Aila Rusli tumbuh dalam keluarga pesantren yang penuh kasih dan ilmu agama. Diam-diam, ia menyimpan cinta kepada Abian Respati, putra bungsu Abah Hasan, ayah angkatnya sendiri. Namun cinta mereka tak berjalan mudah. Ketika batas dilanggar, Abah Hasan mengambil keputusan besar, mengirim Abian ke Kairo, demi menjaga kehormatan dan masa depan mereka.
Bertahun-tahun kemudian, Abian kembali untuk menunaikan janji suci, menikahi Aila. Tapi di balik rencana pernikahan itu, ada rahasia yang mengintai, mengancam ketenangan cinta yang selama ini dibangun dalam doa dan ketulusan.
Apakah cinta yang tumbuh dalam kesucian mampu bertahan saat rahasia masa lalu terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENANTIAN CINTA HALAL
Langit mendung. Kabin mobil yang melaju di jalanan kota terasa sesak, bukan karena sempitnya ruang, tapi karena diam yang menggantung terlalu lama di antara dua insan yang kini terikat dalam status yang tak sepenuhnya utuh.
Bayu menyetir tanpa menoleh. Pandangannya lurus menembus kaca depan. Kedua tangannya mencengkeram setir erat, rahangnya mengeras, seperti sedang menyembunyikan sesuatu yang tak ingin diketahui siapa pun.
Azela duduk di kursi penumpang. Memeluk tas kecilnya, menatap jendela dengan pandangan kosong. Ia tak tahu harus mulai dari mana untuk berbicara. Bahkan untuk sekadar berkata "terima kasih sudah mengantar," lidahnya kelu.
Keheningan begitu menusuk, sampai akhirnya mobil melambat, hampir sampai di klinik pribadi Azela.
Namun tiba-tiba Azela meringis, tangannya memegang perut bagian bawahnya. Nafasnya memburu. Wajahnya pucat.
"Ahh…" erangnya pelan. "Mas…"
Bayu menoleh cepat. “Kenapa?”
“Perutku... keram...” ucap Azela dengan napas tak beraturan.
Sekejap, wajah Bayu berubah. Panik tak bisa disembunyikan meski ia berusaha tetap tenang. Mobil segera dibelokkan, bukan ke arah klinik Azela, tapi menuju tempat yang lebih ia percayai untuk situasi darurat seperti ini.
“Pegangan. Kita ke rumah sakit.”
“Mas, nggak usah, aku bisa...”
“Diam. Jangan paksakan dirimu,” tegas Bayu tanpa menoleh. Suaranya dingin, tapi penuh kekhawatiran yang tak sempat disembunyikan.
Beberapa menit kemudian…
Bayu menghentikan mobil di sebuah bangunan modern dengan papan nama, Klinik Spesialis Kandungan - dr. Meisa Aryanti, SpOG
Seorang sahabat lama Azela.
Tanpa buang waktu, Bayu turun, membuka pintu penumpang dan membantu Azela keluar, meski tanpa menyentuh tubuhnya secara langsung. Ia menggandeng tas Azela dan membuka pintu klinik lebar-lebar.
“Permisi!” suara Bayu lantang.
Perawat langsung menyambut. “Ada apa, Pak?”
“Istri saya, mengeluhkan perutnya, mungkin kandungannya. Tolong panggil Bu Dokter Meisa!”
Tak lama kemudian, dr. Meisa muncul dari balik pintu ruang pemeriksaan.
“Zela? Astaga, sini... sini cepat!” ujar Meisa panik, menyambut Azela yang langsung dibawa masuk ke ruang tindakan.
Bayu tak ikut masuk. Ia hanya berdiri di luar ruang praktik, berjalan mondar-mandir dengan wajah tegang, seperti pria yang siap menerima kabar terburuk kapan saja.
Beberapa menit terasa seperti jam.
Akhirnya, Meisa keluar. Ia membuka masker dan menghampiri Bayu.
“Mas Bayu, alhamdulillah... janinnya sehat. Cuma kontraksi ringan, bisa karena kelelahan atau stres,” jelas Meisa lembut. “Tapi sebaiknya Zela banyak istirahat, jangan terlalu capek... dan kurangi tekanan batin.”
Bayu mengangguk pelan. Matanya menatap ruang pemeriksaan yang tertutup.
“Boleh saya lihat?” tanyanya.
Meisa tersenyum kecil. “Silakan. Dia butuh ketenangan.”
Bayu membuka pintu ruang periksa perlahan.
Azela berbaring dengan infus ringan di tangan. Wajahnya pucat, tapi mata bulatnya terangkat saat melihat Bayu masuk. Tak ada kata-kata yang keluar. Hanya tatapan yang bertemu dalam keheningan yang sama-sama perih.
Bayu hanya berdiri di ambang pintu.
“Berapa lama kamu kerja kemarin?” tanyanya singkat.
“Cuma setengah hari…” jawab Azela pelan.
“Mulai sekarang, jangan terlalu keras pada diri sendiri. Kamu bukan sendiri lagi, sekarang.”
Azela menggigit bibir bawahnya. Matanya berkaca-kaca. Azela selalu terharu dengan sikap Bayu yang selalu peduli padanya. Meski Azela telah menyakitinya.
Bayu menunduk sebentar. “Setelah ini, pulang. Nggak usah ke klinik, istirahat di rumah, aku temani. Aku izin ke kantor hari ini.”
Azela mengangguk. “Terima kasih... Mas.”
