Tentang Kania yang hamil di luar nikah. Tanpa dia tahu, yang menghamilinya adalah seorang CEO muda.
***
Dunia Kania menjadi gelap setelah malam itu. Tak ada lagi Kania yang ceria, tak ada lagi Kania yang murah senyum.
Yang ada hanya Kania yang penuh dengan beban pikiran yang gelisah menanti bulan selanjutnya. Berapa garis yang akan di hasilkan oleh sebuah testpack di bulan depan?
**
Bertahun-tahun Kania berjuang sendiri menghidupi buah hatinya yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata.
Kepandaiannya menarik orang-orang untuk menjadikannya bintang. Hingga akhirnya, lewat jalan itulah Kania di pertemukan dengan ayah kandung anaknya yang ternyata bukanlah orang biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhessy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31
Dugaan Devan benar, Bram dan Hanum langsung panik mendengar Kania pingsan di kamar Devan. Devan harus terima telinganya yang berasa seperti hampir putus karena dijewer oleh Hanum.
"Kamu apain lagi anak orang, Devan? Benar-benar ya, kamu!" seru Hanum jengkel pada anaknya yang selalu membuat ulah.
Devan mengusap telinganya yang terasa perih. "Aku nggak tahu, Ma. Tiba-tiba pas dia mau keluar dia malah pingsan." Devan memutar balikkan fakta, menutupi kesalahannya.
"Lagian kenapa bisa dia di sini? Mama nyuruhnya di kamar tamu. Aduh pasti Kania salah kamar, deh. Atau kamu mau berbuat macam-macam lagi sama Kania?" tuduh Hanum membuat Devan salah tingkah seketika.
"Eng-enggak, Ma. Aku nggak macam-macam."
"Bohong kamu!" Hanum menunjuk wajah Devan. Dia selalu bisa tahu kalau Devan tengah berbohong. "Kamu apain Kania sampai dia pingsan begitu?"
Devan menggaruk kepalanya, salah tingkah. Percuma juga dia mengelak. Hanum tetaplah tahu, mungkin karena nalurinya sebagai ibu. Dia bisa tahu kalau anaknya sedang berbohong.
"Tadi main-main doang, Ma. Mau ngerjain dia aja. Kayaknya dia ingat kejadian malam itu terus pingsan."
Hanum membelalakkan matanya. Membuat nyali Devan menciut. Mungkin dia terlihat dingin dan angkuh di luar sana. Tapi dia selalu tak bisa berkutik jika sudah berhadapan dengan Papa dan Mamanya.
"Kamu lihat sendiri, kan, karena ulah kamu? Itu namanya dia trauma, Devan. Sudah bagus Kania tidak gila setelah malam itu. Gitu kamu masih ngira dia sama cowok lain juga. Emang kurang ajar kamu, Devan. Mama sama Papa mana pernah, sih, ngajarin kamu kayak gitu!"
Memikirkan sikap Devan yang ada hanya membuat Hanum naik darah. Hanum segera melangkahkan kakinya untuk masuk ke kamar Devan di mana masih ada Kania yang terbaring tak sadarkan diri di sana.
Hanum mengoleskan sedikit minyak kayu putih di atas bibir Kania untuk memancing kesadaran Kania.
Sepuluh menit berlalu, Hanum dan Bram baru bisa tersenyum lega saat Kania mulai membuka matanya.
Kania langsung beranjak dari tempat tidurnya. Wajahnya terlihat begitu ketakutan. "Saya mau pulang," ucapnya pelan, suaranya yang terdengar ketakutan itu membuat Hanum panik.
"Tenang, Ka. Tenangkan diri dulu. Ada apa? Kamu di apain sama Devan?"
Bukan jawaban yang Kania berikan, tapi justru air mata yang berjatuhan yang dia tunjukkan di hadapan Bram dan Hanum.
"Saya mau pulang, Bu. Shaka pasti sudah selesai, kan?" tanya Kania sambil mengusap air matanya yang berjatuhan.
