Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Para pengawal saling berbisik panik. Eliot dan Johan yang baru datang menyaksikan adegan itu hanya bisa terdiam, wajah mereka tak percaya. Beberapa menit kemudian, Apollo sendiri yang melangkah masuk ke kandang. Suaranya berat saat ia berkata, “Cukup.”
Dengan tangan dingin, ia membuka rantai dari pergelangan Lyora. Gadis itu menatapnya dengan senyum puas, seolah tidak sadar betapa seriusnya situasi barusan.
“Dasar jahat!” serunya sambil mengusap tangannya yang merah bekas rantai. “Aku kira kau benar-benar ingin memberiku hadiah singa.”
Apollo hanya menatapnya lama, dingin, namun pikirannya berputar cepat. Ada sesuatu yang tidak masuk akal. Balthor tidak pernah jinak pada siapa pun.
Tidak pada pengawal, tidak pada pelatihnya, bahkan tidak pada Elira sendiri. Singa itu hanya tunduk pada satu orang: Apollo Axelion Dragunov.
Tapi malam ini, hewan buas itu patuh, bahkan jinak, pada seorang gadis polos bernama Lyora.Dia memang idiot atau sebenarnya ada yang lain? pikir Apollo.
Beberapa hari kemudian....
Di sebuah butik megah yang berada di pusat kota , tampak bangunan itu berkilau di bawah cahaya sore. Kristal gantung di langit-langit memantulkan cahaya ke segala arah, menari di antara rak-rak berisi gaun-gaun mahal dari desainer luar negeri. Aroma lembut parfum mawar bercampur dengan wangi kain sutra yang baru disetrika.
Lyora berdiri gugup di depan cermin tinggi, mengenakan gaun biru muda dengan detail renda perak di bagian leher. Ia berputar pelan, membiarkan kain itu berayun seperti kabut di sekitar kakinya.
“Bagaimana?” tanyanya, suaranya ringan, nyaris polos.
Eliot yang bertugas menemaninya hari itu hanya menyilangkan tangan di dada. “Cantik,” ujarnya datar. “Tapi jangan terlalu lama berputar, Nona . Kita masih punya tiga set lagi yang harus dicoba.”
Johan menambahkan dari sudut ruangan, “Dan tolong jangan kabur lagi seperti waktu di galeri.”
Lyora hanya menatapnya lewat cermin, bibirnya melengkung. “Aku tidak kabur. Aku cuma ingin udara segar.”
Eliot mendesah, melirik jam di pergelangan tangan. “Udara segar tidak ada di belakang ruang penyimpanan.”
Lyora pura-pura tidak dengar, Dia menunduk dan memperhatikan detail di pinggang gaun. Ada sesuatu di sana , jahitan kecil berbentuk lambang yang aneh. Ia meraba pelan, namun penjahit sudah datang membawa hanger berisi gaun baru berwarna merah delima.
“Yang ini untuk sesi tunangan,” kata penjahit itu ramah. “Desain khusus, sesuai pesanan Tuan Dragunov.”
Lyora menatap gaun itu lama. Warna merah nya tampak terlalu pekat, seperti darah yang membeku.Ia tersenyum tipis, lalu berkata pelan, “Bolehkah aku mencobanya sendiri? Aku ingin melihatnya di ruang sebelah.”
Penjahit mengangguk sopan. Eliot sempat hendak menolak, tapi Lyora sudah mengambil gaun itu dan melangkah menuju lorong panjang di belakang butik.
Lorong itu sepi. Lampu-lampunya redup, dan setiap langkah Lyora bergema pelan di lantai marmer. Ia membuka pintu satu per satu ruang ganti, ruang penyimpanan, ruang setrika, namun langkahnya tidak berhenti di sana. Ada sesuatu yang menariknya lebih jauh ke belakang butik.
Sampai akhirnya, pintu kayu tua di ujung lorong itu terbuka sedikit. Udara dingin mengalir keluar.Lyora melangkah masuk. Di baliknya, gemerincing kecil terdengar,pintu itu menutup rapat sendiri.
Setelah beberapa menit berlalu,
Eliot menunggu di depan ruang utama sambil berbicara dengan Johan. Tapi ketika mereka sadar Lyora tak kembali, suasana butik langsung berubah tegang.
“Sudah hampir dua puluh menit,” gumam Johan. “Dia cuma ganti baju, bukan operasi rahasia.”
Eliot memicingkan mata, lalu berjalan cepat ke arah lorong belakang. Namun ketika mereka membuka pintu satu per satu semua ruangan kosong.
Gaun merah delima masih tergantung di hanger.Dan di lantai marmer yang dingin, hanya ada benda kecil berkilau, liontin morvena, bunga kering yang selalu dipakai Lyora di lehernya.
