NovelToon NovelToon
Tetangga Idaman

Tetangga Idaman

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang / Romansa / Bercocok tanam
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Zhy-Chan

Arif Pradipta, begitu Emak memberiku nama ketika aku terlahir ke dunia. Hidup ku baik-baik saja selama ini, sebelum akhirnya rumah kosong di samping rumah ku di beli dan di huni orang asing yang kini menjadi tetangga baruku.

kedatangan tetangga baru itu menodai pikiran perjakaku yang masih suci. Bisa-bisanya istri tetangga itu begitu mempesona dan membuatku mabuk kepayang.
Bagaimana tidak, jika kalian berusia sepertiku, mungkin hormon nafsu yang tidak bisa terbendung akan di keluarkan paksa melalui jari jemari sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhy-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

¹⁶ Kamar Arif

Terasa sapuan lembut kulit tangan pada pipi. Aku mengerjap-ngerjapkan mata yang masih silau dengan cahaya luar. Wajah seorang ibu yang ku rindukan memenuhi pupil ketika aku membuka mata dengan sempurna.

"Ibu...." Tanpa sadar, aku memanggil ibuku.

Wajah wanita di hadapan ku itu terlihat semringah ketika pandangannya tertuju ke arahku. Oh, rupanya beliau adalah Bulek Siti, ibunya Arif.

"Arif, sini, Rif, Neng Rifani sudah siuman," ujar Bulek Siti dengan bersemangat.

Tidak lama, Arif datang dengan sebuah gelas bertangkai dan menyodorkan gelas berisi minuman panas tersebut ke arahku.

"Mbak, minum ini dulu, Mbak. Biar perutnya hangat."

"Sini, biar, emak bantu."

Bulek Siti mengambil alih gelas yang ada di tangan Arif, kemudian membantu meminumkannya padaku. Terharu. Baik sekali wanita separuh baya itu kepadaku.

Aku menurut, menyeruput minuman yang di sodorkan Bulek Siti perlahan, tapi kemudian wajahku mengkerut-mengkerut. Aku memang tidak suka rempah-rempah. Meski begitu, tetap menyeruputnya sedikit demi sedikit.

"Mbak udah baikan?" tanya Arif, ketika minumanku tinggal setengah gelas.

Aku menggelengkan kepala tanda ingin menyudahi kegiatan minum.

"Iya, Rif. Saya sudah mendingan."

"Neng tadi mau beli apa? Kok tiba-tiba jatuh pingsan di teras warung emak? Beli obat? Neng emang lagi sakit kah?"

Seperti tidak mau menunda-nunda keingintahuannya, Bulek Siti memberondong ku dengan pertanyaan.

"Bukan, Bulek. Rifani tadi ke sini mau mencari, Arif. Mau minta tolong mengantarkan ke suatu tempat. Namun, tiba-tiba rasanya pusing sekali. Setelah itu, Rifani sudah lupa apa yang terjadi, bangun-bangun sudah berada di sini."

"Oalah ... pasti Neng belum sarapan 'kan? Biar bulek ambilin makan bentar ya?"

Aku tidak menolak, tidak pula mengiyakan. Rasa malu jika harus mengatakan keadaan rumah tanggaku pada wanita sepuh itu.

"Ndak papa, sementara makan di kamar, Arif dulu, Neng 'kan masih lemes," ujar bulek dari kejauhan, beliau sudah pergi meninggalkan aku dan Arif berdua di kamar ini.

"Ini kamarnya, Arif?" tanyaku sambil melihat sudut-sudut yang ada di ruangan ini. Kamar ini tidak sebesar kamarku sendiri, tapi terasa nyaman berada di sini.

"Ehe, iya, Mbak," jawabnya kikuk.

Ada apa dengan dia? Apa dia tidak suka aku berada di kamarnya? Berada di satu ruangan yang sama dengan seorang pemuda, hanya berdua saja, aku pun merasa tidak enak.

Aku jadi membayangkan jika tiba-tiba warga datang berduyun-duyung menggerebek kami dan meminta kami untuk segera menikah seperti cerita di novel-novel online yang pernah ku baca itu. Ah, bisa-bisanya aku mikir sejauh itu.

Mereka pasti tahu, jika aku berada di kamar ini karena aku baru saja pingsan. Aku bingung mau ngomongin apa dengan Arif. Untuk mengalihkan rasa canggung, aku mengalihkan pandangan, melihat-lihat seisi kamar.

Sebuah sarung yang mungkin lupa belum di lipat seusai salat subuh tadi masih teronggok di atas sajadah. Beberapa baju tergantung di gantungan belakang pintu.

Oh astaga, tanpa sengaja aku melihat sesuatu yang seharusnya tidak aku lihat. Ada sebuah kain segi tiga yang tergantung di sana. Aku jadi malu sendiri. Apa mungkin Arif menyadari hal itu, hingga kikuk saat berbicara dengan ku tadi.

Ingin segera keluar dari ruangan ini, tapi keadaan tubuh belum memungkinkan. Seperti bisa membaca pikiran, Arif sendiri yang bangkit dan meninggalkan ku di kamar ini sendirian.

