NovelToon NovelToon
Elegi Grilyanto

Elegi Grilyanto

Status: sedang berlangsung
Genre:Janda / Keluarga / Suami ideal / Istri ideal
Popularitas:566
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4

Pagi itu, langit tampak cerah, seolah ikut menyambut langkah baru Grilyanto.

Ia berdiri di depan gedung Perumtel dengan seragam rapi berwarna abu-abu muda, sepatu hitam mengilap, dan rambut yang ia sisir dengan teliti.

Jantungnya berdegup cepat—bukan karena takut, tapi karena campuran gugup dan harap.

“Ini dunia baru,” bisiknya dalam hati.

Ruangan 108—ruang layanan informasi tempat Grilyanto akan bekerja.

Ruang itu dipenuhi meja dengan telepon berderet dan tumpukan kertas.

Suara dentingan tombol, nada sambung, dan percakapan terdengar silih berganti.

Seorang atasan memperkenalkannya pada staf lain.

“Ini Grilyanto, petugas baru untuk layanan 108. Tolong dibimbing ya.”

Seorang rekan senior, Mbak Ratna, tersenyum dan mengajak Grilyanto duduk di sampingnya.

“Nggak usah tegang. Dengarkan dulu, lama-lama juga terbiasa.”

Grilyanto mulai mencatat. Ia belajar bagaimana menyambut penelepon, mengucapkan salam dengan suara yang ramah, mencatat nomor permintaan dengan cepat, dan menjawab pertanyaan yang kadang sederhana, kadang membingungkan.

Panggilan pertama yang ia tangani membuat tangannya agak gemetar.

“Selamat pagi, layanan informasi 108. Ada yang bisa saya bantu?”

Suara perempuan paruh baya di seberang meminta nomor rumah sakit. Grilyanto mencari di buku direktori, menyebutkannya dengan jelas. Setelah itu, panggilan ditutup.

Ia menarik napas lega.

Mbak Ratna menepuk pundaknya pelan. “Bagus. Kamu punya suara yang sopan dan tenang. Itu penting di sini.”

Hari itu berlalu cepat. Meski tubuhnya lelah, hati Grilyanto hangat.

Ia merasa dihargai, merasa berguna. Di luar gedung, saat matahari mulai turun, ia menatap langit dan tersenyum kecil.

“Ini bukan mimpi yang dulu, tapi mungkin... inilah jalan menuju mimpi itu.”

Grilyanto mulai terbiasa dengan irama kerja di ruang 108. Telepon yang nyaris tak pernah berhenti berdering, suara-suara yang datang dari berbagai penjuru negeri, dan ritme kerja yang cepat—semua itu perlahan menjadi rutinitas yang ia nikmati.

Ia belajar membagi waktu dengan disiplin. Pagi bangun lebih awal, mencuci baju sendiri, lalu sarapan sederhana sebelum berangkat ke kantor. Di ruang kerja, ia mulai hafal nomor-nomor penting, lokasi-lokasi rumah sakit, kantor polisi, kantor pos, bahkan restoran yang sering ditanyakan pelanggan.

Grilyanto bukan hanya jadi petugas informasi, tapi juga pendengar yang sabar. Ia tahu, kadang penelepon tak hanya mencari nomor, tapi juga butuh sedikit keramahan dalam suara seseorang.

“Terima kasih, Mas… suaranya enak didengar,” kata seorang penelepon suatu siang.

Komentar itu membuatnya tersenyum kecil. Ia tidak mengejar pujian, tapi setiap kata baik seperti itu meneguhkan langkahnya.

Malam hari, setelah pulang kerja, Grilyanto sering duduk di kamar kosnya dengan buku catatan. Ia kembali menulis—bukan hanya nama-nama obat seperti dulu, tapi kini juga menulis tentang pengalaman harinya: penelepon yang lucu, kejadian di ruang kerja, bahkan kata-kata dari seniornya.

Diam-diam, ia menabung. Gaji yang tidak seberapa ia sisihkan sedikit demi sedikit. Ia tahu, suatu saat, ia ingin kuliah lagi. Mungkin tidak tahun ini. Tapi siapa tahu, tahun depan.

Bulan demi bulan berlalu, dan Grilyanto semakin dikenal sebagai karyawan yang rajin dan sopan. Ia jarang absen, selalu datang lebih awal, dan sesekali membantu teman yang kesulitan.