Eliot merunduk, mengambilnya dengan rahang mengeras. “Bos tidak akan suka mendengar ini.”
Di tempat lain, di balik pintu kayu yang sama, Lyora melangkah pelan menuruni tangga sempit menuju ruang bawah tanah yang tak tercatat di denah butik.Udara lembap dan gelap, tapi di ujung sana ada cahaya samar berwarna biru.
Seseorang menunggunya.Suara berat dan dingin bergema dari bayangan itu.“Sudah lama sekali, Nona Lyora Alexandra Dimitriv ”
Lyora menoleh ke arah asal suara itu , tatapan matanya yang biasa nya polos kini menajam dan alisnya mengernyit.
.......ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ......
Eliot dan Johan berlari keluar butik, menero bos udara sore yang mulai berembus dingin. Jalan di depan butik sepi, hanya beberapa mobil mewah yang terparkir dan deretan lampu taman yang baru menyala.
“Ke mana dia bisa pergi secepat itu?” gerutu Johan, matanya menyapu sekitar dengan cemas.
Eliot tidak menjawab. Ia hanya mengikuti instingnya, melangkah cepat ke sisi trotoar , dan berhenti begitu melihat sosok kecil di tepi taman depan butik.
Lyora.
Gadis itu sedang jongkok di tanah, rambutnya berantakan menutupi sebagian wajah, ujung gaun birunya tersentuh debu. Di telapak tangannya yang kecil, tergenggam gantungan kunci berbentuk kapal perak terlihat tua, warnanya sedikit pudar.
“ Nona Lyora!” seru Eliot dengan nada lega sekaligus jengkel. Ia berlutut di hadapan gadis itu. “Apa yang kau lakukan di sini? Kami mencarimu ke seluruh butik!”
Lyora mendongak, wajahnya tampak bingung. “Aku mendengar suara. Seperti seseorang memanggilku. Lalu aku melihat benda ini.”
Ia mengangkat gantungan kunci itu pelan, matanya memantulkan cahaya dari lampu taman.
“Lucu, ya? Bentuknya seperti kapal yang pernah kutemukan waktu kecil.”
Johan menggeleng tak percaya. “Kau kabur cuma buat memungut gantungan kunci?”
“Bukan kabur,” sahut Lyora, suaranya lembut tapi matanya sedikit kosong, seolah pikiran nya masih jauh. “Benda ini rasanya seperti pernah kumiliki.”
Eliot menatapnya tajam, namun kemudian menarik napas panjang dan berdiri.“Sudahlah. Kita kembali ke dalam sebelum Bos tahu kau hilang dari pandangan.”
Ia mengulurkan tangan. Johan membantu di sisi lain, dan bersama-sama mereka menun tun Lyora masuk kembali ke butik.Begitu pintu kaca butik tertutup di belakang mereka, suasana di luar kembali hening.
Namun di antara bayangan pepohonan di seberang jalan, ada sesuatu yang bergerak pelan.Sosok pria berbadan tegap berdiri diam di bawah cahaya lampu taman yang redup.
Jas hitamnya terlihat kontras dengan topeng perak yang menutupi separuh wajah, topeng pesta berbentuk rubah, dengan ukiran halus di tepinya.
Ia memperhatikan Lyora dari kejauhan, tanpa suara, tanpa gerak. Angin malam meniup ujung mantel panjangnya, membuat daun- daun kering berguguran di sekeliling nya.
Beberapa Saat Kemudian
Butik kembali tenang, meski ketegangan masih terasa. Lyora kini sudah kembali ke ruang pas, mengenakan gaun merah delima rancangan khusus.Cahaya lampu kristal memantul di permukaan satin, menciptakan kilau seperti bara api yang hidup di setiap lipatan kainnya.
Penjahit sibuk membenarkan detail di bahu, sementara Lyora berdiri diam di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya sendiri. Wajahnya tampak pucat, tapi senyum kecil menggantung di bibirnya, senyum yang sulit dibaca, entah gugup, atau justru kosong.
Eliot berdiri di dekat pintu, masih belum melepaskan tatapannya dari gadis itu.
“Setidaknya sekarang kau tidak hilang lagi,” gumamnya lirih.
Belum sempat Johan menimpali, suara langkah berat bergema di lantai marmer butik. Suara itu dalam, berwibawa dan membuat semua orang menoleh spontan.
Apollo Axelion Dragunov telah tiba.
Ia mengenakan setelan hitam dengan kemeja abu-abu gelap, tanpa dasi. Tatapannya tajam, wajahnya dingin seperti marmer. Begitu pintu terbuka penuh, udara di ruangan seolah menurun beberapa derajat.
