Deonall Argadewantara—atau yang lebih dikenal dengan Deon—adalah definisi sempurna dari cowok tengil yang menyebalkan. Lahir dari keluarga kaya raya, hidupnya selalu dipenuhi kemewahan, tanpa pernah perlu mengkhawatirkan apa pun. Sombong? Pasti. Banyak tingkah? Jelas. Tapi di balik sikapnya yang arogan dan menyebalkan, ada satu hal yang tak pernah ia duga: keluarganya akhirnya bosan dengan kelakuannya.
Sebagai hukuman, Deon dipaksa bekerja sebagai anak magang di perusahaan milik keluarganya sendiri, tanpa ada seorang pun yang tahu bahwa dia adalah pewaris sah dari perusahaan tersebut. Dari yang biasanya hanya duduk santai di mobil mewah, kini ia harus merasakan repotnya jadi bawahan. Dari yang biasanya tinggal minta, kini harus berusaha sendiri.
Di tempat kerja, Deon bertemu dengan berbagai macam orang yang membuatnya naik darah. Ada atasan yang galak, rekan kerja yang tak peduli dengan status sosialnya, hingga seorang gadis yang tampaknya menikmati setiap kesialan yang menimpanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mycake, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deonall Story
Deon berdiri di depan sebuah rumah yang begitu kontras dengan tempat tinggalnya yang dulu. Jika rumah lamanya megah bak istana, maka yang ini… hanya sepetak tempat tinggal sederhana dengan dua lantai yang nyaris tak memiliki keistimewaan apa pun.
Dan sialnya, di sinilah dia harus tinggal sekarang.
Ayahnya benar-benar totalitas dalam membuatnya menderita. Demi memastikan semua orang percaya bahwa Deon bukan bagian dari keluarga Argadewantara, pria itu sampai menyewakan rumah mungil ini untuknya.
Sebuah kamar di lantai dua di kawasan pemukiman padat, dengan satu-satunya hiburan hanyalah pemandangan kota di malam hari.
Deon menghela napas panjang. Dengan langkah berat, dia mendorong pagar besi kecil yang berderit pelan, lalu berjalan menaiki tangga menuju lantai dua.
Sesampainya di depan pintu kamarnya, dia tidak langsung masuk. Tangannya tetap menggenggam gagang pintu, tapi dia hanya diam.
Matanya menatap pintu kayu di depannya dengan pandangan kosong. Hidupnya benar-benar berubah.
Sial.
Alih-alih masuk, dia malah menghela napas sekali lagi dan berbalik. Dia berjalan menuju bangku panjang yang terbuat dari kayu, tepat di balkon kecil tempat orang-orang biasanya duduk bersantai.
Tanpa berpikir panjang, dia menjatuhkan tubuhnya di sana. Satu tangan diletakkan di atas kepala, sementara tatapannya mengarah lurus ke langit.
Di atas sana, bintang-bintang bersinar tenang, kontras dengan suara kendaraan yang berlalu lalang di bawahnya.
Deon mendengus kecil. Dulu, dia selalu melihat bintang dari balik jendela besar kamarnya yang nyaman. Sekarang?
Sekarang dia hanya seorang anak magang yang tinggal di sudut kota dengan balkon kecil dan bangku kayu.
Sungguh ironis.
Deon masih menatap langit, mencoba menikmati malam yang terasa begitu asing baginya. Angin malam berembus pelan, membawa suara hiruk-pikuk kota yang terus hidup meski hari sudah larut.
Dulu, hidupnya seperti bintang-bintang itu. Bersinar di atas, jauh dari kekacauan di bawah.
Sekarang? Dia justru menjadi bagian dari kekacauan itu.
Deon mendesah, lalu bangkit duduk sambil mengusap wajahnya kasar. “Sial…” gumamnya.
Dia melirik ke dalam kamarnya yang belum dimasuki.
Entah apa yang menunggunya di dalam sana.
Tapi sebelum sempat berdiri, suara langkah kaki terdengar di tangga.
Tap. Tap. Tap.
Deon menoleh cepat. Dalam remang cahaya lampu jalan, seseorang muncul di ujung tangga.
Seorang cewek.
Cewek yang sama yang tadi siang mematikan rokoknya di atap gedung.
Deon mengerjapkan mata, nyaris tak percaya. Apa ini mimpi? Kenapa cewek ini bisa ada di sini?
