Alana tak percaya pada cinta—bukan sejak patah hati, tapi bahkan sebelum sempat jatuh cinta. Baginya, cinta hanya ilusi yang perlahan memudar, seperti yang ia lihat pada kedua orang tuanya.
Namun semuanya berubah saat Jendral datang. Murid baru yang membawa rasa yang tak pernah ia harapkan. Masalahnya, Naresh—sahabat yang selalu ada—juga menyimpan rasa yang lebih dari sekadar persahabatan.
Kini, Alana berdiri di persimpangan. Antara masa lalu yang ingin ia tolak, dan masa depan yang tak bisa ia hindari.
Karena cinta, tak pernah sesederhana memilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Candylight_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 — Bekal yang Tidak Tersentuh: Ketika Luka Lama Terungkap
Keheningan tercipta sejak Jendral meletakkan kotak bekal di meja Alana.
Tidak ada pertanyaan yang keluar dari mulut Alana, tetapi ia juga sama sekali tidak menyentuh kotak bekal itu—seolah-olah ia hanya ingin makan jika Naresh yang menyerahkannya langsung.
Namun bukan itu yang sebenarnya terjadi. Alana hanya sedang tidak berselera. Ia tidak memiliki nafsu makan. Perutnya terasa penuh oleh kekecewaan yang ditinggalkan Naresh.
Teman-teman di kelas pun ikut diam. Tidak ada yang berani memecah suasana, seolah-olah perasaan Alana merambat ke udara dan membuat semua orang ikut kehilangan selera. Kotak bekal itu tetap di tempatnya—menjadi simbol dari jarak yang mendadak terasa sangat jauh antara dua orang yang biasanya tidak terpisahkan.
"Alana..."
Suara Nisya memecah keheningan di antara mereka. Perempuan itu bangkit dari bangkunya, lalu berjalan menghampiri meja Alana.
Alana menoleh, namun tatapannya kosong. Ia ingin memahami semuanya, tetapi entah mengapa hatinya tidak mampu. Ia terbiasa dengan Naresh yang selalu menurutinya, sebab ia pun nyaris selalu melakukan hal yang sama untuk Naresh.
Teman-teman di kelas saling melempar pandang, memperhatikan Nisya yang kini berdiri di depan meja Alana.
Nisya menarik napas sejenak sebelum berbicara.
"Kamu ingat nggak? Dulu kamu nggak suka aku ikut main sama kalian."
Semua tahu 'kalian' yang dimaksud Nisya—Alana dan Naresh. Mereka hanya diam, menyimak apa yang ingin Nisya sampaikan.
"Ya..." jawab Alana singkat. Dulu, saat masih kecil, ia tidak ingin Naresh memiliki teman lain selain dirinya. Ia juga tidak ingin berteman dengan siapa pun, kecuali Naresh.
"Kamu ingat, setiap kali aku ikut main, ekspresi kamu pasti kayak gini."
Nisya menirukan ekspresi Alana kecil—pipi gembil yang mengembung dan mata tajam yang penuh kekesalan.
Jendral dan Mahen tersenyum melihatnya. Jendral membayangkan ekspresi lucu Alana waktu itu, sementara Mahen tersenyum karena ekspresi lucu Nisya saat ini.
"Jangan ngeledek gue. Gue lagi nggak mood," ucap Alana malas, dengan nada kesal. Bisa-bisanya Nisya mencontohkan ekspresinya di masa lalu di saat seperti ini.
"Ih, serius."
Nisya benar-benar ingin mengenang masa kecil mereka bersama.
"Aku takut sama kamu sampai sekarang, soalnya kalau kamu marah, kamu suka mukul aku pakai mainan," ucap Nisya, berusaha mengajak Alana bernostalgia.
"Jadi, lo takut sama gue?" sahut Alana dengan nada kesal. Tapi justru reaksi itu membuat Nisya tersenyum. Ia merasa berhasil—berhasil memancing emosi Alana agar tidak terus dipendam.
Yang lain hanya menyimak percakapan mereka. Ada yang terhibur, ada pula yang dalam hati berterima kasih karena Nisya bersedia turun tangan.
"Iya, soalnya kalau nggak kena juga, kamu pasti ngejar," jawab Nisya, sengaja menambah bumbu.
"Nanti Naresh misahin kita, terus kamu nangis karena ngira Naresh belain aku. Seharian penuh harus dihibur sama Naresh setelah itu," lanjutnya, sambil menggeleng pelan. Seolah tidak percaya bahwa Alana kecil bisa seperti itu.
