bagi Tini, Asti adalah tetangga paling muda yang bisa dimanfaatkan tenaganya untuk disuruh-suruh. Setidaknya ia merasa punya rekan tandem untuk bergantian menjaga Robin saat ibunya sedang mengerjakan sesuatu di belakang. Karena suatu kali, Tini pernah adu mulut dengan Mak Robin yang menitipkan anaknya di kala wanita itu sedang mulas mau ke WC.

“Kau pegangkan dulu si Robin ini. Kau tengok-tengokkan dia. Nanti entah ke mana-mana pula dia, diculik orang. Pagar kos ini nggak pernah ditutup. Perutku mules kali,” pinta Mak Robin, menggandeng tangan anaknya agar mendekat ke arah Tini.

Tini yang dimintai tolong untuk menjaga Robin, terlihat gelisah di kursinya.

“Enggak bisa! Aku juga mau ke belakang. Perutku udah bergemuruh,” kata Tini, bangkit dari kursinya dan menyambar kotak rokok.

“Aku duluan, Tin! Nanti kecirit pula aku,” tukas Mak Robin yang wajahnya sudah memucat.

“Aku lebih mendesak! Apa perlu denger suara angin topanku dulu, baru kamu percaya?” Tini menyulut rokoknya dan bergegas ke belakang.

“Jadi, aku cemana?” seru Mak Robin.

“Kamu tuker jadwal ke malem aja. Ada Asti yang bisa jaga!” teriak Tini, menghilang di belokan lorong yang menuju kamar mandi dan dapur.

“Ah, pesongnya kau! Pembusukanku udah di ujung, malam pula kau bilang!” umpat Mak Robin.

Akhirnya Tini dan Mak Robin mengisi dua kamar mandi yang letaknya bersebelahan, untuk mengeluarkan unek-unek dari dalam lambung mereka.

Sedangkan Robin, berdiri tegak merapatkan tubuhnya ke dinding sambil mengawasi dua pintu kamar mandi yang tertutup. Setiap satu menit ibunya akan berteriak memanggil namanya. Dan Robin harus segera menyahuti panggilan ibunya.

Atas dasar itulah Tini semakin merasa bahwa kehadiran Asti sangat penting di antara mereka. Jika Asti sedang tak ada mata kuliah pagi, gadis itu akan mengunjungi kamar Tini dan berbaring untuk mendengar bualan perempuan itu.

Cerita-cerita Tini kepada Asti tidak bisa sepenuhnya dipercayai. Ada yang benar, namun kebanyakan soal kebohongannya sebagai kembang di karaoke tempatnya bekerja. Soal bualan yang sering dilontarkan Tini pada Asti, juga kerap membuat Mak Robin meradang.

“Bukannya aku malas masuk kerja, tapi aku cuma mau membagi rejeki buat para juniorku di karaoke itu. Kalau aku terlalu rajin masuk, aku risih karena tamu-tamu itu selalu rebutan ingin aku temani. Di karaoke itu kalau aku jalan di lorong, enggak ada yang ngomong satu pun.”

“Karena kau jalan di lorong, siapa pula yang ngomong-ngomong? Kalau ada yang ngomong, kau pun pasti lari terbirit-birit. Banyak kali cerita kau. Jangan kau dengarkan cakap dia, Asti.”

Ternyata Mak Robin menyimak pembicaraan Tini dan Asti di dalam kamar. Jika Mak Robin sudah ikut campur biasanya Tini hanya tertawa terkikik-kikik.

Sebenarnya mereka semua jarang sekali bisa bertemu di malam hari.

Pagi adalah waktu Tini untuk tidur. Ia biasanya baru bangun pukul sepuluh pagi. Setelah meregangkan seluruh tubuhnya, ia keluar kamar dengan secangkir teh di tangan.

Pukul segitu, Dijah sudah bersiap-siap berangkat memulung. Biasanya Dijah melintasi kamar Tini dan Mak Robin dengan menenteng bekalnya di dalam tas kain yang diikat.

Pukul sepuluh itu juga dimanfaatkan Mak Robin untuk membawa anaknya keluar dan menitipkannya pada Tini. Mak Robin biasanya akan cepat-cepat mengerjakan tugasnya di dapur, sementara Tini bisa bantu mengawasi anaknya.

Sedangkan Asti, pukul sepuluh pagi tentu saja sudah berada di kampus. Gadis itu biasanya akan berangkat pukul 7.30 dengan angkutan kota.

