“Pastikan kau sembuh. Aku tidak menikahimu untuk jadi patung di rumah ini. Mulailah terapi. Atau…” Edward menunduk, berbisik di telinganya, “...aku pastikan kau tetap di kamar ini. Terikat. Tanpa busana. Menontonku bercinta dengan wanita lain di tempat tidur kita.”
Laras gemetar, tapi matanya tak lagi takut. “Kau memang sejak awal… tak lebih dari monster.”
Edward menyeringai. “Dan kau adalah istri dari monster itu.”
Laras tahu, Edward tidak pernah mencintainya. Tapi ia juga tahu, pria itu menyimpan rahasia yang lebih gelap dari amarahnya. Ia dinikahi bukan untuk dicintai, tapi untuk dihancurkan perlahan.
Dan yang lebih menyakitkan? Cinta sejatinya, Bayu, mungkin adalah korban dari semua ini.
Konflik, luka batin, dan rahasia yang akan terbuka satu per satu.
Siap masuk ke kisah pernikahan penuh luka, cinta, dan akhir yang tak terduga?
Yuk, baca sekarang: "Dinikahi Untuk Dibenci"!
(Happy ending. Dijamin!)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Kejujuran
Laras masih diam. Bergeming, meski pria itu terus berkutat dengan dirinya sendiri di depan cermin. Namun tatapannya tajam, lurus—seolah ingin menguliti kebenaran dari kulit pria yang kini menguasai hidupnya.
Edward membalikkan tubuh. Dan saat pandangan mereka bersitatap, waktu seperti melambat sejenak.
Ia menangkap tatapan Laras itu—bukan sekadar benci atau jijik. Ada sesuatu yang lebih dalam. Seperti sorot mata orang yang sedang berusaha mengingat, mencocokkan sesuatu, menembus lapisan demi lapisan topengnya.
Langkah Edward mulai mendekat.
"Tatapan itu..." gumamnya dalam hati. "...tatapan yang seolah ingin menembus tirai yang aku gunakan untuk menutupi rahasiaku."
Ia melangkah pelan. Tenang. Tapi dadanya mendesak.
"Andai kau tahu siapa aku sebenarnya, Laras... Kau pasti akan menenggelamkan dirimu ke laut. Menyumpah hari ketika kau menerima lamaran lelaki bernama Edward. Karena aku bukan siapa-siapa... dan sekaligus seseorang yang seharusnya tak pernah kembali dari kematian."
Wajahnya tak berubah. Bahkan senyum tipis itu masih tergantung di bibirnya saat ia berhenti hanya sejengkal dari Laras.
“Kau begitu mengagumiku, hm?” bisiknya, pelan tapi penuh nada ejek. “Sampai-sampai menatapku seakan ingin meraba jiwaku yang paling dalam.”
Laras tak langsung menjawab. Matanya tetap menatap Edward—tak bergeser, tak goyah. Tapi jemarinya mengepal pelan di atas paha. Ia menyadari sesuatu yang aneh… bukan pada ucapan Edward, tapi pada getaran yang muncul dalam dirinya sendiri.
Suara pria itu… kalimat-kalimatnya… Mengapa terasa begitu familiar?
“Aku hanya sedang menghitung berapa lama seorang pria bisa berdiri di depan cermin dan jatuh cinta pada dirinya sendiri,” ujar Laras datar, dingin seperti pisau es. “Sepertinya kau memecahkan rekor hari ini.”
Edward tertawa kecil, namun tawanya lebih mirip decakan puas. Matanya menyipit, memerhatikan Laras seolah sedang mempelajari teka-teki yang belum tuntas.
“Tak perlu menghindar, Laras. Kau bisa menatapku sepuasmu. Suamimu cukup layak untuk dikagumi, bukan?”
“Sayangnya aku buta rasa, sejak dipaksa hidup bersama pria yang hanya bisa mencintai bayangannya sendiri,” balas Laras.
Untuk sesaat, Edward diam. Tak ada lagi senyum di wajahnya. Hanya ada tatapan menyorot—penuh rahasia yang nyaris pecah di permukaan.
Dan Laras, masih dengan dinginnya, berpikir dalam diam: "Ada yang tak beres… Ada sesuatu dari pria ini yang belum kuingat sepenuhnya. Tapi aku akan menemukannya… Bahkan jika harus menelusuri neraka itu sendiri."