Bayu tak menjawab. Ia menutup pintu perlahan dan berjalan ke resepsionis untuk mengurus administrasi. Diam-diam, pria itu mengatur semuanya, biaya, obat, dan jadwal kontrol ulang. Tanpa banyak kata.
Sebab untuk Bayu, perhatian bukan berarti pelukan. Kasih sayang tak harus diucapkan. Kadang cukup dengan hadir, dan memastikan seseorang tidak sendirian di saat-saat paling rapuh.
Pagi menjelang siang, di Pondok Pesantren Al-Fattah…
Aila berjalan pelan menuju ndalem, menemui Umi Fatimah, dengan wajah agak cemas. Setelah mengantar tugas dan absen kelas kepada pengurus madrasah, ia tak bisa menahan diri untuk menyampaikan kabar yang ia tahu sejak pagi.
"Umi..." Aila membuka pintu perlahan, menatap sosok Umi Fatimah yang sedang menyetrika mukena di serambi.
“Iya, Nduk? Kenapa kok wajahmu begitu?” tanya Umi Fatimah sambil tetap merapikan kerudung putih lembut itu.
Aila menggigit bibirnya. “Mas Bayu hari ini izin nggak ngajar, Umi... katanya, istrinya,mbak Azela lagi sakit.”
Tangan Umi Fatimah berhenti. Seketika raut wajahnya berubah cemas.
“Sakit apa?” tanyanya pelan.
“Kurang tahu pasti, Mi. Tapi... sepertinya cukup serius. Soalnya Mas Bayu sampai bolos. Aila cuma dapat kabar itu dari bagian guru.”
Umi Fatimah menghela napas.
“Sudah, ayo. Anter Umi ke rumah Bayu sekarang. Aila temani ya.”
Tanpa menunggu lama, Umi Fatimah langsung mengganti kerudungnya dan membawa bingkisan kecil dari dapur. Beberapa botol madu dan jamu tradisional. Aila hanya mengangguk, ikut menemani dengan langkah hati-hati.
Sementara itu, di rumah Bayu…
Suasana rumah masih sepi ketika Bayu menerima pesan dari Uminya.
“Nak Bayu, Umi sama Aila mau ke rumahmu siang ini. Umi khawatir sama istrimu.”
Bayu langsung berdiri dari sofa, raut wajahnya panik. Ia menatap pintu kamar Azela yang masih tertutup, lalu memutar tubuh dan berjalan cepat ke ruang kerjanya. Di sana, ia mengambil dompet dan kunci mobil.
Bayu tahu, Uminya adalah sosok yang sangat menjaga nilai dan kehormatan keluarga. Dan Bayu tak ingin sedikit pun membuat wanita semulia itu kecewa pada keadaan yang kini mereka jalani.
Ia pergi ke mall, tak jauh dari rumah.
Di sana, tanpa ragu, ia memilih dua gamis panjang berwarna lembut, satu jilbab bergo besar warna netral, dan satu mukena cantik bordir halus. Bayu tak peduli pada harga, yang penting Azela bisa mengenakan sesuatu yang layak, yang bisa menutupi perutnya yang mulai menonjol dan menutup aurat dengan sempurna di hadapan Umi-nya.
Setelah kembali ke rumah.
Bayu meletakkan tas belanja di atas meja makan. Ia berjalan ke depan kamar Azela dan mengetuk pintu dengan pelan.
“Ze.”
Pintu dibuka perlahan. Azela berdiri di balik pintu dengan wajah masih pucat.
“Iya, Mas?”
Bayu menarik napas. “Umi mau ke sini. Hari ini.”
Azela menegang. “Apa...? Ke sini?”
“Iya,” jawab Bayu datar. “Tapi tenang. Semua akan baik-baik saja.”
Bayu mengambil tas belanja dan menyerahkannya pada Azela, tanpa menyentuh tangannya.
“Itu untuk kamu. Gamis, jilbab, mukena. Pakai yang ini, ya. Umi orang baik, tapi beliau sangat menjaga pandangan dan kehormatan. Aku cuma ingin memastikan beliau tidak menilai yang tidak-tidak.”
Azela menunduk. “Maaf, Mas... aku mere
Bayu menatap lurus. “Bukan soal repot. Ini soal menjaga nama baikmu dan keluargaku. Aib harus ditutup, bukan diumbar.”
Azela memeluk tas itu erat. Hatinya remuk, tapi ia merasa dihormati. Dihargai.
Bayu melanjutkan, “Aku juga akan tidur di kamar ini sementara. Kalau Umi datang, dia harus lihat pernikahan ini berjalan wajar.”
Azela hanya mengangguk. Matanya berkaca, namun senyumnya tulus. Meski semua ini hanya sementara, Bayu tetap lelaki yang membuatnya merasa dilindungi tanpa harus mengasihi.
Beberapa saat kemudian.
Bayu mulai merapikan kamar. Ia mengganti seprai, menyapu lantai, menyusun bantal. Semua ia kerjakan sendiri.
Saat itu Azela keluar dari kamar mandi mengenakan gamis lembut dan jilbab besar yang menjuntai anggun. Bayu hanya melirik sekilas, lalu kembali menata mukena di atas sajadah.
“Bagus,” ucapnya datar, tanpa menyebut nama atau memuji berlebihan.
Azela tersenyum kecil. Lalu berjalan pelan dan membenahi letak kursi di ruang tamu.
Untuk pertama kalinya, rumah itu terasa seperti, rumah suami-istri. Meskipun hanya sandiwara untuk menutupi luka.
Namun itulah Bayu, ia lebih memilih pura-pura terlihat baik di depan orang tuanya, daripada menyakiti hati mereka dengan kebenaran yang masih bisa ditunda.