Hanum mengangguk. Shaka memang sudah istirahat lima belas menit yang lalu. Dia sudah meminta Kiki untuk tidak mengatakan bahwa Kania pingsan.
"Kamu baik-baik saja, Kania? Apa yang di lakukan Devan sampai kamu pingsan?" Bram bersuara. Membuat Kania menggeleng pelan.
"Tidak ada apa-apa, Pak. Tadi saya hanya pusing. Saya pamit ya, Pak, Bu."
Kania menurunkan kakinya dari atas ranjang. Memakai flat shoes-nya dan segera keluar dari kamar lelaki yang telah menghancurkan kehidupannya.
Devan berdiri di dekat pintu saat Kania membuka pintu kamar Devan. Meskipun sebenarnya Kania begitu terkejut, namun Kania berusaha untuk tetap tenang.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Kania berlalu begitu saja dari hadapan Devan. Membuat Devan akhirnya berpikir keras.
Benarkah Kania mengalami trauma akan malam itu?
Itu artinya, kalau memang Kania trauma, tidak mungkin dia melakukan hal itu dengan pria lain.
Ah, Devan belum bisa yakin begitu saja kalau belum mendengar penjelasan dari Kania. Devan akan mencari waktu yang tepat untuk mencari tahu akan hal ini.
Kalau benar Kania tidak melakukan hal seperti itu dengan lelaki lain, alangkah berdosanya Devan telah menuduh Kania seperti itu.
***
Kania merasa heran saat mengantar Shaka sekolah, namun tatapan mata orangtua murid yang lain menatapnya tak bersahabat. Semacam menghina, sinis dan enggan menyapa meski Kania sudah menyapa dan senyum pada mereka.
Tak ingin ambil pusing, Kania berlalu begitu saja. Masuk ke toilet setelah memastikan Shaka masuk ke kelasnya.
Namun langkahnya terhenti saat beberapa ibu yang berkumpul mulai menyebut namanya.
"Katanya, bundanya Shaka itu nggak punya suami. Bahkan sejak hamil Shaka itu."
"Aduh, bisa begitu, ya? Jadi di sekolah ini ada yang ibunya kerjaannya nggak bener," sahut ibu yang lain.
"Iya, Bu. Katanya, dulu dia hamil waktu masih kuliah. Sampai-sampai dia di usir keluarganya, pergi jauh dari kota Surabaya buat sembunyi, dan akhirnya di DO dari kampusnya."
"Walah, tapi anaknya bisa cerdas begitu, ya? Kabarnya dia bisa sekolah di sini pakai beasiswa. Sekarang udah jadi artis lagi."
"Halah, pasti dia gunakan tubuh dia untuk lelaki kaya, terus anaknya bisa sekolah di sini. Atau mungkin jual diri ke salah satu orang dalam yang di tv itu biar anaknya bisa jadi artis."
Cukup! Kania tidak terima dengan apa yang di bicarakan ibu-ibu tersebut. Ya, meskipun dia memang hamil tanpa suami, harus pergi jauh karena malu, harus di DO dari kampus. Tapi Kania tidak pernah menjual dirinya untuk kehidupannya dengan Shaka.
Kania membatalkan niatnya untuk ke kamar mandi. Tubuhnya justru berbalik dan kakinya melangkah mendekati para ibu tersebut.
"Maaf, ibu-ibu. Maksud ibu-ibu ini apa, ya, membicarakan saya? Harus banget waktu menunggu anak sekolah di jadikan momen untuk membicarakan keburukan orang lain?"
Seorang yang Kania kenal sebagai Mama Helen memandang Kania dengan angkuh. "Kenapa memangnya? Memang begitu adanya, kan? Bunda Shaka ini mantan wanita penghibur yang sampai sekarang masih menjual dirinya untuk membiayai kehidupan kalian. Bahkan anak anda sendiri, anda jadikan mesin ATM. Kecil-kecil sudah di suruh untuk bekerja."
Sekuat tenaga Kania menahan emosinya. Berusaha mengendalikan dirinya agar tangannya yang sudah terkepal erat tidak melayang untuk memukul wanita yang berdiri di hadapannya.