***
Klinik Psikos3ksu∆l & Rehabilitasi Wanita, Siang Hari
Ruangan itu terang, hangat, dan nyaman. Aroma lavender samar menyelimuti udara. Di hadapan Laras duduk seorang dokter perempuan berusia sekitar empat puluh tahun, mengenakan blouse putih dan wajah yang tenang, tegas, tapi hangat. Namanya dr. Ratna, seorang ahli terapi s3ksu∆l dan rehabilitasi trauma.
Laras duduk diam di sofa. Tangannya bersedekap, bahunya kaku. Matanya menatap lurus ke depan, tak benar-benar memandang sang dokter.
Dr. Ratna mengangguk pelan, mengamati postur tubuh Laras. “Kita bisa mulai perlahan. Tak perlu terburu-buru. Kamu boleh cerita apa saja hari ini, atau diam juga tidak apa-apa.”
Laras menarik napas. Lalu mengucapkannya datar.
“Aku tidak ingin sembuh.”
Dr. Ratna mengangkat alis, tapi tetap tenang. “Boleh aku tahu kenapa?”
“Apa gunanya?” Suara Laras lirih, tapi sarat ketegangan. “Untuk siapa aku sembuh? Untuk pria yang hanya ingin menggunakan tubuhku?”
Ia mengalihkan pandangan ke jendela. Jemarinya meremas kain rok yang ia pakai.
“Aku tidak menikah karena cinta, Dok. Aku... dipaksa. Diancam. Pernikahan ini… adalah hukuman bagiku.”
Hening beberapa detik. Dr. Ratna tak memotong. Ia biarkan kata-kata itu menggantung, mengendap.
Laras menunduk, melanjutkan, lebih pelan, lebih getir.
“Suamiku... hanya ingin aku bisa melayaninya. Obat. Terapi. Semua ini bukan demi kesembuhan. Tapi demi tubuhku menjadi fungsional baginya. Itu saja.”
Dr. Ratna mencondongkan tubuh sedikit ke depan. Nada suaranya lembut, tapi tak kehilangan ketegasan.
“Laras… aku percaya tubuhmu milikmu sepenuhnya. Bukan milik siapa pun. Bukan milik suamimu. Dan bukan milik masa lalu yang menakutkan.”
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan:
“Namun menolak sembuh bukanlah kemenangan atas mereka yang menyakitimu. Itu hanya membuat tubuhmu terus terpenjara oleh luka. Vaginismus bukan hanya masalah fisik… ini bisa memicu nyeri kronis, kelelahan, gangguan pencernaan, bahkan infeksi berulang karena ketegangan otot yang terus-menerus.”
Laras terdiam. Suara itu mulai menyentuh lapisan dalam dirinya yang ia coba tutupi.
“Laras…” lanjut dr. Ratna, lembut, “aku di sini bukan untuk menilai. Dan apa pun yang kau katakan di ruangan ini… tidak akan keluar ke mana-mana. Bahkan suamimu pun tak akan tahu, kecuali kau sendiri yang ingin menyampaikannya. Aku terikat pada sumpah dan etika profesiku. Dan hatiku juga manusia.”
Laras menutup matanya. Bahunya mulai bergetar perlahan, tapi tak ada tangis keluar.
“Aku hanya ingin tubuhku jadi milikku lagi...” bisiknya. “Aku ingin berhenti merasa kotor… tapi aku takut. Terlalu takut.”
Dr. Ratna mendekat, menempatkan telapak tangannya di atas tangan Laras.
“Kita akan mulai dari situ, ya? Dari membuatmu merasa aman… dalam tubuhmu sendiri.”
Dr. Ratna menutup buku catatannya perlahan. Tatapannya masih tertuju pada Laras yang duduk mematung dengan mata berkaca-kaca.
"Apa kau bersedia aku bicara dengan suamimu soal kondisi ini?" tanya sang dokter hati-hati.
Laras menoleh perlahan. Diam. Lalu mengangguk pelan.
"Aku ingin dia tahu... bahwa semua ini... bukan salahku," ucap Laras nyaris berbisik. "Dan... aku juga ingin bilang satu hal lagi."
Dr. Ratna menunggu, tak memotong.
"Dia... dia..." suara Laras tercekat, lalu ia memaksakan kalimat itu keluar, "...dia sengaja tidur dengan wanita lain yang masih perawan. Di malam pertama pernikahan kami. Lalu...tidur dengan wanita penghibur. Di kamar kami. Di depan mataku. Dia tahu aku ada di sana. Bahkan sengaja melakukannya...di depan mataku."
