‼️Harap Bijak Dalam Memilih Bacaan‼️
Series #3 dan Series #4
Maula Maximillian dan rombongan kedokterannya dibuang ke sebuah desa terpencil di pelosok Spanyol, atas rencana seseorang yang ingin melihatnya hancur.
Desa itu sunyi, terasing, dan tak tersentuh peradaban. Namun di balik keheningan, tersembunyi kengerian yang perlahan bangkit. Warganya tak biasa dan mereka hidup dengan aturan sendiri. Mereka menjamu dengan sopan, lalu mencincang dengan tenang.
Yang datang bukan tamu bagi mereka, melainkan sebuah hidangan lezat.
Bagaimana Maula dan sembilan belas orang lainnya akan bertahan di desa penuh psikopat dan kanibal itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 : Menjemput Teman Gosip
...•••Selamat Membaca•••...
Mobil hitam mereka melaju pelan keluar
dari kompleks perumahan keluarga Sofia. Kabin mobil sunyi sesaat, hanya deru AC dan detak jam digital di dashboard yang terdengar. Tapi tidak lama, suara Maula akhirnya pecah.
“Gila. Gila! Rayden, aku tuh... aku nggak habis pikir ya, itu orang tua model apa sih? Mereka ambil Sofia dari Gaza, rawat dia, terus... terus dijadikan tumbal buat nutup utang budi mereka? Mereka bilang paham agama tapi nindas manusia ampe segitunya.” Maula mulai merepet, tangannya menepuk-nepuk paha sendiri, ekspresi wajahnya penuh ledakan yang tertunda.
Rayden melirik istrinya dengan sudut matanya. Diam dan menikmati karena dia sudah tahu kalau istrinya akan bereaksi seperti itu.
“Dan mereka bilang itu semua 'demi kebaikan'. Demi apa?! Demi ego mereka sendiri, iya! Ray, mereka tuh kayak... kayak Herodes yang bunuh semua bayi buat jaga tahtanya sendiri!”
Rayden nyaris tertawa, tapi ditahan. Bibirnya naik sebelah. Hatinya meleleh setiap kali istrinya marah seperti itu. Bagi Rayden, Maula terlihat imut dan lucu jika sudah marah-marah.
“Dan yang paling konyol ya, Sofia tuh udah jelas kelihatan menderita. Tapi dia diem aja. Karena apa? Karena katanya ‘utang budi’. Aku nggak tahu lagi, Ray. Ini bukan kasih, ini penindasan. Itu bukan keluarga. Itu... itu penjara!”
Rayden menepikan mobil dan menoleh pada Maula. “Udah selesai?”
Maula melotot. “Belum!”
Rayden tergelak. “Tapi aku udah jatuh cinta lagi sama kamu.”
Maula terdiam. Matanya menatap Rayden, terkejut. “Apa?”
Rayden mengulurkan tangan dan menyentuh pipinya dengan lembut. “Aku cinta sama kamu.”
Maula memicingkan mata, tapi senyumnya mencuri-curi muncul di ujung bibir. “Kamu ini benar-benar nggak nyambung ya.”
“Aku cuma jujur,” Rayden berkata sambil menarik wajah istrinya mendekat.
Maula tertawa kecil. “Kamu gombal ya.”
Maula menarik napas dalam, kemudian bersandar ke dada Rayden. Tangannya menggenggam erat jemari Rayden.
“Aku cinta kamu, Rayden. Untung aja kamu nggak kayak Haidar.”
Rayden mengecup keningnya sekali lagi. “Dan aku akan berdiri di belakang kamu, selalu. Termasuk saat kamu merepet kayak petir.”
“Aku akan terus merepet sampai Sofia bebas,” bisik Maula.
“Baiklah,” Rayden mengangguk, senyum hangat tersungging. “Tapi setelah ini, izinkan aku bawa kamu makan dan lalu mencuri satu atau dua jam untuk mencintai kamu, boleh?”
Maula tertawa pelan di dada suaminya. “Kalau kamu traktir dessert cokelat, aku mau.”
Rayden mengangkat alis. “Deal.”
Kemesraan mereka terhenti saat panggilan masuk dari Archer di ponsel Rayden. Dia menjawab panggilan itu dengan cepat.
“Ada apa?” tanya Rayden. Lalu percakapan dimulai dan Rayden mengangguk.
“Oke. Aku dan Maula kebetulan lagi di luar, dua puluh menit lagi kami sampai.” Rayden mematikan panggilan dan menatap Maula.
“Archer dan Vanessa baru sampai di bandara, kita jemput mereka dulu ya.” Maula langsung menaikkan kedua kakinya dan menegakkan tubuh.
“Vanessa di sini? Aaaa akhirnya aku punya teman untuk merepet.” Rayden menautkan alisnya.
“Aku kan ada.” Maula menatap suaminya dengan tajam.
“Kalau merepet sama kamu itu berasa merepet ama tembok. Kamu nggak respon, malah senyum-senyum nggak jelas.” Rayden tertawa lalu mencubit ujung hidung Maula dengan gemas.