Sementara Deon masih berusaha mencerna situasi, cewek itu hanya berdiri di anak tangga terakhir, menyesap kopi kalengnya dengan santai.
Lalu dengan ekspresi setenang batu, dia membuka suara.
“Lo ngikutin gue, ya?”
Deon nyaris tersedak udara. “APA?! Gue yang ngikutin lo?! Lo yang muncul tiba-tiba di sini!”
Cewek itu menaikkan alis, lalu menatap ke pintu kamar Deon. “Kamar lo yang mana?”
Deon menunjuk malas. “Yang ini. Kenapa?”
Cewek itu menghela napas panjang, lalu menunjuk pintu di sebelahnya.
“Gue yang ini.”
Deon terdiam.
Lima detik. Sepuluh detik.
Lalu...
“ASTAGA, APAAN NIH?!”
Dia langsung berdiri, menatap cewek itu dengan ekspresi syok. “LO BERCANDA, KAN?!”
Cewek itu tetap setenang sebelumnya, menyeruput kopinya lagi. “Sayangnya, enggak.”
Deon mengacak rambutnya frustasi. “Sial, kantor aja neraka… Sekarang, rumah juga?! GUE NGGAK AKAN BISA HIDUP TENANG, NIH?!”
__
Cewek itu masih menatapnya tanpa ekspresi, sementara Deon mondar-mandir di depan bangkunya, mencoba menerima kenyataan yang baru saja menamparnya keras.
Dia harus satu atap dengan cewek ini? SERIUS?!
“Gue nggak percaya ini… Kayaknya gue dikutuk, deh.”
Deon akhirnya berhenti, menatap cewek itu curiga. “Jangan-jangan lo mata-mata dari senior-senior kantor buat ngawasin gue?”
Cewek itu mendengus. “Lo pikir lo siapa? Anak presiden? Maaf ya, hidup lo nggak sekeren itu.”
Deon menyipitkan mata. “Atau jangan-jangan lo yang ngikutin gue?”
Cewek itu menatapnya datar. “Gue duluan yang tinggal di sini, bray.”
Sial. Dia nggak bisa membantah itu.
Deon mendesah panjang, lalu menjatuhkan diri ke bangku kayu lagi. “Fix. Hidup gue udah kayak drama absurd.”
Cewek itu ikut duduk di pagar balkon, menyeruput kopinya lagi sebelum menoleh ke Deon. “Tenang aja. Gue juga nggak tertarik buat punya tetangga berisik.”
Deon melotot. “Berisik? Lo yang tiba-tiba muncul di atap kantor, tiba-tiba ada di rumah gue, dan sekarang lo bilang gue berisik?”
Cewek itu menaikkan bahu. “Ya… Lo kan heboh sendiri dari tadi.”
Deon memutar bola matanya. “Ya maaf, Mbak. Gue nggak tiap hari dapat kejutan nggak masuk akal kayak gini.”
Cewek itu tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya. “Gwen.”
Deon menatapnya curiga. “Apa?”
“Nama gue, Gwen.”
Deon mendengus, tapi akhirnya menerima uluran tangan itu dengan malas. “Deon.”
Mereka saling berjabat tangan singkat. Lalu Gwen menarik tangannya kembali dan menatap Deon dengan tatapan menilai. “Lo nggak keliatan kayak anak magang biasa.”
Deon langsung menegang. “Maksud lo?”
Gwen menyesap kopinya lagi sebelum menyeringai. “Nggak tau. Feeling gue aja.”
Deon terdiam, tiba-tiba merasa tidak nyaman. Cewek ini… bisa bahaya.
Dan sepertinya, hidupnya yang sudah berantakan bakal makin ribet mulai sekarang.
Deon mengerutkan kening, tiba-tiba merasa tidak suka dengan cara Gwen menatapnya. Seperti dia adalah teka-teki yang menarik untuk dipecahkan.
“Feeling lo sering bener?” tanyanya, pura-pura santai.
Gwen menaikkan bahu. “Kadang. Tapi biasanya sih… hampir selalu.”
Sial. Itu bukan jawaban yang dia harapkan.
Deon mendengus dan mengalihkan pandangan ke langit lagi, berusaha terlihat cuek. “Ya udah, jangan sok detektif. Gue cuma anak magang biasa yang dipaksa tinggal di tempat ini.”
Gwen menatapnya sebentar sebelum akhirnya berdiri. “Oke.”
Deon melirik, sedikit terkejut. “Oke?”