Dr. Ratna terdiam. Sejenak, napasnya tertahan. Ia menghela pelan, menguatkan ekspresi netralnya meski sorot matanya berubah. Dalam hatinya, ia sudah tahu: ini lebih dari sekadar gangguan seksual—ini trauma berat.
Beberapa saat kemudian — Ruang Konsultasi, Bersama Edward
Edward duduk santai, kaki bersilang, dengan ekspresi sedikit terganggu. “Bagaimana perkembangan istri saya?” tanyanya singkat.
Dr. Ratna membuka file tipis di pangkuannya. Ia memandang Edward dengan tenang, tetapi nadanya sedikit lebih tegas dari sebelumnya.
“Kasus istri Anda tergolong kompleks. Proses penyembuhannya akan memerlukan waktu yang panjang... dan dukungan penuh dari lingkungan terdekat—terutama Anda sebagai pasangan sahnya.”
Edward mengangguk malas. “Dukungan seperti apa?”
“Yang paling penting adalah tidak adanya tekanan, baik secara mental maupun fisik. Termasuk memaksanya melihat atau terlibat dalam aktivitas intim di atas ranjang—yang seharusnya lahir dari kerelaan, bukan paksaan—antara suami dan istri.”
Alis Edward terangkat sedikit. Tapi ia tak berkomentar.
Dr. Ratna melanjutkan dengan nada datar tapi menembus.
“Saya mendapat informasi bahwa Anda melakukan aktivitas intim di atas ranjang dengan wanita lain, di depan istri Anda sendiri.”
Tatapan Edward menegang. Rahangnya mengeras.
“Kalau itu bagian dari kehidupan pribadi saya, rasanya—”
“—tidak, Pak Edward.” Suara dr. Ratna memotong tajam, tapi tetap profesional. “Itu bagian dari trauma pasien saya.”
Hening.
“Saya hanya ingin Anda tahu,” lanjutnya pelan, “tindakan tersebut bukan hanya bentuk pelecehan emosional... tapi juga menciptakan luka psikologis yang dalam. Dan luka itu... bisa menjadi penghalang terbesar untuk kesembuhannya.”
Ia menutup file pelan.
“Jika Anda benar-benar menginginkan Laras sembuh, Anda harus mulai dengan tidak menjadi bagian dari luka itu.”
Edward memalingkan wajah, rahangnya masih mengeras. Tak menjawab.
Dr. Ratna menambahkan satu kalimat terakhir:
“Penyembuhan bukan hanya soal fisik. Tapi soal rasa aman. Dan jika Anda tak bisa memberikannya... maka proses ini mungkin tak akan pernah berhasil.”
Parkiran Klinik, Beberapa Menit Setelah Konsultasi
Edward membuka pintu mobil dengan kasar. Suara dentuman pintu membuat beberapa orang menoleh. Laras menyusul perlahan, wajahnya kosong, langkahnya hati-hati.
Begitu masuk, Edward menyalakan mesin tanpa bicara. Tangannya menggenggam setir kuat-kuat, lalu berkata dingin, “Kau cerita apa saja ke dokter itu?”
Laras menoleh, pelan. “Yang perlu dia tahu.”
“Termasuk soal—”
...🔸🔸🔸 ...
...Tak semua perasaan bisa diungkap, tak semua luka bisa terlihat. Luka hati tak kasat, lebih dalam dari luka fisik yang terlihat. ...
..."Dhanaa724"...
...🍁💦🍁...
.
To be continued
aku berharap petugas RS yg diancam sherin akan menolong laras secara diam" memberikan hasil tes kesehatan yg asli karena gak tahan melihat kegaduhan yg terjadi tidak ada habisnya terutama kasihan pada laras ternyata sherin gunakan hasil tes palsu itu untuk berbuat jahat lebih jauh ..semoga penyamaran edward juga terungkap bukankah dia adalah edwin yg OP kabur dari tanggung jawab bayu & mengincar laras dia pikir bakal menang tp dia salah
Laras orang baik pasti akan ada orang yang menolongnya tanpa ia minta.
semangat lanjut kak sehat selalu 🤲
bagaimana bisa orang tuanya malah mendukung Sherin menjatuhkannya?
sherin kira akan hidup tenang kalau semua hasil dari merebut & memaksa, salah kamu sherin kamu akan hidup tersiksa seperti di neraka