NovelToon NovelToon
CEO DINGIN

CEO DINGIN

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Kaya Raya / Keluarga / Romansa / Dendam Kesumat / Pembantu
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.

Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.

Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11

Mentari pagi menembus jendela besar rumah Aldric. Suara burung dan aroma soto ayam yang dihangatkan kembali memenuhi dapur.

Arlena berdiri dengan celemek, rambutnya dikuncir sederhana.

Di wajahnya tersirat kelelahan… tapi juga ketenangan yang tidak pernah ia rasakan di rumah lamanya.

Di atas meja makan, ia menyusun roti panggang, telur rebus, dan satu teko teh hangat. Semuanya rapi, bersih, dan tertata sempurna.

Langkah kaki terdengar dari tangga.

Aldric, dengan setelan kerja yang belum dikancingkan sepenuhnya, muncul sambil mengusap rambut basahnya.

Ia memandang Arlena, lalu mendekat.

“Pagi.”

“Selamat pagi, Tuan…” Arlena membungkuk sedikit.

Aldric duduk, mencicipi roti panggang lalu mengangguk kecil.

“Rasanya meningkat.”

“Saya belajar dari YouTube semalam…” jawab Arlena pelan, ada rasa bangga yang tertahan.

Aldric menatapnya beberapa detik, lalu berkata,

“Hari ini tidak ada pelatihan. Kamu istirahat. Tapi jangan pergi ke luar sendirian.”

Arlena menoleh. “Kenapa begitu, Tuan?”

Aldric tidak menjawab langsung. Matanya menatap jendela, seperti menyimpan firasat buruk.

“Hanya berjaga-jaga. Dunia di luar sana belum tentu lebih baik dari dalam sini.”

Arlena menggenggam jemarinya sendiri. Ia tak tahu bahwa keluarganya sedang bergerak mencarinya bukan untuk meminta maaf tetapi untuk menjualnya kembali ke kehidupan yang dulu ingin ia hindari.

Pagi itu, setelah sarapan selesai, Aldric berdiri dari kursinya.

Ia menatap Arlena yang sedang membereskan cangkir teh.

“Ganti pakaian. Kamu ikut saya ke kantor hari ini.”

Arlena menoleh dengan ragu.

“Saya? Tapi... untuk apa, Tuan?”

“Kamu pelayan pribadiku, bukan?” jawab Aldric tanpa senyum, lalu berjalan ke arah kamarnya.

Sementara Arlena buru-buru naik ke kamarnya dan mengenakan pakaian rapi yang semalam baru dibelikan Aldric rok selutut dan blus putih sederhana.Ia menarik napas panjang di depan cermin, lalu turun dengan langkah pelan.

Di dalam mobil menuju kantor, Aldric tak banyak bicara. Ia sibuk membuka laptop, membalas email, dan sesekali melirik layar ponselnya.

Namun di dalam pikirannya, ia memproses satu hal:

Laporan yang dikirim anak buahnya tentang latar belakang Arlena.

Nama lengkap: Arlena Yustira Rani.

Lahir di Semarang.

Pendidikan terakhir: SMA Negeri 2.

Diketahui sebagai tulang punggung keluarga sejak usia 8 tahun.

Dibuang oleh keluarga karena menolak perjodohan.

Aldric mengepalkan jemari di atas layar.

Bagaimana bisa seseorang yang penuh luka… masih bisa bersikap lembut seperti Arlena?

Setibanya di kantor, semua mata memandang heran saat Aldric masuk bersama seorang wanita muda yang asing.

Namun tak satu pun berani bertanya.

Di ruang kerjanya, ia menarik kursi untuk Arlena.

“Duduk. Hari ini, kamu belajar seperti seorang sekretaris.”

Arlena gugup. Tapi ia mengangguk.

Sementara di luar sana…

Seseorang sedang menyebarkan foto lama Arlena ke berbagai tempat berusaha mencari jejaknya.

Di ruangan kerja Aldric, suasana tenang dan wangi kopi memenuhi udara.

Aldric membuka beberapa berkas penting, sesekali mencatat sesuatu di tablet miliknya.

“Arlena, buatkan kopi. Hitam, tanpa gula.”

Suara tegas itu membuat Arlena mengangguk cepat.

Ia segera menuju pantry. Tempat yang tak asing, tapi hari ini terasa berbeda.

Saat ia membuka lemari kecil untuk mengambil gelas, suara tajam menusuk telinganya.

“Oh, itu wanita kumuh yang menggoda Tuan Aldric.”

“Cantik enggak, gaya juga enggak. Apa sih yang dia punya?”

“Mungkin… ehem-ehem…”

“Hahaha, ya jelas! Kalau bukan itu, mana mungkin Tuan Aldric tertarik.”

