"kamu pembawa sial tidak pantas menikah dengan anakku" ucap Romlah
"aku sudah mempersiapkan pernikahan ini selama 5 tahun, Bagaimana dengan kluargaku" jawab Ratih
"tenang saja Ratih aku sudah mempersiapkan jodohmu" ucap Narti
dan kemudian munculah seorang pria berambut gondrong seperti orang gila
"diakan orang gila yang suka aku kasih makan, masa aku harus menikah dengan dia" jawab Ratih kesal
dan tanpa Ratih tahu kalau Rojali adalah pendekar no 1 di gunung Galunggung
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RR 11
Sementara itu, Ratih sedang asyik memetik daun teh. Tangannya cekatan menyentuh pucuk-pucuk segar dan memasukkannya ke dalam keranjang yang sudah setengah penuh. Gerakannya lincah, seolah sudah menyatu dengan irama alam.
Tanpa ia sadari, kini dirinya menjadi pusat perhatian.
Ratih memang cantik, tapi hari ini ada yang berbeda dari dirinya. Ada aura tenang dan memikat yang terpancar—sesuatu yang membuat orang tak bisa berhenti menatapnya.
"Ratih... Juragan Karso terus melihat kamu dari tadi," bisik Siti, teman dekatnya.
Juragan Karso adalah anak kedua dari Juragan Harsono—seorang lelaki gemuk yang kabarnya punya empat istri dan entah berapa gundik. Anak pertama Juragan Harsono memilih tinggal di kota dan konon menjadi pejabat penting. Tapi si Karso, lebih sering mondar-mandir di kebun dan suka memilih sendiri gadis-gadis yang menarik perhatiannya.
"Ah, mana mungkin dia tertarik sama aku," Ratih mengangkat bahu, suaranya datar. "Aku ini jelek, dan yang jelas… pembawa sial."
Itu kalimat yang biasa ia ucapkan. Sudah banyak lelaki yang mencoba mendekat, namun kabar buruk tentang dirinya sebagai "anak pembawa sial" terlanjur menyebar luas di kampung.
Dulu, Ratih akan menangis mendengar ucapan itu. Tapi hari ini tidak lagi. Ia sudah melewati titik terendah dalam hidupnya. Ditinggalkan oleh Bagas dan kemudian menikah dengan Rojali—lelaki yang baru dikenalnya tapi langsung berani membelanya—menjadi titik balik baginya.
Kini, Ratih tak peduli lagi dengan omongan orang.
"Tapi hari ini kamu kelihatan beda, loh..." gumam Siti, sambil melirik Ratih penuh rasa ingin tahu.
"Maksudmu?" tanya Ratih sambil tersenyum.
"Aku aja perempuan rasanya pengin lihat kamu terus. Kamu hari ini kelihatan… menarik banget," ucap Siti jujur.
"Masa sih?" Ratih terkekeh kecil.
"Iya! Dari tadi para lelaki terus melirik ke arahmu."
"Heh! Kalian, kerja yang cepat! Jangan ngobrol melulu!" seru suara keras dari arah depan.
Seorang mandor menghampiri Juragan Karso. Mereka tampak berbicara pelan, saling berbisik. Namun, tatapan Karso tak pernah lepas dari sosok Ratih.
Mandor itu akhirnya mengangguk pelan, seolah menyetujui sesuatu.
Satu per satu para pekerja mulai menyerahkan hasil panen ke petugas penimbang. Keranjang-keranjang penuh daun teh berpindah tangan dengan cepat. Namun, ada yang aneh. Ratih yang sudah lama mengantri justru terus dilewati. Tak satu pun petugas menegurnya.
Ia mengernyit, mulai merasa ada yang tidak beres.
"Ratih, kamu dipanggil Pak Karso," ujar Riyad, sang mandor, dengan nada datar.
Ratih menoleh. "Di mana juragannya?"
"Di gudang sana," jawab Riyad sambil menunjuk ke arah bangunan tua di sisi kebun.
"Aku tunggu ditimbang dulu, ya," ucap Ratih, berusaha tetap sopan.
"Timbangnya di sana. Kata Pak Karso, kamu langsung ke gudang," tegas Riyad, kali ini dengan tatapan tajam.
Ia kembali menoleh ke para pekerja, lalu mendesah pelan. Dalam hatinya, muncul bisikan busuk: "Kamu harus bisa memuaskan Juragan Karso, Ratih. Jadi gundiknya saja. Hidupmu akan terjamin..."
Ratih terdiam. Ia menunduk, ragu. Tapi dia bisa apa? Dia harus membawa pulang uang hari ini. Kalau tidak, Narti—ibu tirinya—pasti akan memarahinya habis-habisan. Dan itu berarti bapaknya pun akan ikut jadi pelampiasan.
