Pengkhianatan itu bukan datang dari musuh, tapi dari orang yang paling dia percaya.
Vilya Ariestha Elora — dihancurkan secara perlahan oleh pacarnya sendiri, dan sahabat yang selama ini ia anggap rumah. Luka-luka itu bukan sekadar fisik, tapi juga jiwa yang dipaksa hancur dalam diam.
Saat kematian nyaris menjemputnya, Vilya menyeret ke duanya untuk ikut bersamanya.
Di saat semua orang tidak peduli padanya, ada satu sosok yang tak pernah ia lupakan—pria asing yang sempat menyelamatkannya, tapi menghilang begitu saja.
Saat takdir memberinya kesempatan kedua, Vilya tahu… ia tak boleh kehilangan siapa pun lagi.
Terutama dia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Rencana Gagal
Di satu sisi, suasana makin tegang. Di sisi lain, Elena berdiri gelisah, bingung harus berbuat apa. Ia ingin membantu Arabelle, tapi ragu karena Vilya masih memegang gunting.
Tiba-tiba, lampu ruang tamu menyala terang. Kilau lampu kristal menyinari seluruh ruangan.
"Apa yang kalian lakukan!?" suara Marvin menggema tajam.
"Ayah! Arabelle mau bunuh aku!" Ia buru-buru berlari ke arah Marvin, masih menggenggam gunting. "Dia gila, Ayah!"
"Vilya, aku bersumpah bakal hancurin kamu!" Arabelle menggertakkan giginya. Seumur hidup, belum pernah dia dibuat se kacau ini.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Elmira melangkah masuk, wajahnya panik. "Vilya, turunkan gunting itu dulu."
"Kalau aku turunkan, dia bisa langsung serang aku!" jawabnya dengan tatapan tajam dan masih menjaga jarak.
"Arabelle, hentikan. Kembali ke kamarmu sekarang!" Elmira mulai cemas. Dia tahu Vilya nggak bisa digertak begitu saja, jadi kini dia mencoba menenangkan Arabelle.
"Aku nggak mau! Aku pengen dia mati!" Arabelle berteriak histeris.
"Apa kalian semua cuma nonton? Cepat pisahkan mereka!" bentak Elmira ke arah para pelayan yang hanya berdiri terpaku.
"Baik, Nyonya!" Salah satu pelayan langsung maju, menarik Arabelle ke belakang. Gunting di tangan Vilya pun diamankan.
Marvin duduk di sofa, mengusap wajahnya yang lelah. Ia menatap Elena tajam. "Kamu tahu apa yang terjadi? Jelaskan sekarang!"
"Eh?" Elena gugup. Ia menggigit bibir bawahnya dan berkata pelan, "Itu... itu karena Kak Vilya memotong rambut Arabelle."
Baru saat itu Elmira sadar, rambut Arabelle yang di kuncir rapi tadi sudah terpotong di bagian ujung.
Arabelle memegang rambutnya dengan panik. "Ya Tuhan! Rambut ini segalanya buat perempuan! Vilya, kamu keterlaluan!"
"Aku nggak akan tinggal diam. Aku bener-bener benci kamu!" Arabelle mendesis, matanya merah karena marah.
Ia mendengus dingin. "Kenapa nggak tanya dulu, Bibi, gimana aku bisa motong rambutnya, padahal semuanya lagi tidur?"
Marvin melirik Elena. "Elena, jelaskan!"
Elena diam. Ia nggak tahu harus bilang apa. Nggak mungkin dia jujur kalau mereka masuk ke kamar Vilya tengah malam buat ngerusak gaunnya.
Elmira melirik penampilan Elena yang kusut dan langsung paham kalau mereka pasti berniat memberi pelajaran untuk gadis itu, tapi malah berbalik.
Dalam hati, ia kesal karena rencana mereka gagal total. Tapi wajahnya tetap tenang, ia justru terlihat kecewa dan menegur, "Tapi tetap saja, Vilya. Kamu nggak bisa sembarangan seperti itu. Ini rumah keluarga Elora, bukan tempat asalmu. Harusnya tahu aturan."
