Arnests (32) dan Vanesa (29) adalah pasangan muda yang tinggal di sebuah klaster perumahan di Jakarta Selatan. Mereka dikenal sebagai pasangan yang solid dan adem ayem. Arnests, seorang manajer proyek dengan karir yang mapan, dan Vanesa, seorang desainer freelance yang ceria, sudah terbiasa dengan rutinitas manis pernikahan mereka: kopi pagi bersama, weekend di mall, dan obrolan santai di sofa. Rumah mereka adalah zona damai, tempat Arnests selalu pulang dengan senyum setelah penatnya macet Jakarta.
Kedamaian itu mulai bergetar seiring kedatangan si tetangga baru (25), tetangga baru mereka di rumah tepat sebelah. Vika adalah seorang wanita muda yang mandiri, enerjik, dan punya aura santai khas anak Jakarta. Awalnya, Vanesa yang paling cepat akrab. Vika sering mampir untuk meminjam bumbu dapur atau sekadar curhat ringan tentang susahnya mencari tukang di Jakarta. Vanesa melihat Vika sebagai partner ngobrol yang seru.
Namun, perlahan Vanesa mulai menyadari ada perubahan halus pada sua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bensin Habis di Gapura
Malam yang Tidak Beruntung 🌃
Pukul 20.00 malam. Setelah seharian menyelesaikan penataan beberapa perabotannya yang belum selesai, Clara (23) memutuskan keluar sebentar untuk mencari makan malam di luar klaster. Ia mengendarai motor matic-nya. Setelah membeli nasi goreng langganannya, ia pun bergegas kembali.
Saat Clara berada di jalan menuju gapura klaster mereka, mendadak motornya mulai tersendat. Ia memelintir gas berkali-kali, namun sayang, mesinnya langsung mati. Clara segera melihat indikator. Nol. Motornya kehabisan bensin.
Clara menghela napas panjang. "Sial! Kenapa bisa lupa isi bensin, sih?" gumamnya kesal pada diri sendiri.
Ia mencoba menyalakan motornya dengan starter elektrik, lalu dengan starter kaki, tapi mesinnya tetap diam. Mau tidak mau, Clara langsung mendorong motornya pelan-pelan menuju pinggir jalan yang lebih terang. Tenaganya langsung terkuras setelah seharian beraktivitas.
Saat ia sedang berjalan di trotoar, tiba-tiba terdengar suara klakson mobil pelan dari belakang. Sebuah mobil mewah berwarna gelap, yang Clara kenali sebagai mobil premium, melambat di sampingnya.
Jendela mobil perlahan turun, dan orang di dalamnya keluar.
"Clara? Lo ngapain malam-malam dorong motor?" tanya suara itu, terkejut.
Clara mendongak, wajahnya yang penuh keringat langsung sedikit terkejut, namun ia segera memasang ekspresi santai. "Mas Arnests! Kaget banget gue," jawab Clara. Ia memegang stang motornya erat-erat. "Biasalah, Mas. Kehabisan bensin di sini. Lupa banget tadi sore enggak sempat mampir pom bensin."
Pertolongan yang Tulus
Arnests (32) berdiri di samping mobilnya. Ia mengenakan kaus polo, tampak baru pulang dari kegiatan di luar. Ia melihat kotak nasi goreng di tangan Clara dan motor yang mogok.
Clara dan Arnests saling pandang sejenak. Ada jeda singkat, namun keduanya kaget namun santai, seolah ini adalah interaksi yang paling wajar.
"Ya ampun, kenapa enggak telepon Vanesa aja? Dia kan di rumah," kata Arnests.
"Enggak enak, Mas. Kak Vanesa pasti lagi sama anak-anak. Masak gini doang gangguin dia," jawab Clara.
Arnests mengeluarkan ponselnya. "Ya sudah, enggak usah didorong. Jauh lho sampai pom bensin. Gue telepon Gojek yang bisa step motor. Lo tunggu di sini, biar gue yang urus."
Tanpa menunggu persetujuan Clara, Arnests langsung memesan layanan step motor melalui aplikasi.
Tak lama kemudian, motor step Gojek datang. Clara naik ke jok belakang motornya, dan motornya pun ditarik menuju pom bensin terdekat. Si Arnests pun ikut mengendarai mobilnya di belakang, mengawasi Clara sampai pom bensin.
Kebersamaan Sesaat
Di pom bensin, Arnests memarkir mobilnya dan langsung berjalan ke arah motor Clara. Setelah bensin terisi penuh, Arnests mengeluarkan dompetnya.
"Berapa semuanya, Mas?" tanya Arnests kepada petugas pom bensin dan pengendara Gojek.
"Biar aku aja, Mas. Aku enggak enak. Kan motor-motor aku," kata Clara, ia mulai mengeluarkan dompetnya dari tas kecil. Clara menolak dengan sungguh-sungguh.
Arnests tersenyum, senyum yang sedikit mengandung paksaan dan ketegasan. "Sudah, enggak usah ribet. Anggap aja ini welcome gift dari tetangga. Biar motor lo enggak mogok lagi. Lagian gue sudah di sini, masa tega lihat lo repot ngurusin transaksi sendiri."
