Mikayla, wanita pekerja keras yang telah mengorbankan segalanya demi keluarga, justru terbaring sendiri di rumah sakit karena sakit lambung kronis akibat kelelahan bertahun-tahun. Di saat ia membutuhkan dukungan, keluarganya justru sibuk menghadiri pernikahan Elsa, anak angkat yang mereka adopsi lima tahun lalu. Ironisnya, Elsa menikah dengan Kevin, tunangan Mikayla sendiri.
Saat Elsa datang menjenguk, bukan empati yang ia bawa, melainkan cemooh dan tawa kemenangan. Ia dengan bangga mengklaim semua yang pernah Mikayla miliki—keluarga, cinta, bahkan pengakuan atas prestasi. Sakit hati dan tubuh yang tak lagi kuat membuat Mikayla muntah darah di hadapan Elsa, sementara gadis itu tertawa puas. Tapi akankah ini akhir cerita Mikayla?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Se Dunia
Dinda mengambil sendok plastik, dan mulai menyuapi Mikayla tanpa banyak bertanya. Seperti biasa, Dinda tahu kapan harus bicara dan kapan cukup menjadi teman yang hadir tanpa suara.
Setelah bubur habis, Mikayla bersandar dan menarik napas panjang. Matanya menatap langit senja di balik kaca jendela. “Din…”
“Hm?” Dinda merapikan bekas makanannya.
“Terima kasih sudah datang,” ucap Mikayla lirih.
Dinda tersenyum kecil. “Ya iyalah. Aku ini asisten sekaligus sahabatmu. Siapa lagi kalau bukan aku?”
Mikayla tersenyum. Lalu, seakan teringat sesuatu, ia menatap Dinda lebih serius. “Besok, aku sudah diizinkan pulang, kan?”
“Yup,” sahut Dinda sambil menepuk-nepuk tasnya. “Aku sudah urus semua berkasnya. Besok pagi kamu bisa keluar.”
“Terima kasih, Din…”
Dinda menatapnya penasaran. “Ngomong-ngomong, kamu beneran mau ke Paris?”
“Em,” jawab Mikayla sambil mengangguk pelan. “Beberapa hari lagi. Aku hanya menunggu identitas baruku selesai diurus.”
“Baiklah,” gumam Dinda sambil menghela napas. “Nanti aku akan ke sana juga. Tapi sebagai asistennya Madam Mikayla, tentu saja aku akan tetap ikut, ya… Meski mungkin bolak-balik. Toko kita di sini masih butuh aku.”
Mikayla tersenyum. “Ya, aku tahu. Urus saja toko kita. Hasilkan uang sebanyak-banyaknya untukku. Hahaha.”
Dinda memutar bola matanya. “Ya ya ya, bos. Akan aku hasilkan uang banyak untukmu. Tapi ngomong-ngomong, untuk edisi selanjutnya, kamu sudah buat desainnya?”
“Belum,” Mikayla menggeleng. “Nanti saja kalau aku sudah pulang dari rumah sakit.”
Dinda mengangguk dan mulai merapikan sisa wadah makanan. Tapi saat itu, Mikayla tiba-tiba terdiam. Wajahnya berubah, tatapannya menerawang ke jendela. Kenangan masa lalu tiba-tiba menyeruak dalam pikirannya. Di kehidupan pertamanya, nama Elsa dikenal luas karena desain perhiasan yang unik, padahal desain itu adalah milik Mikayla. Saat ia mencoba menjelaskan pada keluarga bahwa itu miliknya, tak satu pun yang percaya. Bahkan Dinda ikut dihina oleh keluarganya, disangka membantu Mikayla berbohong demi popularitas.
Hatinya mencelos.
Tak akan ia biarkan itu terjadi lagi.
“Din…”
“Hm?” Dinda menoleh sambil tetap sibuk merapikan bungkus plastik.
“Nanti setelah aku membuat desain, tolong semua hasil desainku buatkan hak ciptanya.”
Dinda langsung berhenti bergerak. Alisnya mengernyit. “Em, kenapa tiba-tiba? Apa toko kita bakal viral?”
Mikayla menahan senyum. “Yah… bisa saja bukan? Apa salahnya?”
“Salahnya, toko kita masih kecil, Kayla,” kata Dinda jujur. “Dan… nggak seterkenal itu.”
“Tidak apa-apa,” sahut Mikayla tenang. “Sebentar lagi aku akan ikut perlombaan desain di Paris. Aku takut ada orang yang tiba-tiba menjiplak hasil karyaku.”
Dinda tertawa ringan. “Hahaha… Mana mungkin. Siapa gerangan yang ingin menjiplak? Meskipun aku tahu desainmu sangat indah, tapi kamu tidak terkenal, oke?”
Mikayla ikut tertawa… tapi tawanya pahit.
Benar, saat ini belum. Tapi suatu hari nanti, desain-desainku akan dikenal dunia. Bukan lewat orang lain, tapi lewat diriku sendiri.
“Tak apa. Kamu tetap harus daftarkan hak cipta, Din. Bukankah lebih baik sedia payung sebelum hujan?”
Dinda mengangguk akhirnya. “Yah, kau benar. Baiklah. Kirimkan saja draft lamamu dan nanti yang terbaru. Akan aku urus semuanya.”
“Benarkah?” Mata Mikayla berbinar.