Ia mengangkat alis. "Tempat asalku memangnya kayak gimana? Dan aturan di rumah ini apa? Kalau menyelinap ke kamar orang malam-malam apa termasuk aturan?"
"Siapa yang nyelinap?! Emangnya kita ngambil apa dari kamu? Nggak usah main tuduh aja!" Elena membela diri. "Aku cuma bercanda, kamu aja yang keterlaluan! Masa tidur bawa gunting?"
"Aku tidur sambil bawa gunting, terus kamu malah masuk ke kamarku, itu logikanya gimana?" Ia hampir tertawa. Dalam hati, ia heran kenapa dulu bisa sebodoh itu sampai takut sama mereka.
"Kamu sendiri yang suruh kami masuk!" Elena mulai ngeles. "Katanya kamu mau kasih lihat sesuatu!"
"Iya," Arabelle ikut menimpali. "Kami cuma datang karena kamu yang bilang."
"Bohong." Ia menatap mereka tajam. "Aku malah teriak nyuruh kalian keluar. Pelayan pasti ada yang dengar. Mau aku panggil mereka satu-satu?"
Saat itu, semua pelayan sudah berkumpul di ruang tamu. Tapi tak satu pun dari mereka berani menatap mata Vilya. Mereka memang mendengar teriakan, tapi siapa yang berani bersaksi membela gadis muda yang nggak punya kekuatan apa-apa di rumah ini?
Melihat semua orang diam, Elena malah makin percaya diri. Ia mengangkat dagunya tinggi-tinggi. "Tuh, lihat! Nggak ada yang dengar apa-apa, kan?"
Ia hanya menghela napas pelan. Ia sudah menduga ini akan terjadi. Tatapannya semakin dingin, lalu ia menoleh ke arah Ayahnya. "Setelah makan malam, aku langsung di kamar bukan." Ucapnya tenang.
Marvin menatap mata putrinya, ia tampak mulai mempertimbangkan sesuatu.
“Kalian berdua yakin?” Wajah Marvin mulai serius.
“Yakin!” jawab mereka bersamaan. Tapi Elena terlihat ragu, lalu menambahkan, “Aku ingat ada pelayan yang lewat waktu itu.”
“Oh ya?” Marvin menatapnya tajam. “Siapa?”
Pelayan-pelayan saling pandang, tapi tak ada yang buka suara. Sampai akhirnya, seorang pria di tengah melangkah maju. “Saya, Tuan.”
Ia langsung menoleh ke arahnya. Sudut bibirnya tertarik pelan. Nolan lagi… Pria ini memang nggak tahu malu.
Belum sempat ia balas dendam, pria itu malah cari masalah duluan.
Nolan menatapnya dengan tatapan meremehkan. Ia mengepalkan tangan sambil tersenyum sinis. Dalam pikirannya, gadis itu cuma anak liar yang nggak punya kuasa. Dulu saja berani mengancamnya, apalagi sekarang?
Dia yakin ia nggak akan bisa macam-macam.
Akan jadi keuntungan besar kalau Nolan bisa memanfaatkan kesempatan ini buat jadi orang kepercayaan Nyonya rumah. Dulu, Erland juga begitu—awalnya cuma asisten, lalu pelan-pelan naik jadi kepala pengurus rumah tangga. Tapi Erland sekarang sudah tidak muda lagi. Posisi berikutnya mungkin terbuka, dan semua bergantung pada aksinya malam ini.
“Kau melihatnya sendiri?” tanya Marvin, kedua tangannya mengepal. “Ceritakan apa yang terjadi waktu itu.”
“Ya, saya lihat.” jawab Nolan tenang, padahal dia jelas-jelas tidak tahu apa-apa. Tapi sekarang, dia cuma butuh sedikit keberanian untuk memutar cerita. Toh, siapa yang berani membela gadis itu? Membelanya sama saja melawan Nyonya rumah—dan melawan ‘putri’ utama keluarga ini. Tak ada pelayan yang cukup berani untuk itu.