Cewek itu mengangguk. “Ya. Lo mau pura-pura jadi anak magang biasa, silakan. Gue bukan orang kepo.”
Deon diam. Entah kenapa, nada Gwen terdengar terlalu mudah… seolah dia membiarkan Deon tenggelam dalam kebohongannya sendiri.
Dan itu… membuatnya makin waspada.
Gwen membuang kaleng kopi kosongnya ke tempat sampah, lalu menepuk pagar balkon. “Oke, bocah. Gue masuk dulu. Selamat merenungi nasib.”
“Bocah?” Deon mendelik. “Sori ya, umur lo berapa, Mbak?”
Gwen terkekeh sambil berjalan ke pintunya. “Cukup buat tau kalau lo masih cupu.”
Deon mendecak. “Cih. Sombong banget. Jangan nyesel kalau gue ngebales.”
Gwen hanya melambaikan tangan tanpa menoleh. “Silakan. Gue tunggu.”
Lalu dia masuk ke kamarnya dan menutup pintu.
Deon tetap duduk di bangku kayu, menatap pintu Gwen lama-lama.
Anak magang biasa, katanya.
Tapi kenapa rasanya dia baru aja ketemu seseorang yang bisa bikin hidupnya lebih rumit?
Deon mendengus kecil. Sial. Baru hari pertama di rumah ini, dan dia udah kena mental.
Dia mengusap wajahnya kasar sebelum akhirnya berdiri dan masuk ke dalam kamarnya sendiri. Begitu pintu tertutup, dia menyandarkan punggungnya ke dinding dan menghela napas panjang.
Hidupnya udah cukup berantakan. Sekarang, tambah satu masalah lagi, tetangga nyebelin yang misterius.
Deon menyalakan lampu dan memindai kamar barunya. Kecil. Sederhana. Minimalis. Jauh dari kamarnya yang dulu, yang luas dan dipenuhi barang-barang mahal.
Kasur single di pojokan, meja kayu kecil, lemari sederhana, dan jendela yang menghadap ke jalan.
Udara di sini panas, beda banget sama kamarnya yang dulu selalu sejuk berkat AC central.
Ayahnya benar-benar nggak tanggung-tanggung dalam mendidik dirinya.
Deon menghempaskan diri ke kasur, menatap langit-langit dengan ekspresi lelah.
“Gila. Gue jadi kayak karakter utama di drama survival kelas pekerja.”
Tiba-tiba...
TOK TOK TOK!
Suara ketukan di dinding kamarnya. Deon mengernyit.
TOK TOK TOK!
Lebih keras.
Deon bangkit dengan malas, menempelkan telinganya ke dinding. "Apaan sih?"
Lalu suara Gwen terdengar dari kamar sebelah. "Dengerin, ya. Gue punya tiga peraturan buat lo."
Deon mendelik. "Peraturan? Sejak kapan lo jadi ibu kos gue?"
Gwen mengabaikannya dan melanjutkan, suaranya jelas terdengar lewat dinding tipis.
"Satu! Jangan berisik. Gue nggak peduli lo mau guling-guling frustrasi atau nyanyi lagu patah hati, asal jangan ganggu gue."
Deon mendengus. "Yaelah, ini rumah kontrakan, bukan asrama militer."
"Dua! Jangan bawa pulang orang random. Gue nggak mau tiba-tiba ketemu makhluk asing pas keluar kamar."
Deon tertawa sinis. "Percaya deh, hidup gue nggak seasyik itu buat bawa orang random."
Gwen diam sebentar, lalu menambahkan, "Tiga! Jangan pernah, dalam situasi apa pun, minjem kopi gue."
Deon mengerutkan kening. "...Apa?"
"Kopi gue. Jangan sentuh. Titik."
Deon langsung ngakak. "Sumpah, lo serius? Dari semua hal, lo malah ngelarang gue minum kopi?"
"Gue nggak main-main soal ini."
Deon masih tertawa, tapi lalu sebuah ide jahil muncul di kepalanya. Dia mengetuk dinding pelan dan berkata dengan nada menantang, "Kita lihat aja nanti."
Di sebelah, Gwen menghela napas panjang. "Gue udah bisa ngeliat masa depan. Lo bakal nyesel."
Deon hanya menyeringai.
Mungkin hidupnya sekarang jauh dari nyaman.
Tapi setidaknya, ada satu hiburan baru menyebalkan tetangga barunya.