Hari Minggu siang adalah waktu yang bisa dipastikan bagi empat orang penghuni lantai satu untuk duduk didepan teras kamar. Biasanya mereka semua sudah duduk di kursi plastik dengan cemilannya masing-masing.

Tini sedang mencari helaian rambut putih Mak Robin. Asti duduk di dekat mereka dengan tangan yang tak lepas dari ponselnya. Sesekali gadis itu ikut tergelak dengan percakapan yang sedang berlangsung di dekatnya.

“Katanya Robin mau kamu masukkan sekolah TK? Kapan, Mak?” tanya Tini.

“Tunggu tahun ajaran baru buka pendaftaranlah, Tini .... Kecuali, sekolahnya punya nenek moyangku. Kapan aja bisa kumasukkan si Robin.” Mak Robin memukul pelan betis Tini.

“Pacarnya Mbak Tini mana? Ini, kan, hari Minggu. Apa nggak pacaran?” tanya Asti.

“Minggu ini bukan shift-nya si Tini dikunjungi si Gatot. Ada cewek lain,” canda Mak Robin.

“Jangan ngaco kamu, Mak. Mas Gatot itu memang banyak yang suka. Karena wajahnya bener-bener jantan. Apalagi kalau dia udah pakai seragamnya. Walau begitu, dia tetap milih aku,” ujar Tini membela kekasihnya.

“Aku curiga dengan alasan si Gatot milih kau. Kalau memang betul otak si Gatot itu pasti dilarangnya kalau kerja di sana,” sungut Mak Robin.

“Dia milih aku karena aku ini manja dan nyata. Memangnya dia siapa, mau ngelarang aku kerja di sana? Dia mau biayai adik-adikku? Bayar cicilan motor aja susah,” sahut Tini.

“Tapi anggapan orang akan jelek kalo Mbak Tini terus kerja di sana.” Asti ikut menimpali setelah selesai berbalasan pesan dengan seseorang.

“Aku nggak makan dari anggapan orang. Anggapan orang nggak bikin aku kenyang. Enggak bikin SPP adikku lunas. Diem aja duduk di rumah, anggapan orang tetap selalu ada. Ngapain aku pusing?” Tini menyisir rambut Mak Robin sekuat tenaganya. “Rasanya aku kayak nyisiri kawat. Sampomu apa, sih? Atau ini pakai sabun cuci piring? Mengkilap tapi kesat,” ucap Tini, meringis ikut merasakan sakitnya kepala Mak Robin yang rambutnya sedang ditarik-tarik.

“Kesat, kan? Memang pake sabun kewanitaan. Kusampokan sekalian ke kepalaku. Makanya rambutku keriting,” kesal Mak Robin, merampas sisir dari tangan Tini karena matanya sudah mulai berair menahan sakit.

“Eh, itu Mbak Dijah bawa anaknya!” seru Asti, memandang pagar kos-kosan.

“Baru kali ini aku ngeliat anaknya Dijah. Dia nggak mau bawa ke sini sering-sering,” ujar Tini.

“Dijah nggak mau anaknya tercemar dengan ngeliat orang kek kau setiap hari,” tambah Mak Robin.

“Aku ini budhe-nya. Enggak mungkin menyesatkan. Jah, sini! Siapa nama anakmu?” tanya Tini, menarik kursi plastik kosong untuk Dijah.

“Ini anakku, Mak. Namanya Dul. Ayo, duduk di sini.” Dijah menduduki kursi plastik dan memangku anaknya.

“Anaknya Mbak Dijah ganteng. Mirip banget sama Mbak Dijah,” ujar Asti, menyodorkan stoples yang berisi emping kepada Dul.

“Makasi, Bu.” Dul mengambil sejumput emping dengan tangan kanannya.

“Aih, Makjang! Pande kali si Dul ini bertutur. Robiiin ... sini kau! Jangan pasir itu aja kau urusin! Udah kayak kucing pula kau kutengok,” sergah Mak Robin pada anaknya. Ia lalu berdiri dari kursi dan bergegas menuju ke arah Robin dan menggamit lengan anaknya. “Ayo, cuci tangan dulu. Lagi ada kawan sebaya datang. Jangan sor kali kau mengorek pasir itu!” Mbak Robin mengomeli anaknya seraya menuju ke kamar mandi.

