Sebuah desa terpencil di Jawa Tengah berubah menjadi ladang teror setelah tambang batu bara ilegal tanpa sengaja membebaskan roh jahat yang telah tersegel berabad-abad. Nyai Rante Mayit, seorang dukun kelam yang dulu dibunuh karena praktik korban bayi, bangkit kembali sebagai makhluk setengah manusia, setengah iblis. Dengan kekuatan untuk mengendalikan roh-roh terperangkap, ia menebar kutukan dan mengancam menyatukan dunia manusia dengan alam arwah dalam kekacauan abadi.
Dikirim untuk menghentikan bencana supranatural ini, Mystic Guard—tim pahlawan dengan keterikatan mistis—harus menghadapi bukan hanya teror makhluk gaib dan jiwa-jiwa gentayangan, tetapi juga dosa masa lalu mereka sendiri. Dalam kegelapan tambang, batas antara kenyataan dan dunia gaib makin kabur.
Pertarungan mereka bukan sekadar soal menang atau kalah—melainkan soal siapa yang sanggup menghadapi dirinya sendiri… sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Strategi serangan balik
Asvara terhuyung mundur, keringat dingin membasahi pelipisnya. Nafasnya berat seperti baru diseret dari jurang mimpi buruk. Di sekelilingnya, api unggun yang tadinya hangat di tengah kuil kini seperti padam oleh bayang-bayang yang mereka saksikan.
Sasmita berdiri, ekspresinya tegang. "Apa yang barusan kau... lihat?"
Asvara hanya mengangguk pelan, menoleh ke arah Ningsih yang kini menunduk, seolah tubuhnya terlalu berat menanggung nama keluarganya.
"Raras Sukesi," jawab Asvara dengan suara parau. "Dia... bukan hanya iblis. Dia adalah luka yang ditolak zaman."
Yama menggigit bibirnya. Ia duduk di pinggiran kuil, menyalakan satu tabung rokok herbal buatannya sendiri. "Gila. Itu bukan sekadar ritual. Itu... persekutuan penuh. Dia bahkan rela dikutuk asal bisa lindungi rakyatnya."
"Dan mereka menguburnya hidup-hidup setelah mengkhianatinya." gumam Raga sambil menunduk. Tangannya menggenggam neck gitar kosong miliknya yang kini tak berbentuk. Matanya sayu, namun dalam.
"Lo semua tahu nggak," lanjut Raga dengan suara berat, "gue pernah main di satu desa yang mirip kayak tempat dia dikubur. Waktu itu semua alat musik gue rusak tanpa sebab. Sekarang gue ngerti... tempat itu dilaknat bukan karena dukun, tapi karena dosa sejarah yang nggak pernah minta maaf."
Sasmita mengepal. "Dan sekarang dia kembali bukan cuma karena ritual. Tapi karena dunia masih sama kotornya seperti dulu. Masih penuh pengkhianatan, ketamakan, dan pembantaian diam-diam."
Semua terdiam.
Taki berdiri, menatap api unggun yang tinggal bara. Topengnya kembali menutupi wajahnya, tapi suaranya tetap tenang dan mantap.
"Ini bukan cuma soal menghentikan Nyai Rante Mayit. Tapi soal menebus apa yang dilakukan oleh generasi-generasi manusia yang menjadikannya iblis."
Ia menoleh ke mereka semua.
"Kalau kita mau menyegel dia... kita harus paham bahwa ini bukan pertempuran lawan jahat. Ini adalah permintaan maaf. Dalam bentuk darah, sihir, dan pengorbanan."
Asvara mengangguk. "Dan mungkin... hanya kita yang bisa melakukannya."
Ningsih mengangkat kepalanya perlahan. Tatapannya masih basah, tapi jauh lebih kuat dari sebelumnya. Ia menatap kelima orang yang duduk dan berdiri di sekelilingnya—makhluk-makhluk terluka yang memilih bertarung daripada menyerah.
"Aku bawa kalian ke sini bukan untuk jadi pahlawan," katanya pelan, "tapi karena kalian satu-satunya yang mungkin bisa mengakhiri kutukan darah ini."
Tak ada yang membalas.
Tapi di mata mereka, api yang padam tadi kini menyala lagi.