“Tentu saja,” jawab Dinda mantap. “Aku percaya padamu. Kita akan dikenal di negara ini. Yah, minimal. Maksimalnya ya… se-dunia!”
Mikayla tertawa senang. “Jangan lupa, masih ada Miss Grace juga, Dinda…”
“Benar juga! Aku sampai lupa,” seru Dinda sambil menepuk jidatnya sendiri. “Miss Grace pasti sudah menyiapkan banyak kejutan. Aku sudah tidak sabar melihat hasil kontes desain itu. Pasti karya-karyamu luar biasa.”
“Kenapa kamu tidak dari dulu menerima tawaran Miss Grace buat ke Paris? Malah buka toko kecil di sini?” tanya Dinda penasaran.
Mikayla terdiam sejenak. Lalu ia berkata lirih, “Waktu itu… aku masih berpikir untuk tetap tinggal bersama keluargaku. Aku ingin menjaga mereka, membantu mereka.”
Ia menatap Dinda dalam. “Tapi sekarang mereka sudah punya penggantiku. Jadi… aku biarkan saja. Aku akan pergi ke Paris dan meninggalkan semuanya.”
Dinda menggenggam tangan Mikayla, memberi dukungan. “Kamu tidak sendirian, Kayla. Aku akan selalu bersamamu.”
“Terima kasih…”
Dinda berdiri, meraih tasnya. “Oke, aku pamit sekarang. Besok pagi aku akan jemput kamu. Aku yakin keluargamu pasti mengurus anak angkatnya.”
“Em,” Mikayla hanya mengangguk dengan senyum tipis.
Dinda melangkah ke pintu, tapi sebelum keluar, ia menoleh dan berkata, “Istirahat yang cukup, ya. Jangan stres. Fokus sembuh dulu. Kita punya dunia untuk ditaklukkan.”
Mikayla menatap sahabatnya dengan rasa syukur mendalam.
“Terima kasih, Dinda… untuk semuanya.”
Saat pintu menutup, Mikayla menatap ponselnya dan membuka kembali folder desainnya. Ia tahu… langkah baru sudah menantinya. Paris, dunia, masa depan… dan balas dendam yang manis.
Sementara itu di ruang perawatan Elsa, Aroma bubur hangat memenuhi udara, wangi kaldu ayam dan daun bawang samar-samar menyeruak dari mangkuk yang kini dibuka perlahan oleh Vivi.
Vivi duduk di tepi ranjang putri angkatnya itu, tersenyum lembut sambil mengaduk-aduk bubur hangat dengan sendok kecil.
“Sayang, ini buatan mama khusus untukmu agar kesehatanmu cepat pulih,” ucap Vivi dengan suara yang hangat dan lembut, seperti nyanyian penenang.
Julio, sang ayah angkat, ikut tersenyum dari kursi di seberang. “Iya, mama kamu memasaknya banyak. Spesial untukmu, Elsa,” tambahnya.
Nathan, kakak laki-laki Elsa sekaligus anak kandung keluarga itu, berdiri di samping ranjang sambil melipat tangan di dada. Wajahnya yang datar sedikit melunak. “Makanlah, Dik. Jangan sampai sakitmu makin parah.”
Elsa menatap satu per satu wajah mereka, lalu tersenyum manis. Senyuman itu tampak polos dan penuh kasih, meski di balik matanya terselip sesuatu yang tak bisa terbaca oleh orang biasa.
“Makasih, Ma,” ucapnya pelan, lalu membuka mulut lebar, “Ahh...”
Vivi terkekeh kecil. “Ayo mama suapin, ya?”
Satu sendok di suapkan ke mulut Elsa. Ia mengunyah pelan, matanya memejam sejenak. “Enak sekali, Ma. Mama hebat sekali masaknya. Rasa sayurnya kerasa, ayamnya lembut banget.”
Julio tersenyum bangga. “Tentu dong, mama kamu itu jagonya masak. Dulu papa sampai jatuh cinta gara-gara bubur ayam buatannya.”
Mereka bertiga tertawa kecil, Elsa pun ikut tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya dengan manja. Namun kemudian ekspresinya berubah sedikit heran.
“Oh ya Ma,” Elsa bersuara pelan, “Punya Kak Mikayla mana?”
Ruangan mendadak hening.
Vivi berhenti menyuap. Julio menurunkan tangan yang hendak menuang teh ke gelas. Nathan melirik ke arah mamanya. Tak satu pun dari mereka langsung menjawab.
Elsa menatap mereka satu per satu, seolah polos, seolah tak sengaja menyentil titik kosong dalam perhatian mereka. Ia menunduk sedikit, nada suaranya mengecil. “Kalian... lupa ya?”
Vivi langsung menggeleng dengan cepat, seolah tersadar dari lamunan.
buktikan bahwa kamu bisa bahagia dan menjadi orang besar tanpa harus memakai embel embel nama keluarga tocix itu
pingin tak tabok pke sandal.swalloy itu si ratu drama terus tak lempari telur bosok
suwun thor udah bikin emosi qt turun naik 😀
pingin tak tabok pke sandal.swalloy itu si ratu drama terus tak lempari telur bosok
suwun thor udah bikin emosi qt turun naik 😀
Mikayla semangat 💪
bakal nyesel nanti keluarganya.