Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Siang itu, panas tubuh Puri kembali naik drastis. Ia merasa lemas, tubuhnya menggigil meski matahari bersinar terik di luar.
Karan yang masih berada di rumah langsung panik saat menyentuh kening Puri dan panasnya semakin tak wajar.
Tanpa pikir panjang, ia segera menggendong Puri dan membawanya ke rumah sakit terdekat.
Sesampainya di UGD, dokter dan perawat langsung melakukan pemeriksaan.
Setelah beberapa menit, dokter keluar dan menatap Karan dengan serius.
“Pasien menunjukkan gejala demam berdarah. Trombositnya sudah turun dan perlu pengawasan ketat. Kami akan rawat inap untuk observasi dan penanganan lebih lanjut,"
Karan mengangguk, wajahnya tegang tapi tetap tenang.
“Baik, Dok. Tolong lakukan yang terbaik untuk dia.”
Setelah Puri dipindahkan ke ruang perawatan, Karan duduk di sisi ranjang dan menggenggam tangan Puri yang masih lemah.
Ia lalu mengambil ponselnya dan menelepon mama Puri.
“Halo, Bu… Maaf mengganggu. Puri tadi demam tinggi lagi, jadi saya langsung bawa ke rumah sakit. Kata dokter, dia kena DB.”
“Ya Allah… gimana keadaannya sekarang?” tanya mama dengan nada panik.
“Sudah ditangani, Bu. Tapi harus rawat inap. Saya minta maaf, tapi… biar saya saja yang jaga Puri. Nggak usah repot-repot datang sekarang. Saya pastikan dia nggak sendirian.”
Mama terdiam sejenak di seberang. Suaranya kemudian terdengar lebih tenang meski masih khawatir.
“Kamu yakin nggak merepotkan?” tanya Mama.
“Sama sekali nggak, Bu. Saya ingin di sini untuk Puri.”
Setelah menutup telepon, Karan kembali duduk di samping ranjang.
Ia mengusap rambut Puri perlahan dan berbisik lirih,
“Sembuh ya… aku di sini.”
Malam telah larut. Lampu ruangan rumah sakit hanya menyala temaram, menebarkan cahaya lembut yang membuat suasana semakin hening.
Di balik jendela, langit gelap tanpa bintang, hanya suara samar kendaraan dari kejauhan yang terdengar.
Karan duduk di kursi plastik di samping ranjang Puri. Tubuhnya sedikit condong ke depan, matanya lekat memandangi wajah Puri yang terlelap.
Tangan Puri masih terpasang selang infus, dan pipinya tampak sedikit pucat. Tapi napasnya kini lebih teratur, damai.
Entah kenapa, tiap kali ia dekat dengan Puri… hatinya terasa hangat.
Ada kedamaian yang tak pernah ia temukan di tempat lain.
Karan mengangkat tangannya perlahan, membelai rambut Puri yang terurai di sisi bantal.
“Kasihan kamu…” bisiknya pelan.
“Kalau bisa, sakitnya aku aja yang gantiin.”
Ia menarik napas dalam, mencoba meredam perasaan yang tak pernah ia rencanakan.
Tapi malam itu, semuanya terasa begitu nyata. Puri—dengan kelembutannya, kehangatannya, kekuatannya—diam-diam telah mengisi ruang kosong di hatinya.
Tak lama kemudian, Puri perlahan membuka mata.
Matanya masih sayu, tapi cukup jelas untuk menangkap sosok yang duduk tak jauh darinya.
“Mas… Karan?” suaranya lirih, nyaris berbisik.
Karan langsung bangkit dari duduknya, mendekat ke sisi ranjang.
“Kamu bangun? Gimana rasanya?”
Puri mengangguk lemah. “Sedikit pusing… tapi mendingan.”
Karan tersenyum lega. “Syukurlah… kamu sempat bikin aku panik, tahu.”
Mereka saling menatap dalam diam. Ada ketenangan di mata Karan, dan rasa aman yang tak bisa dijelaskan di mata Puri.
“Mas Karan… dari tadi di sini?”
“Dari tadi… dan sampai kamu sembuh, aku nggak akan ke mana-mana,” jawab Karan mantap.
Dan malam itu, di ruang rumah sakit yang sederhana, perasaan yang belum terucap mulai menjelma dalam diam.
Karan menggenggam tangan Puri. “Puri… boleh aku tanya sesuatu?”
Puri menatapnya, matanya sayu tapi jernih. “Apa, Mas?”
