Sebagai murid pindahan, Qiara Natasha lupa bahwa mencari tahu tentang 'isu pacaran' diantara Sangga Evans dan Adara Lathesia yang beredar di lingkungan asrama nusa bangsa, akan mengantarkannya pada sebuah masalah besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunny0065, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lembaran Baru
"Pagi buta nyuruh gue pijat-pijat dikira gue babu, Lo," tolak Sangga.
"Cepetan nurut siapa suruh semalaman bolak-balik tubuh gue kayak roti panggang, lihat ini, imbasnya pegal-pegal!" rutuk Natasha.
"It's okay, sebelah mana mau dipijat?" ngalah Sangga.
Perempuan sedang baring telungkup menepuk kedua pundak pegalnya, lalu kembali bermain gadget.
"Kemarin gue nemuin ponsel Lo di saku sweater punya Lo, gue coba cek terus kaget lihat puluhan panggilan masuk tak terjawab dari bu Liza dan sebuah nomor tak dikenal, enggak percaya cek aja ponselnya," beritahu Natasha.
Sangga celingak-celinguk mencari benda canggihnya. "Handphone gue taruh di mana?"
"Dalem laci."
Beranjak turun membuka laci nakas mencari ponsel, setelah ketemu, Sangga naik lagi ke tempat tidur, menyilang kaki menghadap ke semula.
"Enggak Lo angkat?" tanya Sangga.
"Gimana mau gue angkat, layar ponselnya pake sandi."
"Password-nya tanggal lahir gue, masa enggak tau."
Natasha membalik badan, mencubit kesal perut Sangga.
"Ngapain gue tau identitas Lo, ngarep banget mau diperhatiin!"
"Terus kdrt lama-lama gue telan hidup Lo bulat-bulat kalau Lo mau dimanja enggak usah drama segala ngajak ribut, cukup bilang sayang, gue butuh pelukan, ciuman, elusan dan lain-lain yang bersangkutan dengan kehangatan, bakal gue turuti kok kemauan Lo," celoteh Sangga.
"Filter dulu omongannya siapa juga mau dimanjain sama Lo, percaya diri banget!" sahut Natasha.
Sukses membersihkan log panggilan, Sangga melempar handphone ke kasur.
"Bu Liza mencemaskan keberadaan Lo, kenapa enggak coba telepon ulang?" usul Natasha.
"Paling Bunda minta gue balik ke asrama buat nenangin kesedihan Adara kalau bukan soal itu, mana perduli Bunda nanyain gue di mana," ucap Sangga berasumsi.
"Lo masih marah? Menurut gue cukup makan hati, marah boleh asal enggak boleh abaikan hal mendesak seperti panggilan beliau. Bu Liza tetap ibu kandung Lo, yang mesti dimaklumi rasa kekhawatirannya terhadap anak sendiri sekarang ambil ponsel Lo, telepon balik, tanyain ada gerangan apa sampai call sebanyak itu," nasehat Natasha.
"Malas."
"Itu ibu, Lo," peringat Natasha.
"Sekarang ibu, Lo, juga."
Natasha memutar bola mata, debat dengan Sangga tidak akan menang.
"Terserah Lo mau gimana tapi kalau ada sesuatu mengejutkan terjadi di sana dan Lo menyesal, jangan nangis di pelukan gue. Lo aja tega cuekin panggilan orang tua jadi gue enggak mau tau," oceh Natasha.
Sangga menggeliat, meletakkan kepalanya di punggung Natasha dan rebahan dengan posisi miring.
"Berat!" rengek Natasha susah payah membalik tubuh membiarkan kepala suaminya numpang di perut.
Natasha terengah-engah, menjambak surai Sangga sebagai pelampiasan kekesalan di hati. "Engap."
"Lima menit lagi." Sangga menolak bangun.
"Minggir dulu, gue mau benerin baju dalaman," ujar Natasha.
"Gue bantu naikin?" tawar Sangga.
"Enggak, yang ada Lo modus!"
"It's okay."
"Gue bilang bangun sebentar, seriusan ini enggak nyaman!" mohon Natasha.
"Lagian kenapa bisa lepas? Pasti punya Lo kebesaran jadi enggak muat?"
Natasha menjambak rambut Sangga membuat empunya meringis kesakitan.
"Kepala gue bisa copot Sha!"
"Ngomong sekali lagi, gue sumpal mulut Lo pakai bantal!" kesal Natasha.
Sangga berdecak, mengubah rebahan menjadi duduk, kemudian membalik paksa Natasha dan menyingkap naik baju tidur bermotif beruang dipakai istrinya, nekat mengaitkan ***.
"Udah gue atasi ketidaknyamanan Lo," kata Sangga.
Speechless sudah dibantu, Natasha menenggelamkan wajah merahnya ke bantal.
*
Di meja makan, Pak Aksan menyambut hangat pasangan muda.
Natasha menunduk malu duduk bersebelahan dengan Sangga mengingat kejadian pagi soal merapikan sesuatu lepas dalam bajunya.
"Den ganteng mau dibikinin minum apa?" tanya Bi Inem.
"Kalau ada kopi espresso, Bi," pinta Sangga.
