Cintanya itu harusnya menyatukan bukan memisahkan, kan? Cinta itu harusnya memberi bahagia bukan duka seumur hidup, kan? Tapi yang terjadi pada kisah Dhyaswara Setta dan Reynald de Bruyne berbeda dengan makna cinta tersebut. Dua orang yang jatuh cinta sepenuh jiwa dan telah bersumpah di atas darah harus saling membunuh di bawah tuntutan. Siapakah yang menang? Tuntutan itu atau cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 4 : Penyerangan Pesisir Timur
Rumah tua yang disulap menjadi pos komando itu telah dipenuhi orang-orang. Pria-pria berusia muda telah berkumpul di sana. Ada yang menggunakan seragam tentara rakyat. Ada juga yang hanya menggunakan pakaian biasa. Pasukan dari padepokan Giri Wening menandai diri mereka dengan ikat kepala berwarna merah.
Yudistira melirik ke arah Cakra yang sedari tadi hanya diam,
"Dhyas akan baik-baik saja. Tidak usah jadi beban pikiranmu," Yudistira menepuk bahu Cakra.
Cakra menoleh lalu mengangguk. Sebenarnya ini bukan tentang Dhyas. Ini tentang ibunya, Sri Lestari. Cakra membenci sikap ibunya yang selalu merendahkan Dhyas. Apalagi di mata Cakra, ibunya tidak lebih baik dari Dhyas. Mereka sudah sering bertengkar kalau membahas hal tentang Dhyas.
FLASHBACK ON
Cakra baru saja memasuki rumahnya ketika melihat pintu kamar ibunya terbuka dan ada seorang lelaki Belanda di dalam sana. Ya. Lelaki yang bukan ayahnya. Sedang tidur-tiduran di ranjang ibunya. Sedangkan Sri Lestari refleks bangun ketika mendengar pintu utama dibuka.
"Dari mana jam begini baru pulang?," tanya Sri Lestari dengan wajah juteknya.
"Apa ibu peduli aku dari mana? Siapa lelaki di dalam sana? Pacar ibu?," Cakra menatap tajam ibunya.
Sri Lestari segera menarik pintu kamarnya,
"Bukan urusanmu,"
"Bukan urusanku? Ini rumahku, Bu. Ayah mewariskannya untukku. Wajar aku bertanya, ada seorang pria asing di kamar ibu. Tidur di ranjang ibu lagi. Apa pantas?,"
"Cakra, urusan ibu itu urusan ibu. Lagipula, kamu sendiri baru pulang sudah jam begini. Dari mana? Pasti keluyuran dengan anak si carik itu,"
"Ibu! Anak si carik itu punya nama! Dhyas. Namanya Dhyas!," suara Cakra meninggi.
"Yah terserah siapapun namanya. Yang pasti, kalau kamu tidak mau hubunganmu ibu urusi, jangan urus hubungan ibu. Kamu tidak mengerti apa-apa,"
"Apa yang tidak aku mengerti? Sejak ayah pergi ke Belanda, pemandangan seperti ini selalu saja menjadi tontonan ku. Orang di luar sana sudah menggosipkan ibu. Apa ibu tidak malu?,"
"Kenapa harus malu? Aku tidak minta makan sama mereka. Mereka saja yang sudah berada di belakang ibu dan ibu ada di depan mereka, makanya mereka menggosipkan ibu. Kamu juga tidak malu pacaran dengan orang yang lebih tua darimu?," cibir Sri Lestari.
"Malu? Kenapa? Umur Dhyas hanya tiga tahun lebih tua dariku. Dia juga bukan istri orang. Ibu saja dan ayah beda dua puluh tahun, ibu tidak malu kan?," balas Cakra.
"Beda. Ibu perempuan. Lelaki itu wajar lebih tua usianya dari pasangannya. Tapi kamu..,"
"Usia bukan masalah, Bu. Selagi aku tidak merampas istri orang dan Dhyas tidak menjadi simpanan suami orang,"
Selalu dan selalu. Dhyas yang tidak tahu apa-apa senantiasa menjadi pelampiasan Sri Lestari untuk menutupi kelakuannya.