Dengan napas berat dan keranjang di gendongan, Ratih akhirnya melangkah menuju gudang. Setiap langkahnya terasa berat, namun ada satu hal yang membuat jiwanya tetap kuat.
Ia teringat pada Rojali—suaminya.
Malam tadi adalah malam pertama mereka sebagai suami istri. Malam yang melelahkan, membuat tubuhnya hampir ambruk. Tapi kini entah kenapa, ia merasa berenergi. Bahkan senyum kecil menyelinap di bibirnya saat kenangan itu muncul.
“Apa ini yang disebut jatuh cinta setelah menikah?” batinnya lirih.
Sayangnya, senyum manis yang tersungging di wajah Ratih justru ditafsirkan berbeda oleh Karso dan anak buahnya. Dari kejauhan, mereka memperhatikan gerak-gerik Ratih.
"Bocah itu senang dipanggil juragan, ya," gumam Karso dengan seringai licik.
Mereka tak tahu, senyum itu bukan untuk Karso. Tapi untuk seseorang yang kini jauh di mata, namun dekat di hati.
Dalam benak Karso, semuanya sudah tergambar jelas—Ratih akan menemaninya malam ini. Jika Ratih menolak, dia tak keberatan untuk memaksa. Bagi Karso, Ratih memang cantik, tapi selama ini tak pernah terlalu menarik perhatiannya. Namun hari ini berbeda. Ada sesuatu dari Ratih yang membuat darahnya mendidih.
Soal rumor Ratih sebagai pembawa sial? Karso tak peduli. Baginya, selama ada uang, kesialan bisa dilenyapkan dengan mudah.
Ratih melangkah masuk ke gudang tua itu. Udara di dalam terasa pengap dan pengap, seperti menyimpan sesuatu yang jahat. Doni sudah berdiri di pintu.
“Kang, saya disuruh nimbang di sini?” tanya Ratih sopan, meski ada kegelisahan di matanya.
Doni tidak langsung menjawab. Tatapannya mengarah ke tubuh Ratih dengan sorot tak senonoh. Ratih bisa merasakannya, dan ia mulai merasa sangat risih.
“Doni, udah datang belum?” suara Karso terdengar dari dalam.
“Sudah, Juragan!” jawab Doni lantang, lalu menoleh ke Ratih. “Sana, masuk.”
“Baik, Kang,” gumam Ratih, lalu melangkah masuk dengan keranjang di tangannya.
Begitu ia masuk, terdengar suara keras di belakangnya. Bruk! Pintu ditutup rapat oleh Doni. Ia berjaga di luar, memastikan tak ada yang mengganggu juragannya menikmati "mangsa".
Ratih menunduk. Napasnya memburu. Ia ingin bicara, tapi lidahnya kelu. Namun demi uang—demi bisa membawa pulang sesuatu untuk ayahnya—dia mencoba bersuara.
“Juragan, saya mau nimbang,” ucapnya pelan, suara gemetar.
Asap rokok menari di udara. Bau alkohol tajam menusuk hidung.
“Letakkan keranjangmu... dan kemarilah,” ucap Karso dari sudut ruangan. Nada suaranya berat dan malas disembunyikan.
Ratih menelan ludah. Ketakutan menyergap, tapi ia mencoba tetap tegar. Ia hanya ingin ini cepat selesai. Ia melangkah perlahan, tiap langkahnya terasa seperti berjalan menuju perangkap.
Begitu jarak mereka hanya tersisa dua meter, Ratih berhenti.
“Juragan, saya cuma mau setor hasil panen,” katanya, mencoba tegas.
Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Karso menerjang.
Ratih terkejut dan spontan menghindar. Tubuhnya beringsut ke belakang, hampir tersandung keranjangnya. Mata Karso melebar karena kesal. Rencananya tak berjalan semudah yang ia bayangkan.
“Mau apa, Juragan?” tanya Ratih dengan suara tertahan. Dalam dirinya muncul rasa sesal yang mendalam. Bodoh... kenapa tadi aku masuk ke sini? batinnya menjerit.
“Jangan melawan. Cepat layani aku!” desis Karso dengan nafas memburu. Wajahnya merah padam, matanya liar.
“Kamu ini sudah dicap pembawa sial. Tapi kalau kamu jadi gundikku, hidupmu akan terjamin. Akan ku beri uang, rumah, apa pun yang kamu mau… asal kamu melayani aku!” lanjutnya, nadanya nyaris menggeram.
Dua botol anggur merah telah ia habiskan. Ditambah obat penambah stamina, kini pikirannya hanya dipenuhi oleh nafsu. Tidak ada logika, tidak ada kendali. Hanya hasrat membara dan bayangan Ratih di pelukannya.
ditagih hutang siapin Paramex lah hehe
up lg thor masih kurang ini
bg jali bg jali orangnya bikin happy
sehat selalu