Arnests memaksa mengambil alih pembayaran. Dia membayar bensin dan ongkos Gojek.
"Terima kasih banyak, Mas Arnests. Next time aku ganti ya, deh," ujar Clara, suaranya terdengar tulus karena pertolongan yang tidak terduga ini.
"Enggak perlu. Lain kali bawaannya bensinnya jangan sampai habis," canda Arnests.
Setelah motor Clara menyala normal, Arnests segera masuk ke mobilnya. "Gue langsung balik ya. Vanesa pasti sudah nungguin. Lo hati-hati pulangnya. Sampai ketemu besok."
Arnests langsung pamit pulang, tidak memberi kesempatan bagi Clara untuk berlama-lama bicara.
Clara berdiri di sana, menatap mobil Arnests yang menjauh. Di dalam mobil, Arnests merasa sedikit hangat, bukan hanya karena ia baru saja berbuat baik. Ia hanya membantu tetangga, sebuah tindakan yang wajar. Namun, ia tidak tahu, di bangku penumpang mobilnya, ada rasa bersalah yang ikut pulang bersamanya.Dapur yang Hangat dan Obrolan Sore ✨
Malam itu, setelah insiden motor mogok Clara di gapura klaster, suasana di rumah terasa tenang dan hangat. Di dapur yang luas, Bi Minah, asisten rumah tangga, bergerak gesit. Ia baru saja memindahkan rendang dan sayur lodeh yang sudah hampir selesai dimasak ke dalam piring-piring saji. Aroma rempah yang gurih memenuhi udara.
Di meja makan yang elegan, Vanesa duduk santai. Ia sedang mengobrol ringan dengan Dina, kakak iparnya. Vanesa terlihat nyaman, sambil memangku keponakannya yang baru berusia 5 bulan. Vanesa mencium gemas pipi si bayi dan bercanda-canda riang, membuat si kecil tertawa polos.
"Dina, aku senang banget kamu bisa main ke sini. Paling enggak, ada teman ngobrolku," kata Vanesa pada kakak iparnya.
Tawa mereka terhenti saat suara kunci diputar di pintu depan. Tidak lama kemudian, pintu terbuka, dan Arnests datang.
Laporan Suami yang Jujur 🗣️
Vanesa segera menurunkan keponakannya. Ia melangkah cepat menuju suaminya.
"Baru pulang, Sayang? Kok lama banget? Aku kira kamu langsung pulang," sapa Vanesa lembut.
Vanesa langsung bersalim—mencium punggung tangan Arnests. Arnests membalasnya dengan ciuman lembut di kening Vanesa.
"Iya, Sayang. Tadi ada insiden sebentar, makanya agak telat," kata Arnests. Ia langsung melaporkan semua yang terjadi di jalan. "Aku ketemu Clara di gapura klaster. Motornya kehabisan bensin. Aku bantu dia telepon Gojek buat step motornya ke pom bensin. Aku tungguin sampai selesai."
Mendengar cerita itu, Vanesa terkejut. Wajahnya langsung dipenuhi rasa kasihan.
"Ya Tuhan, kasihan banget Clara! Malam-malam sendirian dorong motor," Vanesa berujar dengan nada prihatin.
Vanesa langsung memeluk suaminya dengan erat. "Makasih ya, suami ku," bisiknya. "Aku enggak tahu nanti kalau enggak ada kamu, gimana. Dia pasti ketakutan banget di pinggir jalan, apalagi di Jakarta. Kamu memang baik banget."
Arnests membalas pelukan itu dengan lega. "Sudah, Sayang. Itu kan cuma kewajiban aku sebagai tetangga. Aku mau ke kamar ganti baju, terus kita makan malam," ajak Arnests.
Pemakluman dan Kepercayaan 💍
Tak lama kemudian, Arnests kembali. Mereka makan malam bersama.
Di tengah kehangatan masakan, Dina, kakak iparnya, bertanya pada Arnests. "Siapa itu Clara yang tadi kalian bicarakan?"
Vanesa menjelaskan semua tentang Clara, tetangga baru yang asik, mandiri, dan baru pindahan. Ia juga bercerita tentang perkenalan mereka di sore hari. Vanesa ingin memastikan Dina memahami situasi Clara.
Dina mendengarkan sampai habis, lalu tersenyum memaklumi tindakan Arnests. "Oh, begitu. Ya sudah, memang harus saling bantu kalau ada yang kesusahan. Untung ada kamu, Nes," komentar Dina.
Mereka pun lanjut ngobrol lagi tentang rencana keluarga dan kehidupan sehari-hari. Malam itu, Vanesa merasa pernikahannya kokoh, suaminya adalah pria yang bertanggung jawab, dan keharmonisan mereka terasa sempurna. Ia yakin suaminya hanya melakukan kebaikan, tanpa menyadari bahwa kebaikan itu justru membuka pintu bagi sang tetangga untuk masuk ke dalam kehidupan mereka.