FLASHBACK OFF
Panglima berdiri di teras kecil rumah itu. Pergelangan tangannya sudah terikat kain bendera merah putih. Dia berdiri dengan gagah berani, mengedarkan pandangannya kepada semua yang hadir,
"Saudara-saudara ku, dengar! Hari ini kita pastikan pesisir timur tidak lagi dikuasai kompeni! Hari ini kita tuliskan sejarah bagaimana kita bisa mengusir penjajah dari ibu Pertiwi! Singsingkan lenganmu, angkat kepalamu, kepalkan tanganmu! Kita siap membawa ibu Pertiwi bebas dari penjajahan Belanda! Merdekaa!!!,"
"Merdekaa!!," serempak semua berteriak sambil mengepalkan tangan.
"Dengan semangat yang membara, kita menuju pesisir timur. Kita hempaskan penjajah jahanam itu dari tanah kita!!,"
**
Ayudiah dan Raras sedang duduk di tepi ranjang Dhyas. Wajah mereka bertiga terlihat penuh kekhawatiran.
"Kata ayah, peperangan kali ini cukup berat. Markas yang diserang cukup besar. Peralatan perang mereka juga canggih," ujar Ayudiah.
"Mas Yudis juga ragu-ragu sebenarnya. Tapi karena ibu Pertiwi memanggil untuk berjuang, mau tidak mau," timpal Raras.
"Bagaimana kalau aku menyusul mereka," celetuk Dhyas.
"Jangan bercanda, Dhyas. Lukamu saja belum kering," tegur Raras.
"Itu tindakan yang gegabah. Aku rasa ayah tidak akan mengizinkanmu pergi," imbuh Raras
"Benar. Dan Cakra juga pasti tidak akan menyetujui ide gilamu ini," celetuk Raras.
Justru aku ingin ke sana karena aku mengkhawatirkan Cakra. Menunggu dalam kecemasan dengan diam seperti ini seperti membunuhku. (Dhyas).
**
"Sudah dua hari Dhyas tidak pulang. Apa sebaiknya kita susul dia di padepokan, ayah?," nyai Rindi menuangkan teh panas ke cangkir suaminya yang baru selesai sholat Maghrib.
"Kenapa disusul? Dhyas itu sudah dewasa. Dia tahu apa yang dia perbuat. Mungkin di padepokan sedang sibuk. Mungkin juga mereka sedang diminta bantuan membantu tentara rakyat. Apalagi ayah dengar dari Pak Lurah, Jepang juga sudah coba-coba untuk masuk ke sini. Tugas padepokan pasti semakin banyak," tandas Cak Din.
"Ibu sering berpikir apa sebaiknya Dhyas itu menikah saja. Ibu khawatir dengan aktivitasnya di padepokan. Siapa tahu dengan menikah, dia bisa meninggalkan padepokan," raut wajah nyai Rindi mendadak berubah cemas.
"Bu..kita hidup di zaman yang penuh perjuangan. Langkah Dhyas sudah tepat. Dia bergabung dengan padepokan untuk menguasai ilmu supaya bisa melawan penjajah. Itu mulia, Bu,"
Nyai Rindi mendengus.
**
Senja baru saja tenggelam ketika suara azan Maghrib terakhir memudar di langit pesisir timur. Gelap mulai turun, menyelimuti garis pantai dan hutan bakau yang mengarah ke markas Belanda. Di antara bayang pepohonan, puluhan tentara rakyat merayap pelan, nafas mereka tertahan menunggu aba-aba.
Panglima Wira berdiri paling depan, tubuhnya tegap, matanya fokus menembus gelap.
“Semua bersiap. Kita mulai sekarang,” bisiknya.
Di belakangnya, tiga regu dari padepokan sudah menempati posisi masing-masing. Cakra di sisi kiri, Arya di tengah, Yudistira di jalur kanan. Mereka bergerak seperti bayangan, mengendap selaras dengan rencana.
Belanda sedang lengah, lampu-lampu markas temaram, suara tawa beberapa serdadu terdengar dari barak. Inilah saatnya.
Begitu isyarat tangan Panglima Wira terangkat, rombongan langsung menyusup.