Tawa mereka meledak. Suara sendok yang mereka sengaja jatuhkan, atau suara plastik dikoyak semuanya terasa seperti ejekan.

Arlena menggenggam ujung bajunya. Matanya menunduk, menahan air mata dan rasa malu yang begitu menyesakkan.

Tapi ia tidak menjawab. Ia hanya membuat kopi dengan tangan gemetar dan segera kembali ke ruangan Aldric.

Di dalam ruangan, Aldric memperhatikan wajahnya.

“Kamu menangis?”

Arlena cepat menggeleng. “Tidak, Tuan. Ini kopinya.”

Aldric meletakkan cangkir, menatap Arlena lama…

Lalu asisten pribadinya, Dena, mengetuk pintu dan masuk.

“Tuan, saya ingin menunjukkan sesuatu.” ucap Dena, sambil menyerahkan tablet berisi rekaman CCTV pantry.

Aldric menekan tombol play.

Wajahnya berubah dingin. Sangat dingin.

Rekaman suara para pegawainya jelas terdengar menghina Arlena.

Aldric berdiri. Suaranya tajam, nyaris membeku.

“Panggil mereka ke ruang rapat. Sekarang.”

Ruangan rapat utama dipenuhi para staf. Suasana tegang, sunyi, hanya terdengar detak jarum jam di dinding.

Beberapa staf saling pandang, bingung dan cemas, apalagi saat melihat Aldric masuk dengan tatapan membunuh.

Di belakangnya, berdiri Dena, asisten pribadi, dan Arlena yang menunduk di dekat pintu.

Aldric menatap dua pegawai wanita yang sebelumnya tertangkap dalam rekaman pantry.

"Kalian, berdiri."

Kedua wanita itu saling pandang, wajah mereka mulai pucat.

“Saya tidak peduli siapa kalian, berapa lama kalian bekerja di sini. Tapi satu hal yang tidak akan pernah saya toleransi…”

Aldric mengangkat tabletnya dan memutar cuplikan suara ejekan mereka.

"Oh, wanita itu yang menggoda Tuan Aldric… Cantik tidak, kumuh iya…"

Semua kepala di ruangan menoleh. Beberapa terkejut, yang lain menunduk, malu.

“Kalian saya pecat. Efektif hari ini. Keluar dari kantor saya sekarang juga!”

Suara Aldric membelah ruangan, penuh kemarahan yang terpendam.

Kedua wanita itu mencoba membela diri,

“T-tuan Aldric… kami tidak bermaksud…”

“Cukup!”

Aldric menatap tajam.

“Saya tidak butuh staf yang merendahkan orang lain hanya karena latar belakangnya. Apalagi mengganggu pelayan pribadi saya.”

Arlena terkejut mendengar kalimat itu. Pelayan pribadi… atau lebih?

Kedua wanita itu meninggalkan ruangan dengan wajah merah padam, ditatap dingin oleh pegawai lainnya.

Aldric pun berbalik.

“Mulai sekarang, siapa pun yang tidak bisa menjaga etika… silakan ajukan surat pengunduran diri.”

Suara bergema di ruangan itu. Tak ada satu pun yang berani bersuara.

Setelah semua staf meninggalkan ruang rapat, Aldric dan Arlena berdiri berdua dalam keheningan.

Arlena masih menunduk, tangan gemetar memegang ujung bajunya. Ia ingin bicara… tapi takut salah.

“Kenapa Tuan… membelaku?” tanyanya lirih, hampir seperti bisikan yang takut didengar.

Aldric menoleh perlahan.

Tatapannya tidak lagi dingin seperti tadi saat memecat staf melainkan tenang, namun dalam.

Ia tidak langsung menjawab. Hanya berjalan mendekati Arlena, menatap mata gadis itu yang sembab.

“Kamu pikir aku akan diam melihat orang lain merendahkanmu seperti itu?”

Suara Aldric rendah, tegas, namun sarat perlindungan.

“Tapi saya hanya pelayan, Tuan…”

Arlena mencoba menahan air matanya yang mulai menggenang.

Aldric menunduk sedikit, membuat wajah mereka sejajar.

“Kamu mungkin bukan siapa-siapa bagi mereka. Tapi kamu orang penting di rumahku.”

“Kamu manusia, Arlena. Bukan boneka yang bisa dihina semaunya.”

Diam. Sunyi kembali menyelimuti mereka, tapi kali ini bukan karena takut… melainkan haru.

Arlena menggigit bibirnya, menahan tangis yang memaksa keluar.

Di dalam hatinya yang dulu penuh luka, perlahan… tumbuh sesuatu yang baru:

Perasaan dihargai. Perasaan aman. Dan sesuatu yang belum ia pahami… tapi hangat.

1
Kadek Bella
lanjut thoor
my name is pho: siap kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!