“Apakah kamu sudah punya kekasih?”
Puri menggeleng pelan. “Nggak… nggak punya.”
Karan menarik napas dalam. Ini saatnya.
“Kalau begitu… maukah kamu menjadi kekasihku?”
Puri membelalakkan matanya. Untuk sesaat, ia pikir ia salah dengar.
“Mas Karan apa nggak salah? Kita baru kenal dan aku hanya wanita biasa. Aku tidak seperti wanita cantik yang ada di luar sana,"
Karan tersenyum, menatapnya dengan kelembutan yang tak dibuat-buat.
“Nggak salah, Pur. Justru kamu yang luar biasa. Dengan segala kesederhanaan kamu. Kamu bikin aku merasa cukup… buat pertama kalinya dalam hidupku.”
Air mata mengalir di pipi Puri. Bukan karena sedih, tapi karena hatinya yang lama tertutup perlahan terbuka. Ia menggenggam tangan Karan lebih erat.
“Kalau Mas Karan nggak keberatan… aku mau.”
Dan malam itu, dua hati yang sempat ragu akhirnya saling menemukan.
Karan memeluk tubuh Puri yang saat ini sudah tidak demam lagi
******
Keesokan paginya, di tempat lain Yudha datang ke rumah Puri dengan membawa setangkai bunga mawar.
Dengan hati yang penuh harap, ia mengetuk pintu, berharap Puri yang akan membukanya.
Namun, yang muncul adalah Mama yang baru saja bangun tidur.
"Tante, Puri ada?" tanya Yudha sambil menyembunyikan bunga mawar nya.
"Maaf, Puri sedang dirawat di rumah sakit," ujar Mama dengan lembut.
"Karan yang menjaganya sekarang."
Mendengar nama Karan, hati Yudha seketika terasa perih.
Tanpa berkata banyak, ia segera berpamitan, lalu bergegas menuju rumah sakit.
Dalam hati, ia telah mantap dimana hari ini, ia akan mengungkapkan perasaannya kepada Puri.
Sesampainya di rumah sakit, Yudha melangkah cepat menuju ruang rawat Puri.
Jantungnya berdebar kencang, bukan hanya karena khawatir, tapi juga karena tekad yang ia bawa.
Di depan pintu kamar, ia melihat Karan duduk di kursi, tertunduk, tampak lelah tapi tetap setia menjaga.
Yudha menahan napas sejenak, lalu mengetuk pintu pelan.
Karan menoleh, sedikit terkejut melihat kedatangan Yudha
"Puri lagi tidur," kata Karan singkat, berdiri dan memberi jalan.
Yudha mengangguk dan melangkah masuk, mendekati tempat tidur Puri.
Wajah Puri tampak pucat, tapi tetap cantik seperti biasanya.
Rambutnya tergerai rapi di bantal, dan selimut menutupi tubuhnya hingga dada.
Dengan hati-hati, Yudha meletakkan mawar merah di meja samping tempat tidur.
Lalu ia duduk perlahan, menatap wajah Puri dengan perasaan yang campur aduk—cemas, rindu, dan cinta yang tak pernah padam.
"Puri... aku tahu mungkin ini bukan waktu yang tepat," bisiknya, suara hampir tak terdengar.
"Tapi aku nggak bisa terus diam. Aku sayang kamu... dari dulu, sampai sekarang."
Karan yang berdiri di luar pintu, tanpa sengaja mendengar semuanya. Wajahnya berubah—antara terkejut dan bingung.
Tiba-tiba, kelopak mata Puri bergerak pelan. Ia membuka matanya dan menatap sekeliling, hingga pandangannya jatuh pada sosok Yudha yang duduk di samping tempat tidurnya.
Sesaat, matanya membesar, terkejut sekaligus bingung.
"Yudha... kamu di sini?" suaranya lemah, namun jelas.
Yudha tersenyum tipis, matanya penuh perasaan. Ia menggenggam tangan Puri perlahan, hangat dan lembut.
"Iya, Pur... Aku datang karena aku nggak bisa terus menahan ini," ucapnya.
"Aku sayang kamu. Aku nggak pernah berhenti. Setiap hari, aku berharap punya kesempatan buat bilang ini langsung ke kamu."
Puri terdiam. Tatapannya tertuju pada wajah Yudha, tapi pikirannya melayang entah ke mana.