Dan dari kejauhan, dalam diam, hutan Borneo pun seolah ikut mendengarkan.
Taki berdiri di tengah kuil, satu-satunya suara yang terdengar hanyalah helaan nafas lelah dari mereka yang baru saja menyingkap sejarah iblis. Ia mengangkat tangan, dan dari balik jubahnya, muncul pena emas panjang yang berkilau redup di bawah sinar remang-remang hutan.
Ia menggenggamnya seperti komando, lalu menyentuh ujung pena ke udara kosong.
"Scriptura Prima."
Bersamaan dengan mantranya, udara di depan mereka bergetar. Lalu sebuah layar hologram besar terbuka, melingkar seperti kanvas transparan di tengah ruangan. Garis-garis bercahaya menari, membentuk visual-visual kilas balik dari semua pertempuran yang telah mereka alami.
"Kita pernah menghadapi Bondowoso. Tapi tidak dengan kepala dingin." Suara Taki berat, datar, namun penuh kendali. "Waktu itu kita cuma bertahan. Sekarang, kita serang balik."
Gambar pertama muncul—Bondowoso saat bangkit dari tanah, tubuh hitam kekar dengan tanduk seperti akar mati, tawa rendahnya menggema.
Taki mengetukkan pena ke bagian dada Bondowoso. "Ini." Sebuah tanda merah muncul. "Pusat energi astralnya berada di dada, bukan kepala. Ini anomali dari jenis Genderuwo biasa."
Yama bersandar ke dinding. "Dada? Seharusnya itu berarti jantung kutukannya masih aktif. Kalau bisa dipecahkan..."
"Dia kehilangan manifestasi." sambung Taki. "Tapi tidak akan mati, hanya melemah. Kita butuh waktu untuk menyegel ulang tubuhnya setelah itu."
Layar berubah—tampak formasi para Pawang Tanah Merah. Lima arah berbeda, mereka menyusun posisi simetris saat memanggil Bondowoso.
"Kalau kita mau mengalahkan raja iblis ini, kita harus ganggu para pemanggilnya."
Asvara melipat tangan. "Mereka seperti tiang-tiang ritual."
"Tepat," Taki mengangguk. Pena emasnya menandai formasi pentagram tanah merah itu. "Kita pecah lima arah, masing-masing hadapi satu pawang. Tapi tetap terhubung."
Ia menggambar pola baru—saling berhubungan seperti roda, dengan Ningsih di tengah.
"Ningsih akan berada di pusat formasi. Kita buat ikatan pelindung darinya. Dia adalah jangkar spiritual untuk pengusiran."
Raga bersiul pelan. "Kita kayak pasukan penjaga batu suci, ya."
Sasmita hanya menatap tajam ke hologram. "Kalau satu dari kita tumbang, formasi jebol."
"Makanya kita harus tahu kekuatan masing-masing," kata Taki. "Dan siapa cocok hadapi siapa."
Ia mengubah layar, mencocokkan data dari pertarungan terakhir:
Yama cocok melawan Pawang yang ahli racun—karena ia bisa lawan dengan sintesis sebaliknya.
Sasmita melawan Pawang Pemanggil arwah bersenjata jarak jauh, karena kecepatan dan presisinya.
Asvara melawan Pawang yang punya akar-akar pengikat, duel sihir alami.
Raga dihadapkan pada Pawang Pengubah Suara Realita, agar bisa melawan dengan gelombang musik sonik.
Dan Taki sendiri akan menghadapi Pawang Pengubah Realitas Ritual, karena hanya Pena Keabadian yang bisa mematahkan skrip dunia lama.
"Kita hanya punya satu peluang," kata Taki pelan. "Begitu kita hancurkan tiang-tiang pemanggil itu... Bondowoso akan kehilangan koneksi astralnya. Di saat itulah, kita semua menyerang bersama."
Hening.
Lalu, Asvara bicara pelan, "Dan bagaimana kalau gagal?"
Taki tak menjawab langsung. Pena emasnya memudar, layar hologram menghilang pelan.
Ia menatap mereka semua satu per satu, lalu berkata:
"Kalau gagal... dunia bukan cuma kehilangan desa. Dunia kehilangan harapan."