NovelToon NovelToon
Perjodohan Berdarah Menantu Misterius

Perjodohan Berdarah Menantu Misterius

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Percintaan Konglomerat / Identitas Tersembunyi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Portgasdhaaa

Dulu, dia hanyalah seorang anak jalanan—terlunta di gang sempit, berselimut kardus, hidup tanpa nama dan harapan. Dunia mengajarinya untuk tidak berharap pada siapa pun, hingga suatu malam… seorang gadis kecil datang membawa roti hangat dan selimut. Bukan sekadar makanan, tapi secercah cahaya di tengah hidup yang nyaris padam.

Tahun-tahun berlalu. Anak itu tumbuh menjadi pria pendiam yang terbiasa menyimpan luka. Tanpa nama besar, tanpa warisan, tanpa tempat berpijak. Namun nasib membawanya ke tengah keluarga terpandang—Wijaya Corp—bukan sebagai karyawan, bukan sebagai tamu… tapi sebagai calon menantu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Portgasdhaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Badai Yang Menerjang

Langit masih kelabu ketika Aditya Wijaya duduk di ruang kerjanya di lantai tertinggi kantor pusat Wijaya Corp. Tangannya menggenggam cangkir kopi yang bahkan belum disentuh sejak tadi pagi. Di balik kaca jendela besar, kota Bandung berdenyut pelan, seolah bersiap menyambut badai yang lebih besar.

 

Di meja depannya, laporan kerugian mulai menumpuk. Saham Wijaya Corp anjlok 17% hanya dalam waktu dua hari. Lebih dari sepuluh investor menarik dananya dalam waktu bersamaan. Telepon tak henti-hentinya berdering. Asisten pribadi, sekretaris, hingga direktur pemasaran datang silih berganti membawa kabar buruk.

Bahkan tiga managernya mengundurkan diri pagi ini.

Alasan resmi mereka sopan—“alasan pribadi, ingin istirahat, fokus ke keluarga.”

Tapi Aditya mengerti bahkan tanpa harus berpikir. Mereka takut. Mereka tak ingin ikut tenggelam bersama kapal yang sedang melawan ombak besar bernama keluarga Lim.

Namun Aditya hanya diam. Wajahnya dingin. Tegas. Matanya menatap kosong ke laporan yang tak sempat dibaca.

Pintu terbuka. Sekretarisnya masuk, canggung.

“Pak, ada beberapa direksi menunggu di ruang rapat kecil. Mereka minta pertemuan darurat.”

Aditya hanya mengangguk pelan.

Langkahnya menuju ruangan itu terasa berat. Seolah setiap detik adalah beban yang menumpuk di dadanya.

Di ruang rapat, hanya ada enam orang. 

Pak Herman berbicara lebih dulu, seperti biasa. Wajahnya lelah, tapi nadanya masih kuat.

“Pak Aditya… mohon maaf, tapi kami harus bicara terbuka.”

Ia menatapnya lurus.

“Kita sedang kehilangan rekanan. Investor mulai menarik diri. Saham turun drastis. Dan pagi ini, tiga divisi utama lumpuh karena kontrak logistik dicabut sepihak.”

Aditya menarik napas.

“Kita masih bisa—”

“Kita sedang tenggelam,” potong Bu Marisa, direktur marketing. “Dan maaf... semua ini karena keputusan emosional keluarga. Kita mempertahankan seseorang yang bahkan tidak kita kenal latar belakangnya!”

Kata-kata itu menghantam seperti batu.

Aditya terdiam. Wajahnya tidak marah—justru hampa.

Pak Herman kembali bicara, suaranya lebih pelan.

“Semua ini bukan salah Pak Aditya pribadi. Kami tahu Bapak sedang dalam posisi sulit. Tapi... Wijaya Corp bukan milik satu orang. Ini tempat hidup ratusan karyawan. Kami tak bisa berjudi hanya karena... satu orang.”

Suasana jadi dingin.

Tak ada yang membela. Tak ada yang menyela.

Setelah pertemuan itu, Aditya kembali ke ruangannya. Ia duduk lama, tanpa membuka laptop, tanpa menyentuh ponsel.

Matanya kosong, seperti menatap tembok.

Kepalanya berat.

 

Dia lelah.

Frustrasi.

Dan untuk pertama kalinya… merasa ragu.

“Apa aku salah?”

“Apa kami terlalu gegabah... dalam mengambil keputusan?”

_______

Tangannya menggenggam foto di meja. Foto Laras dengan seragam sekolah, tersenyum polos di sampingnya.

Seketika bayangan wajah Laras saat terbaring di rumah sakit muncul. Bayangan tentang apa yang akan terjadi jika waktu itu Arka tidak menyelamatkan. Mungkin saat ini satu-satunya anak perempuan yang ia cintai tidak akan bisa lagi tersenyum seperti biasa. Dan itu adalah kegagalan terbesarnya sebagai sosok ayah.

Aditya memejamkan mata.

Perasaannya yang kacau kini menemukan titik terang.

Arka telah menyelamatkan Laras.

Bukan hanya sebagai ayah—tapi sebagai manusia, ia tidak bisa melupakan itu.

Ia membuka mata. Menatap ke luar jendela. Hujan mulai turun perlahan.

“Dunia bisa menganggapku bodoh.”

“Tapi aku tidak akan menyerahkan anakku… hanya untuk menyelamatkan angka.”

Aditya berdiri.