“Udah sekolah?” tanya Tini, memandang wajah bundar Dul yang manis.

Dul mengangguk.

“Kamu jarang ketemu Ibu, ya?” tanya Tini lagi.

Dul kembali menjawab dengan anggukan.

“Enggak sedih? Enggak kepingin tinggal di sini?” tanya Tini dengan usilnya. Dijah hanya diam, menunduk memandang wajah anaknya.

“Sedih. Tapi ibu bilang, aku harus sabar. Ibu lagi ngumpulin uang yang banyak biar bisa tinggal sama-sama. Gitu, kan, Bu?” tanya Dul, meminta persetujuan ibunya. Dijah mengangguk.

Tini memandang kedua wajah ibu dan anak itu bergantian. Ia ingin bertanya apakah Dul tahu kalau ibunya memulung untuk menafkahinya. Untung Tini bisa menahan mulut usilnya.

“Eh, itu anak barunya!” seru Mak Robin tiba-tiba dari belakang. Ia menunjuk seorang pria yang masuk ke halaman dengan menggeret dua buah benda. Satunya adalah koper pakaian. Dan satunya lagi adalah speaker portable sebesar koper yang muat ke dalam kabin pesawat.

“Anak baru lagi, Mak?” Tini menoleh ke arah Mak Robin.

“Iya, kunci kamarnya udah dititip samaku dari kemarin.” Mak Robin memandang seorang pemuda yang celingak-celinguk.

“Oke. Saatnya kita tes. Apakah dia layak menempati lantai satu ini? Aku panggil dia,” tukas Tini.

“Mau apa, Mbak?” Suara Asti tenggelam karena teriakan Tini langsung terdengar.

“Hei! Anak baru! Sini!” seru Tini. “Dia bawa speaker Mak! Apa mungkin kerjaannya pengamen?” tanya Tini sambil terkikik-kikik.

Pemuda yang merasa dipanggil pun datang mendekati sambil menyeret bawaannya.

To Be Continued

Terima kasih sudah menunggu Tini :*

1
Jeong Nari
bagusss bgtt wajib bacaa semua karya author juskelapa, ⭐⭐⭐⭐⭐❤
Jeong Nari
kann jadi nangis/Cry/,
Jeong Nari
aaa jadi kangen ko Dean, udah baca 3x, jdi pengen balik lagi/Sob//Kiss/
JM_joe92
sukaaaa
🍀 chichi illa 🍒
sukaaa
Wandi Fajar Ekoprasetyo
mang Dayat ini baik sekali ya aslinya 🤭
Wandi Fajar Ekoprasetyo
astaghfirullah......dlm kepanikan msh bisa Tini bercanda
Wandi Fajar Ekoprasetyo
betul itu
Daanii Irsyad Aufa
/Facepalm//Facepalm/
Daanii Irsyad Aufa
haish " Astaga" itu jargonnya mas bara
Daanii Irsyad Aufa
itu mas bara dan mas Heru (bener ngga sih namanya)
Daanii Irsyad Aufa
nah cocok tuh omongan Dijah
Daanii Irsyad Aufa
sumpah berasa aq duduk d pojokan ngeliat Lastri d smackdown Dijah. di iringi backsound Tini yg lagi JD wasit
Daanii Irsyad Aufa
pokoknya nongki BRG MBK Tini itu d jamin agak mangkel ya boy. dan keluarlah pepatah sakti "Yang sabar y Boy"
Meilaningsih
udah ga kehitung berapa kali aku repeat baca si suketi...novel favorit ku njussss...
no 1 ga ada yg nmanya bosen..masih tetep ketawa, seperti pertama baca..
no 2, baru kang pirza
juskelapa: makasih ya Mba 😘😘😘
total 1 replies
Daanii Irsyad Aufa
tenang mamak Dul, bang bara lg ke bengkel buat benerin si merah.
Daanii Irsyad Aufa
hahah semangat MBK Tini, emg harus gitu. tegas dan membela diri penting biar ngga makin d injak orang
Daanii Irsyad Aufa
😄😄
Daanii Irsyad Aufa
aduh ko AQ terharu bgt baca ini. kaya masih ada orang yg saling perduli d kerasnya ibu kota. kos kosan kandang ayam akan selalu jd kenangan
Daanii Irsyad Aufa
aduh ini scene harusnya berlinang airmata tapi ko mlh bikin ngekek sih
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!