"Kok Neng Rifani di tinggal sendirian? Nanti kalo dia kenapa-napa lagi, gimana?" Suara Bulek Siti masih terdengar nyaring meski beliau berada di luar ruangan.

"Ehe... lagi kebelet pipis, Mak," jawab Arif seperti terburu-buru.

Tidak lama, Bulek Siti masuk kamar dan membawakan ku sepiring makanan.

"Mau di suapin, Neng?"

"Hmm, tidak Bulek, terimakasih, tapi Rifani masih bisa makan sendiri, kok."

"Oh, ya sudah. Ayok segera di makan!"

Aku mengambil alih piring tersebut. Mengamati piring yang berisi nasi putih, tumis kacang dan bakwan jagung. Rasanya sudah kenyang, sebelum makanan tersebut masuk mulut. Bulek Siti mengambilkan nasi banyak sekali. Mana bisa habis?

Ku sendok nasi bersama bakwan jagung. Mengunyah perlahan, mendeskripsikan rasa. Aku belum pernah merasakan bakwan jagung yang seperti ini. Seperti ada bumbu tambahan yang membuatnya terasa segar.

"Bakwan ini, buatan Bulek sendiri?" tanyaku karena penasaran.

"Iya, Neng. Kenapa? Tidak enak kah?" tanya Bulek Siti panik.

"Bukan itu, bakwan nya enak kok. Seperti ada rasa segarnya di mulutku."

"Oalah, itu karena aye nambahin rempah-rempah kunci di dalamnya. Jadi terasa segar."

"Hmm, enak sekali, Bulek." Aku memakannya lahap sekali.

"Bakwan itu kesukaannya Arif, katanya tidak ada bakwan yang seenak buatan emak nya. Hihihi," ujar Bulek Siti tersipu malu.

"Hmmm..." Aku manggut-manggut.

Tidak terasa makanan di piring ku tandas. Aku heran sendiri melihat ulahku pagi ini, makan banyak seperti buto ijo. Apakah aku masih tidak sadarkan diri? Padahal aku belum pernah makan sebanyak ini sebelumnya.

Tadi Bulek Siti sempat mengambilkan bakwan lagi tanpa ku minta ketika melihat lauknya habis dan nasinya masih tersisa separuh.

"Ehehe, habis, Bulek. Bakwannya enak sih." Rasa bakwan itu seperti membuatku candu.

"Oh, nanti biar aye bungkuskan bakwan yang banyak untuk di bawa pulang. Di belakang masih banyak, kok."

🌸🌸🌸

Meski masih sedikit pusing, tapi aku berusaha untuk bangun. Tidak enak berada di kamar orang berlama-lama. Keluar dari kamar Arif, langsung di sambut oleh suara televisi yang menempel pada dinding ruang keluarga.

Di depan televisi, Arif bersandar pada sofa, matanya terpejam. Apa dia sedang tidur? Ah, tapi masa iya, pagi-pagi sudah tidur.

Aku bermonolog sendiri. Setelah ikut duduk di sofa dengan tetap menjaga jarak dengan pemuda itu, aku berdehem sekali. Mata elang yang di naungi alis tebal itu terbuka seketika.

"Mbak Rifani sudah sehat?" tanya pemuda itu sambil mengucek mata.

"Iya, sudah. Makasih banyak, ya, Rif. Oh iya, saya tadi kesini sebenarnya mau minta bantuan ke, Arif. Bisa nggak, kamu mengantar saya ke suatu tempat?" Lanjut ku, mengungkapkan alasan yang sebenarnya hingga mencarinya ke sini tadi.

"Memang Mbak Rifani mau ke mana?"

"Puncak."

Aku menyebut sebuah tempat yang ku tangkap saat membaca percakapan chat seseorang dengan suamiku tadi.

"Puncak?" tanya Arif seperti tidak percaya.

Pasalnya, kami membutuhkan waktu sekitar tiga jam perjalanan untuk bisa sampai sana.

"Iya, Rif. Saya butuh ke sana. Urgent," jelas ku sambil merunduk. Teringat chat Mas Nata yang sempat ku baca tadi, hati kembali teriris.

"Tapi 'kan, Mbak lagi kurang enak badan?"

"Saya sudah baikan kok, tolong ya Rif," ujarku memelas.

1
dnr
jangan" rifani hamil anaknya si arif lagi pas mkan mlam itu
⁽⁽ଘ[🐾©️le🅾️🦋]ଓ⁾⁾
bagus sekali ❤️❤️❤️
kalea rizuky
lanjut
kalea rizuky
nata belok
⁽⁽ଘ[🐾©️le🅾️🦋]ଓ⁾⁾
astaga...alex n Nata ternyata terong malam terong
Tutian Gandi
kan...bener kah dugaan q..kalo mereka itu belok kanan dan belok kiri ..🤔🤔
dnr
kyknya nata sma pa alex ada serong dah
Tutian Gandi
kok q curiga sama bos nya ya...jgn2 si nata ada belok nya kali y....
Ardiawan
mantap
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!