Langkahnya masih berat, tapi tatapannya berubah. Kini sosoknya jauh lebih memiliki tekad.

Ia tahu ini akan berat. Ia tahu bahwa ini bisa menjadi awal titik kehancurannya. Tapi ia juga tahu bahwa:

Dirinya tidak akan lari.

_______

Di kediaman utama keluarga Wijaya, suasana pagi itu lebih senyap dari biasanya.

Tuan Wijaya duduk di teras belakang, mengenakan baju batik tipis dan selimut wol yang disampirkan di pundaknya. Secangkir teh melati masih mengepul di meja kecil di sampingnya. Hujan belum reda sejak dini hari, dan langit pun belum menunjukkan tanda-tanda akan cerah.

Seorang pelayan datang menghampiri, membawakan surat laporan yang disegel.

Tuan Wijaya menerimanya tanpa berkata apa-apa. Tatapannya tajam, membaca cepat tiap kalimat. Beberapa investor mundur. Ada manajer yang mengundurkan diri. Nama keluarga Wijaya mulai dicibir di forum saham dan media online. Bahkan ada rumor bahwa keluarga Lim diam-diam menyiapkan langkah hukum untuk menekan mereka lebih jauh.

Tuan Wijaya meletakkan surat itu perlahan, menatap langit yang kelabu.

Ia tidak terkejut.

Semua ini sudah ia perkirakan sejak awal. Sejak keputusan itu diambil di ruang rapat keluarga. Sejak ia menyatakan bahwa Arka adalah bagian dari keluarga ini—meski hampir semua orang tak mengerti alasannya.

Tapi justru karena mereka tak mengerti, mereka perlu tahu. Bahwa kehormatan keluarga ini bukan untuk dijual. Dan bahwa mereka bukan keluarga yang hanya berani saat sedang di atas.

Tuan Wijaya berdiri pelan.

Tubuhnya memang tidak setegap dulu. Tapi langkahnya tetap tenang. Matanya tetap tajam. Dan di balik keriput dan uban yang semakin mendominasi, ada tekad yang tak berubah sejak muda.

Melindungi nama baik keluarga Wijaya. Apapun yang terjadi.

Ia menatap halaman belakang rumah, tempat para pengawal dan staf sibuk memasang penambahan pengamanan. Ia tahu—ini mungkin akan menjadi badai terakhir dalam hidupnya.

Tapi jika memang begitu...

Ia akan menghadapinya berdiri.

Dengan napas panjang, ia bergumam… nyaris seperti berbicara kepada angin.

“Arka... Apakah kamu ingin mengetes keluarga ini? Jika memang begitu, maka biarkan pria tua ini menunjukkannya padamu…bagaimana keluarga ini bertahan dari dulu.”

_______

Di tempat lain, jauh dari riuhnya kantor dan tekanan bisnis, seorang ibu sedang mencoba menenangkan badai dalam dirinya sendiri…

Di lorong rumah sakit, Ratna duduk sendirian di kursi panjang dekat vending machine. Di tangan kanannya, segelas kopi kaleng yang tak ia minum. Di pangkuannya, dompet kecil berwarna merah, hadiah ulang tahun dari Laras lima tahun lalu.

Matanya sembab. Tapi bukan karena menangis. Justru karena berusaha menahan tangis terlalu lama.

Sejak malam itu...sejak ia ikut rapat keluarga bersama mertua dan suaminya. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana sebagian besar kerabat mereka menolak Arka. Menolak anak yang telah mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan Laras.

Anaknya. 

Hatinya masih bergemuruh. Bukan karena tekanan dari keluarga, bukan karena saham anjlok, bukan karena badai yang perlahan menimpa keluarganya.

Tapi karena satu hal:

“Kenapa kebaikan... justru dibalas dengan penghakiman?”

Ia tahu Arka bukan bagian dari dunia mereka. Ia tahu bahwa banyak yang tidak suka padanya. Tapi apa itu cukup untuk menutup mata pada kenyataan bahwa pria itu telah menyelamatkan hidup Laras?

Ratna menghela napas panjang, menunduk.

 "Arka...Jika aku berada di posisimu, apa aku juga akan tetap menolong?"

Air matanya nyaris jatuh, tapi ia tahan. Laras membutuhkan kekuatan. Dan ia, sebagai ibu tidak bisa terlihat rapuh.

Langkah sepatu terdengar. Seorang suster lewat, tersenyum kecil. Ratna membalas dengan anggukan ringan.

Lalu ia membuka ponsel. Menatap fotonya keluarga mereka. Di tengah Laras tersenyum begitu manis. Senyum yang selalu berhasil menghangatkannya dalam keadaan apapun.

Ratna pun bertekad.

 “Apapun yang terjadi... aku akan berdiri di pihak yang pernah menyelamatkan hidup anakku. Pihak yang telah menyelamatkan senyum putriku agar tidak pudar.”

_______

Di tempat lain. Di sebuah cafe tersembunyi, Tante Melati menyesap tehnya perlahan. Di seberangnya, Tante Mira melihat ke arah pintu dengan tenang.

“Dia datang,” gumam Tante Mira.

Tante Melati menyeringai tipis.

“Sudah saatnya kita mengambil alih keluarga ini.”

Pintu cafe pun terbuka. Seseorang pria berpakaian rapi masuk. Di bagian dadanya tersemat pin lambang kebanggan keluarga Lim.

Dan permainan baru… dimulai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!