Waktu seakan berhenti sejenak. Lalu, dengan napas berat, ia mengalihkan pandangannya. Ia tidak menyangka jika Yudha mencintainya.
"Maafkan aku, Yud.." katanya lirih, nyaris seperti bisikan.
"Sekarang... aku sudah bersama dengan Mas Karan."
Yudha terdiam. Tubuhnya membeku, seakan tak percaya dengan apa yang baru ia dengar.
"Semalam... Mas Karan mengungkapkan semuanya. Perasaannya... tentang aku, tentang kami. Aku tahu ini mendadak, tapi hatiku memilih dia,," lanjut Puri dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Yudha menunduk. Genggaman tangannya perlahan terlepas dari tangan Puri.
Dadanya terasa sesak, seperti ada beban yang tiba-tiba menghimpit begitu kuat.
Kata-kata Puri menggema di kepalanya, berulang-ulang.
"Aku sudah bersama dengan Mas Karan.”
Sesaat, ia mencoba tersenyum. Tapi senyum itu tak sampai ke matanya.
"Jadi... selama ini aku hanya datang terlambat, ya?" tanyanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Puri tak menjawab. Ia hanya menatap Yudha dengan mata yang penuh rasa bersalah.
Yudha menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam gejolak di dadanya. Ia lalu berdiri, mengambil satu langkah mundur.
"Kalau begitu, aku cuma mau bilang satu hal lagi," ucapnya tegas, meski suaranya bergetar.
"Aku tulus sayang sama kamu, Puri. Dan meskipun akhirnya bukan aku yang kamu pilih, aku tetap doain kamu bahagia... bersama siapa pun. Aku selalu ada disini jika suatu saat kamu putus dengan Karan,"
Air mata Puri jatuh tanpa bisa ditahan. Yudha tersenyum sekali lagi, lalu berbalik dan berjalan keluar kamar—meninggalkan cinta yang tak sempat tumbuh kembali.
Setelah Yudha meninggalkan kamar Puri, ia berjalan keluar dengan langkah cepat, berusaha menenangkan dirinya.
Namun, langkahnya terhenti di depan pintu keluar, saat ia melihat sosok Karan yang berdiri di halaman rumah sakit, menunggu.
Karan menatap Yudha sejenak, seolah tahu apa yang akan terjadi.
Tanpa berkata sepatah kata pun, Yudha berjalan kearahnya dengan penuh amarah.
Sebuah kekesalan yang sudah terpendam begitu lama, akhirnya meledak.
Tanpa memberi peringatan, Yudha melayangkan pukulannya ke wajah Karan.
"Kenapa selalu kamu yang merebut apa yang aku punya?!" teriaknya, suaranya penuh dengan rasa sakit dan frustrasi.
Karan terkejut, tapi ia tidak membalas. Ia menghindar dari pukulan Yudha, lalu memegangi wajahnya yang mulai memerah.
"Yudha, sabar..." Karan mencoba menenangkan, meskipun nada suaranya tetap tenang.
"Aku nggak ingin ini terjadi seperti ini. Aku nggak ingin kamu terluka, aku juga nggak ingin dia terluka."
Yudha berdiri dengan napas terengah-engah, matanya penuh kemarahan.
"Lalu kenapa? Kenapa kamu harus ada di sini? Kenapa kamu yang selalu hadir saat aku merasa aku sudah hampir punya kesempatan?"
Karan menatap Yudha dengan tatapan serius, namun penuh pengertian.
"Aku nggak pernah berniat buat merebut apapun dari kamu. Tapi perasaan itu nggak bisa dipaksakan, Yudha. Puri juga punya perasaan sendiri. Dan... kamu juga harus menerima kenyataan itu."
Yudha menahan napas, melihat Karan yang kali ini berbicara dengan ketulusan. Ia ingin sekali membenci Karan, tapi hatinya juga tahu—Karan bukanlah orang yang salah dalam hal ini.
"Jadi, ini semua salah aku?" Yudha bertanya, suara masih penuh dengan emosi.
Karan menggelengkan kepala, perlahan.
"Bukan salah siapa-siapa. Tapi kita berdua... harus berhenti menyalahkan satu sama lain. Perasaan Puri itu bukan sesuatu yang bisa kita kontrol."
Yudha terdiam. Ia memandang Karan sejenak, lalu menundukkan kepalanya. Perasaannya campur aduk—antara marah, kecewa, dan bingung.
Tapi di dalam hatinya, ia tahu satu hal kalau ini bukanlah akhir dari cerita mereka.