Dalam kesibukan dan kesederhanaan itu, Grilyanto menemukan satu hal penting.

Bekerja bukan hanya soal uang, tapi tentang menjadikan dirimu bermanfaat.

Pekerjaan sebagai petugas layanan 108 awalnya hanyalah jalan pengganti bagi Grilyanto. Namun seiring waktu, pekerjaan itu berubah menjadi sesuatu yang ia cintai.

Setiap pagi, ia berangkat dengan semangat baru. Sepeda tuanya menyusuri jalan kota yang kini sudah tak asing lagi baginya. Wajah-wajah para petugas keamanan, pedagang, hingga tukang parkir di sekitar kantor mulai ia kenali dan sapa dengan senyum.

Di ruang 108, ia merasa seperti bagian dari keluarga kecil. Teman-teman kerjanya bukan hanya rekan, tapi juga sahabat berbagi cerita dan tawa. Ia mulai bisa menebak nada penelepon hanya dari suara awal: yang terburu-buru, yang bingung, yang kesal, atau yang hanya kesepian.

“Nomor rumah sakit jiwa dong, Mas,” ujar seorang bapak dengan nada bercanda suatu hari.

Grilyanto menjawab santai, “Bapak mau tanya untuk siapa dulu, nih?”

Terdengar tawa di seberang, lalu mereka berdua tertawa bersama.

Melayani, ternyata membawa kebahagiaan. Bukan karena dipuji atau dihargai secara materi, tapi karena bisa membantu orang lain meski hanya lewat suara.

Setiap akhir bulan, Grilyanto mencatat penghasilannya dengan rapi. Ia mulai menyisihkan sebagian untuk tabungan kuliah, sebagian untuk mengirim ke ibu di kampung, dan sisanya untuk kebutuhan harian. Ia tak pernah merasa kekurangan karena ia telah menemukan rasa cukup.

Malam hari, selepas kerja, ia kadang berjalan kaki menyusuri jalan kota, menikmati lampu-lampu toko yang mulai meredup dan suara radio dari warung kopi.

Di kepalanya, terlintas bayangan-bayangan masa depan dimana ia mengenakan jas putih, berdiri di balik meja apotek, tersenyum melayani pasien.

Impian itu belum padam. Tapi kini, ia punya dua hal yang dulu tak ia miliki:

kesabaran dan keyakinan.

Grilyanto akhirnya tahu, bahwa kadang kita harus melalui jalan memutar, supaya bisa benar-benar menghargai tujuan.

****

Hari itu, sore terasa lebih cerah dari biasanya. Grilyanto baru saja menerima gaji dari Perumtel.

Uang itu tak seberapa jika dibandingkan dengan impiannya yang besar, tapi ada rasa haru yang tak bisa ia sembunyikan.

Ia menatap amplop itu lama, sebelum perlahan membuka dan menghitung isinya. Di dalam dadanya, ada rasa bangga yang lembut—hasil dari keringat dan kerja kerasnya sendiri.

“Ini hasil dari suaraku, dari ketekunanku.”

Setelah menyisihkan sebagian untuk tabungan dan sebagian lagi untuk dikirim ke ibunya, Grilyanto tersenyum kecil. Hari itu, ia ingin menghadiahi dirinya sesuatu yang istimewa.

Langkahnya membawanya ke warung lontong kikil favoritnya di pojok jalan dekat terminal kota.

Sejak dulu, lontong kikil itu adalah makanan yang ia idamkan, tapi jarang ia beli. Harumnya kuah kikil panas bercampur santan dan sambal, membuat perutnya bergelora.

“Lontong kikil satu, Bu. Pakai sambal, ya,” ucapnya sambil tersenyum.

Penjualnya menatapnya dan mengangguk, “Wah, Mas Gril kelihatan senang hari ini.”

“Saya baru gajian,” jawab Grilyanto ringan, lalu tertawa kecil.

Ia duduk di bangku kayu panjang, menikmati setiap suap dengan penuh syukur. Kuahnya gurih, kikilnya empuk, dan lontongnya padat.

Tapi yang paling nikmat bukan rasa makanannya, melainkan rasa berhasil menghargai diri sendiri.

Saat malam turun dan ia kembali ke kamar kos, perutnya kenyang dan hatinya hangat. Di ujung buku catatannya malam itu, ia menulis:

“Hari ini aku merayakan hidupku. Bukan dengan pesta, tapi dengan semangkuk kikil dan harapan yang terus ku pupuk.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!