Regu Cakra memotong pagar kawat sebelah kiri. Baru beberapa langkah masuk, dua serdadu Belanda melihat gerakan mencurigakan.
“Serang!,” bisik Cakra, lalu ia melompat keluar dari semak.
Pertarungan pecah seketika. Pisau, peluru, dan teriakan bercampur jadi satu. Cakra bergerak seperti badai, emosinya meledak-ledak. Penghinaan ibunya terhadap Dhyas—sosok yang ia cintai—terngiang kuat di kepalanya, membuatnya tak lagi mengenal rasa takut.
Ia menerjang masuk hingga ke bagian dalam markas, memukul, menebas, menembak—apa pun yang menghalanginya. Dua serdadu berusaha menghentikannya, tapi Cakra menghantam mereka habis-habisan, napasnya berat namun matanya menyala penuh dendam.
Di sisi lain, Arya memimpin regunya dari arah tengah. Mereka menembak tepat sasaran, bergerak cepat dari satu barikade ke barikade lain. Yudistira dan regunya memotong jalur belakang, menonaktifkan pos penjagaan satu per satu.
Markas Belanda menjadi kacau. Mereka sama sekali tidak memprediksi akan penyerangan ini.
Panglima Wira yang memimpin serangan utara nyaris kena peluru yang melayang dari balkon menara. Peluru itu hanya terpaut sejengkal dari kepalanya.
“Wira, awas!” teriak salah satu prajuritnya.
Panglima berguling, mengambil posisi, lalu membalas tembakan. Serdadu Belanda di atas pun tumbang. Dada Wira berdegup kencang, namun ia bangkit lagi.
“Kita masuk lebih dalam! Jangan beri waktu mereka berkumpul!,"
Cakra, Arya, dan Yudistira akhirnya bertemu di tengah markas setelah pertempuran sengit, dada naik turun, tubuh penuh debu dan darah musuh.
“Kita harus hancurkan gudang senjata,” ujar Yudistira cepat.
Arya mengangguk, menembak dua serdadu yang muncul dari lorong.
“Granat mereka banyak. Kita pakai dari dalam,"
Cakra mengambil tiga granat dari kotak amunisi Belanda, wajahnya dingin tapi matanya masih menyisakan bara.
“Aku lempar. Kalian lindungi,"
Mereka bertiga masuk ke gudang senjata. Suara tembakan dari luar semakin dekat, Belanda sadar mereka hendak menghancurkan pusat kekuatan.
Cakra menarik pin granat pertama.
“Arya, pintu!”
Arya menahan pintu agar tidak didobrak masuk. Yudistira menembak ke arah lubang jendela kecil untuk menahan serangan dari sisi lain.
Granat meledak tepat di antara tumpukan peti amunisi. Ledakan kedua menyusul. Gelombang panas merambat cepat.
“Keluar sekarang!” seru Yudistira.
Tapi saat mereka hendak berlari keluar, ledakan ketiga, yang paling besar, mengguncang seluruh bangunan. Api dan asap hitam membumbung tinggi.
Di luar, Panglima Wira melihat gedung itu runtuh disertai ledakan besar.
Panglima Wira terpaku.
“Cakra… Arya… Yudistira…," gumamnya.
Suaranya parau, seolah dunia runtuh bersama bangunan itu.
“Tidak… mereka masih di dalam…”
Beberapa detik yang terasa seperti keabadian berlalu.
Dari balik asap pekat, tiga sosok muncul terhuyung-huyung. Cakra paling depan, wajahnya kotor, pakaian terbakar di beberapa bagian. Arya dan Yudistira menyusul, tersengal tapi masih hidup.
Prajurit rakyat bersorak, sementara Panglima Wira melangkah cepat menghampiri mereka, matanya berkaca-kaca namun tegas,
“Kalian bertiga… aku kira sudah gugur.”
Cakra menahan napas, lalu tersenyum kecil.
“Belum saatnya, Panglima,"
Di belakang mereka, markas Belanda hanyalah puing-puing yang terbakar. Malam pesisir timur dipenuhi cahaya merah api, tanda kemenangan pertama yang menentukan arah perjuangan.