Mereka meluncur menuju bandaran, menjemput Archer dan Vanessa yang baru datang dari Moskow. Perjalanan jauh itu mungkin membuat mereka berdua kelelahan.
...***...
Jakarta siang itu terbungkus cahaya keemasan yang jatuh lembut di atas bangunan terminal kedatangan internasional. Langit bersih, nyaris tak berawan. Suasana bandara Soekarno-Hatta tampak padat, tapi tetap teratur. Suara roda koper yang beradu dengan lantai, panggilan penerbangan, dan sapaan keluarga menyatu jadi harmoni khas tempat pertemuan dan perpisahan.
Rayden dan Maula berjalan berdampingan di tengah keramaian.
Tatapan Rayden menelisik tiap wajah yang keluar dari pintu kaca otomatis. Tangannya menggenggam tangan Maula, dan Maula meremas balik dengan lembut.
“Lihat, itu mereka,” bisik Maula sambil menunjuk ke arah sosok jangkung berjas abu-abu dan wanita elegan berambut pirang gelap di sampingnya. Vanessa tampak memesona dalam balutan coat bernuansa camel dan scarf tipis yang melambai tertiup angin.
“Archer!” seru Rayden, langkahnya melebar dengan senyum lebar yang sangat jarang muncul di wajahnya.
Archer melempar senyum tipis dan membuka lengannya. Rayden memeluk kakaknya erat, tubuh mereka sama kokoh, tapi aura Archer lebih tenang, seperti gunung yang diam tapi tajam.
Hubungan Archer dan Rayden sudah membaik, layaknya seorang saudara pada umumnya, tak ada permusuhan apapun lagi. Bahkan sebagian Vindex ada yang dikelola oleh Archer.
“Rasanya sangat jauh ke sini,” ujar Archer pelan.
“Cukup lama ya.” Archer mengangguk.
“Dan akhirnya... Vanessa!” Maula menghampiri wanita itu dan langsung memeluknya dengan antusias. Vanessa membalas dengan hangat, pipinya menyentuh pipi Maula seperti sahabat lama.
“Maula, kamu lebih cantik dari cerita-cerita Rayden,” goda Vanessa. Suaranya lembut dengan aksen Eropa Timur yang masih kentara.
Maula tertawa. “Rayden cerita apa aja, tuh?”
“Dia bilang kamu keras kepala, sensitif, dan bisa nangis sambil maki-maki.” Mereka semua tertawa, bahkan Archer tersenyum lebar mendengarnya.
“Dan kamu Vanessa,” ujar Maula, menautkan lengan di lengan wanita itu, “akhirnya aku punya partner gosip yang elegan.”
Rayden mengangguk dramatis. “Tolong, jangan gabung dan bikin geng anti-Rayden, ya.”
“Akan kami pertimbangkan,” jawab Vanessa dengan anggun, mengedip ke arah Maula.
“Kenapa datang mendadak? Harusnya bilang dulu biar aku berikan penyambutan yang elegan.” Vanessa dan Archer hanya tertawa.
“Sengaja buat kejutan.”
“Mobilnya di luar, ayo,” ajak Rayden sambil mengambil koper Archer. Maula dan Vanessa sudah tertawa sendiri membicarakan makanan Indonesia dan jadwal spa yang “wajib dijalani” sebelum jet lag benar-benar menyerang.
Di parkiran, matahari sudah condong, memantulkan kilau lembut dari kap mobil hitam yang kini terbuka bagasinya. Archer dan Rayden menata koper di belakang, sementara Maula dan Vanessa tetap berbincang di samping mobil.
“Dia kelihatan jauh lebih tenang kalau sama kamu,” bisik Vanessa pelan pada Maula, sambil melirik ke arah Rayden.
“Siapa? Rayden?” tanya Maula, menoleh cepat.
Vanessa mengangguk. “Selama ini dia seperti binatang buas yang sedang dihukum diam, apalagi saat kamu hilang beberapa hari, dia sampai panik hebat memberitahu Archer. Tapi hari ini, dia tersenyum seperti... seperti lelaki yang tahu ke mana ia pulang.”
Maula diam sejenak, lalu menatap suaminya. Rayden sedang berbicara dengan Archer, dan sesekali melirik ke arah Maula. Pandangan mereka bertaut sebentar, dan Maula merasa seperti sedang dihangatkan dari dalam.
“Aku juga seperti itu,” jawab Maula pelan. “Dia membuat dunia yang rumit ini terasa sederhana.”
Mereka pun masuk ke dalam mobil. Vanessa duduk di kursi belakang bersama Maula, dan kedua pria Dragonvich duduk di depan. Perjalanan kembali dimulai, tapi suasana di dalam kabin kini berubah.
Penuh cerita.
Penuh tawa.
Penuh keluarga.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Rayden merasa rumah bukan lagi bangunan. Tapi mobil yang penuh dengan orang-orang ini, orang yang ia cintai, lindungi, dan akhirnya bisa tertawa bersamanya.
Archer juga sudah bisa tertawa lepas dengan Rayden, seolah pertikaian mereka dulu tidak pernah ada.
...•••Bersambung•••...