"Baik—"
"Pagi-pagi minum kopi sebelum makan tidak bagus buat kesehatan lambung. Menantu saya kasih teh manis, Bi, kalau Natasha seperti biasa kasih vanilla drink," sela Pak Aksan.
"Baik Tuan, permisi," undur Bi Inem.
"Tampaknya ada sesuatu mengganggu pikiranmu, ada apa Natasha?" selidik Pak Aksan.
Mendongak gugup, Natasha menggeleng dengan senyuman tipis.
Pak Aksan menghargai putrinya menolak bicara, dan beralih menatap Sangga yang sibuk mengoles roti dengan selai anggur.
"Sangga, saat meninggalkan asrama, ibumu tau kamu larinya ke rumah Papa?" layang Pak Aksan.
"Bunda tau aku pergi."
"Kamu kabur meninggalkan asrama?"
Roti berlapis selai digigit, Sangga menganggukkan kepala sambil mengunyah.
"Malahan ibunya telepon enggak diangkat Pa," adu Natasha.
Sangga menoleh, menyobek roti bekas gigitan menyodorkannya ke mulut perempuan baru saja menimpali obrolan, untungnya Natasha melahap pemberiannya.
"Itu tandanya ibumu khawatir ingin tau gimana kondisimu setelah pergi dari asrama, tidak ada salahnya menerima panggilan," kata Pak Aksan.
Sangga mengangguk, malas membahas tentang ibunya.
Bi Inem menghampiri, menaruh minuman di hadapan masing-masing dengan selera berbeda.
"Sangga, bagaimana menurutmu jika Papa memilih lokasi kafe di sekitar sekolah SMA GRAHA?" cakap Pak Aksan.
"Menurutku area sekolah kurang cocok, penikmat kopinya enggak akan banyak, lima puluh persen memang ada beberapa orang bertamu ke situ semata melepas stres dari lelahnya belajar, meski begitu aku tetap enggak habis pikir kenapa mendirikan tempat bersantai di lokasi terisolasi?" komentar Sangga.
Natasha memegang pergelangan tangan Sangga, menyeruput teh manis hendak diminum oleh pemiliknya.
"Awas panas," ucap Sangga.
"Benar tanggapanmu, kafe tanpa nama yang kita bahas semalam memang belum dibangun dan baru perencanaan saja dan Papa juga setuju dengan sudut pandang mu barusan dalam menanggapi hal ini," kata Pak Aksan.
Sangga manggut-manggut, tinggal menunggu kafe impian Pak Aksan dibangun.
1 tahun kemudian.
Natasha kebingungan memilah gaun cocok tuk dipakai ke acara pesta perayaan pemotongan tali pita yang diselenggarakan hari ini, bentuk menghargai usaha Pak Aksan menyelesaikan pembangunan kafe.
"Biar tambah bersinar, kamu cantik mengenakan gaun warna kuning," tunjuk Sangga.
Perempuan berjubah kimono putih menoleh ke samping, tersenyum cerah mendapati suaminya melingkarkan tangan ke perut sambil bertopang dagu di sebelah pundak.
"Tumben panggilnya aku-kamu, ke mana gaya bahasa gaulnya lo-gue?" tanya Natasha.
"Malu diperhatiin Papa masa udah nikah panggil lo-gue kesannya berasa ke teman biasa," balas Sangga.
"Terus kenapa pilihkan aku gaun kuning? Enggak warna merah, hijau, biru, cokelat?"
"Terlalu mencolok, penampilan kamu bisa mengundang atensi cowok lain, aku enggak mau nanggung rasa cemburu karena kecantikan kamu dinikmati banyak orang."
"Tapi aku kurang suka warna kuning," jawab Natasha.
"Pakai gaun hitam," saran Sangga.
"Kok hitam? Gelap dong."
"Ya udah terserah kamu."
"Bantu pilih dulu, dari tadi aku bingung mau pakai yang mana," rengek Natasha.
"Coba orange."
"Kurang suka."
"It's okay, terserah kamu."
"Baju kamu warna apa?" tanya Natasha.
Sangga melirik kemeja dan celana kain dikenakan. "Hitam-hitam."
"Berarti aku ambil gaun putih," putus Natasha.
"Tambahkan, rias wajahnya natural aja enggak usah ketebalan kayak adukan semen cap tiga roda soalnya aku enggak mau bawa badut," request Sangga.
Natasha terkekeh geli selalu saja ada celetukan Sangga yang mencairkan suasana.
"Tenang aja meskipun tanpa bantuan tukang rias, aku jagonya mempercantik wajah dijamin hasilnya enggak malu-maluin kamu," sahut Natasha.
"Cantiknya harus minimum enggak usah sampe maksimum karena aku mau menikmati pesta dengan tenang," sambung Sangga.
"Iya, sayang."
Sangga menarik Natasha ke pangkuannya, menyambar bibir mungil di depannya sesuka hati.
"Kamu agresif banget berencana makan aku hidup-hidup?"
"Kebetulan perutku laper lihat kamu depan mata, ya udah langsung santap," santai Sangga.
"Ngeselin," Natasha memukul pelan.
"Aku tunggu di meja makan, kamu ganti bajunya agak cepetan kasihan Papa nungguin kita," kata Sangga.
Natasha mengangguk, bergeser duduk di tempat tidur sambil memungut gaun.