Penjahit buru-buru menunduk, sementara Eliot dan Johan langsung menegakkan tubuh.
“Aku dengar calon tunanganku hampir hilang di butik,” suaranya berat dan dalam, nyaris tak menunjukkan emosi. Eliot menelan ludah. “Semuanya terkendali sekarang, Tuan.”
Apollo tidak menjawab. Ia berjalan pelan ke arah Lyora. Langkahnya mantap, namun matanya menelusuri setiap detail,gaun merah yang membalut tubuh Lyora, rantai tipis di lehernya, dan gantungan kunci perak berbentuk kapal yang kini tergantung di tangan gadis itu.
“Apa itu?” tanyanya datar.
Lyora menatap benda kecil itu, lalu menjawab pelan, “Aku menemukannya di depan butik. Aneh, kan? Bentuknya seperti kapal kecil. Tapi rasanya aku mengenalnya.”
Apollo berhenti tepat di hadapannya. Bayang an tubuhnya jatuh menutupi gadis itu.“Buang.”
Lyora mengangkat wajah, terkejut. “Kenapa?”
“Karena aku bilang begitu.”
Tatapan mereka bertemu di cermin besar. Gaun merah di tubuh Lyora berkilau di antara pantulan wajah Apollo yang dingin. Untuk sesaat, ruangan itu hanya dipenuhi keheningan yang berat.
Tapi kemudian Lyora menunduk, jemarinya mengepal pelan di sekitar gantungan itu. “Tidak. Aku ingin menyimpannya.”
Eliot dan Johan saling pandang di sudut ruangan. Mereka tahu, dalam situasi biasa, jawaban semacam itu bisa memicu badai. Tapi kali ini , anehnya Apollo tidak marah. Ia hanya menatap Lyora lama, seolah mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi jauh di balik sorot matanya.
Perlahan, ia mendekat. Tangannya terangkat, menyentuh ujung kain di bahu Lyora.
“Gaun itu terlalu mencolok,” katanya dingin. “Kau tidak perlu terlihat seperti bara api hanya untuk berpura-pura bahagia.”
Lyora tersenyum samar. “Tapi kau yang memilih warnanya.”
Untuk pertama kalinya, sesuatu di wajah Apollo berubah , bukan amarah, tapi sesuatu yang samar antara kesal dan bingung. Ia menarik napas pelan, lalu berkata lirih, nyaris seperti gumaman, “Aku lupa alasan kenapa memilihnya.”
Lalu ia berbalik, melangkah pergi tanpa menoleh lagi dan menutup pintu butik. Apollo hampir sampai di depan pintu mobil nya ketika langkahnya tiba - tiba terhenti.
Tangan kirinya sudah menyentuh gagang pintu mobil hitam itu , namun alisnya berkerut pelan. Bayangan Lyora di cermin masih tertangkap oleh sudut matanya, gadis itu berdiri diam dengan gaun merah delima, cahaya lampu membuat warna kain itu tampak seperti darah yang hidup.
Ia diam beberapa detik.Kemudian, tanpa menoleh, ia mengangkat ponselnya. Suara dering notifikasi pendek terdengar di sisi lain ruangan, ponsel Eliot bergetar di saku jasnya.
Pria itu mengintip layarnya dan hampir menelan ludah saat membaca pesan singkat yang masuk:
Tn. Apollo Dragunov:
Tukar gaunnya. Warna putih. Hari ini juga.
Eliot menatap punggung tuannya yang tegap di depan pintu, lalu menjawab cepat:
Eliot: Baik, Tuan. Alasan khusus? .Balasan datang beberapa detik kemudian.
Apollo Dragunov: Karena merah terlihat seperti luka. Dan aku muak dengan warna luka.
Tanpa menunggu lebih lama, Apollo menurun kan ponselnya dan melangkah masuk ke dalam Suv Hitamnya, Pintu kaca tertutup perlahan di belakangnya, menyisakan gema langkah sepatu kulitnya yang menjauh di lantai marmer.
Di dalam butik, Lyora masih menatap cerminnya sendiri.Ia tidak tahu bahwa warna gaun yang melekat di tubuhnya baru saja ditentukan ulang , bukan oleh desainer, tapi oleh pria yang bahkan tak sanggup mengakui alasannya.
Eliot menatap layar ponsel itu sekali lagi, lalu berbisik pada Johan, “Siapkan versi putih. Dan jangan bilang siapa pun soal pesan itu.”
Johan mengangkat alis. “Bahkan pada Nona Lyora ?”
“Terutama pada Nona ,” jawab Eliot pelan. “Karena kalau dia tahu... mungkin dia akan tersenyum lagi dengan cara yang membuat Bos semakin gila.”