Merasa percuma untuk melawan, Kania akhirnya pergi dari hadapan mereka. Di iringi dengan cibiran-cibiran yang membuat Kania gerah.
Saat Kania melewati lorong sekolah, Kania melihat seorang guru tengah melerai anak-anak yang sedang bertengkar.
"Ya Allah, Shaka." Kania berlari kencang saat melihat anaknya tengah memukul temannya.
"Shaka, udah, Nak." Kania segera meraih tubuh Shaka dan di peluknya dengan erat.
Kania begitu panik saat melihat Shaka yang hanya diam dengan tatapan mata yang menunjukkan bahwa dia tengah marah. Sebelumnya Shaka tidak pernah seperti ini.
"Ikut saya ke ruangan saya, Bu. Kita harus bicarakan masalah ini." Bu Karen, wali kelas Shaka meminta Kania untuk mengikutinya dan masuk ke dalam ruangannya.
Sedangkan anak yang menderita lebam di pipinya karena pukulan Shaka di bawa ke UKS. Dan orangtuanya juga akan segera di panggil ke sekolah.
Di dalam ruangan, Bu Karen berusaha untuk bertanya tentang apa yang terjadi sehingga Shaka memukuli temannya. Namun Shaka hanya diam. Dia tak mengucap satu katapun untuk menjelaskan kesalahannya.
Shaka hanya menatap dengan datar Bu Karen dan Kania.
"Maaf, Bu. Mungkin kami butuh ruang untuk bicara berdua. Saya akan tanya apa alasan Shaka sudah memukul temannya." Kania meminta pengertian pada Bu Karen. Sebenarnya, hatinya juga sudah tak karuan. Tak biasanya Shaka begini.
Bu Karen mengangguk paham. Akhirnya dia meninggalkan ruangan, menyisakan Shaka dan Kania yang akan berbicara berdua.
Setelah Bu Karen keluar, Kania segera memeluk tubuh Shaka. "Anak bunda capek? Pengen istirahat di rumah?" Kania tidak langsung menanyai Shaka tentang masalah yang terjadi.
Shaka tetap diam. Tak ada tanda-tanda Shaka akan menjawab pertanyaan Kania.
"Kenapa Shaka nggak mau jawab pertanyaan bunda? Bunda ada salah ya, sama Shaka?"
"Kenapa Shaka nggak boleh diam kalau bunda saja selalu diam saat Shaka tanya di mana ayah Shaka?"
Kania tersentak. Namun akhirnya dia mulai memahami ucapan Shaka.
"Di mana ayah Shaka, Bun? Shaka malu di ejek nggak punya ayah. Shaka juga pengen punya ayah kayak teman-teman Shaka. Tapi bunda nggak pernah bilang ayah Shaka di mana. Ayah Shaka di mana, Bun? Shaka mau ketemu ayah_"
"Cukup, Shaka! Berhenti bicara soal ayah." Tanpa sadar, Kania membentak Shaka. Air matanya berjatuhan, ikut merasakan luka yang Shaka rasakan. Bahkan hatinya sakit jika mengingat tentang ayah Shaka.
"Memang Shaka nggak punya ayah karena ayah Shaka udah ma_"
"Udah apa?" Sebuah suara tiba-tiba terdengar dan memotong ucapan Kania.
Kania dan Shaka menoleh ke sumber suara. Sudah ada Devan yang berdiri di depan pintu yang sudah terbuka. Entah sejak kapan Devan membuka pintu dan berdiri di sana.
Devan berjalan mendekati Shaka dan memeluk tubuh Shaka. Berbisik pelan, "ayah Shaka ada di sini. Om Devan adalah ayah Shaka. Panggil Om dengan sebutan ayah."
🌼🌼🌼
Jam segini udah up aja. ramaikan yukkk biar semangat up lagi... komen like nya kok sepi. 😌😌
di dunia nyata aja banyak tuh samaan nama..
gak ush peduliin nyinyiran orang thor, anggap aja tuh orang bnr" ngehayati cerita kamu