"Emang Naresh bela lo, kok," timpal Alana. Seakan ingin menegaskan bahwa ia menangis waktu itu karena merasa Naresh lebih memihak Nisya. Padahal seharusnya, dia lah yang dibela oleh Naresh.
"Kata siapa? Malah habis itu Naresh yang mukul aku—gara-gara kamu suruh," balas Nisya santai.
"Lo pikir gue nggak tahu kalau Naresh cuma pura-pura?" Alana tidak mau kalah. Ia tahu betul—saat itu, memang terlihat seperti Naresh memukul Nisya, tapi sebenarnya pukulan itu tidak pernah benar-benar mengenai Nisya.
"Naresh nggak mau gue nangis, tapi dia juga nggak bisa mukul lo. Jadi, dia pura-pura mukul lo—padahal yang kena pukulan dia sendiri," tutur Alana, mencoba mengingatkan kembali kejadian masa lalu.
Jendral dan Mahen yang mendengarnya hanya bisa terdiam. Dari situ, mereka makin paham betapa Naresh selalu berusaha menjaga Alana, dan mungkin juga Nisya, bahkan sejak mereka masih anak-anak. Tidak heran kalau sekarang pun Naresh tetap mencoba menolong Nisya tanpa membuat Alana harus menanggung risikonya—kebiasaan itu ternyata sudah dimulai sejak dulu.
"Lagian, lo juga nyebelin. Tukang pamer," Alana mulai terpancing. Suaranya meninggi sedikit, dan ia mulai membuka kesalahan Nisya dari masa lalu. Ia tidak terima jika hanya dirinya yang disalahkan.
"Lo pamer punya Ibu yang baik—yang suka masakin lo, yang sayang banget sama lo. Gimana gue nggak kesel sama lo?"
Alana hanya ingin meluapkan unek-uneknya. Tapi reaksi orang-orang di sekelilingnya berbeda. Mereka justru menangkap makna lain dari kalimat itu. Seolah-olah Alana tidak pernah mendapatkan sosok Ibu seperti itu—dan karena itulah ia merasa iri dan kesal pada Nisya.
"Tapi Ibu aku lebih sayang sama kamu," Nisya menanggapi dengan suara lembut. Seolah ingin berkata bahwa ibunya pun adalah ibu bagi Alana. Bahkan, dalam banyak kesempatan, ibunya lebih sering membela Alana daripada dirinya sendiri—anak kandungnya.
“Karena lo kerja di rumah gue, makanya lo harus ngalah. Itu yang sering Ibu lo bilang setiap kali belain gue,” ucap Alana, menyangkal pernyataan Nisya.
Bagi Alana, ibu Nisya bukan lebih menyayanginya. Mereka hanya bekerja di rumah Alana—itu saja alasannya mereka harus mengalah. Itulah kenyataan yang tertanam dalam pikirannya sejak dulu.
“Kalau cuma karena kerjaan, Ibu aku nggak mungkin nangis waktu kamu sakit. Bahkan, Ibu juga bilang kamu berharga,” ucap Nisya. Kali ini, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Bukan semata karena ibunya menyayangi Alana, tapi karena ia teringat momen saat Alana sakit—saat Alana nyaris menyerah karena merasa tidak berharga di mata ibunya sendiri.
“Sial!” Alana mengumpat sambil menyeka air matanya yang tiba-tiba saja menetes.
“Lo mau ngingetin betapa menyedihkannya hidup gue, ya?” Tidak ada nada marah dalam ucapannya. Ia hanya tenggelam dalam suasana dan menangis karena terlalu banyak kenangan yang menyesakkan.
Nisya menangis lebih keras melihat Alana menangis. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan—sesuatu yang lebih besar dari sekadar masa lalu. Namun, arah pembicaraan kini sudah melenceng. Bukan lagi sekadar nostalgia, tapi luka yang menganga.
Jendral dan Mahen tampak gelisah, seolah ingin berdiri dan menyeka air mata keduanya. Tapi mereka menahan diri. Mereka tahu, ini bukan waktunya menyela.
Dewa hanya menyimak. Ia tidak berkata apa-apa, tapi dadanya ikut sesak. Sementara Aska, yang paling baperan di antara mereka, bahkan diam-diam menitikkan air mata. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah.
“Maaf, ya…” ucap Nisya pelan.
Namun, permintaan maaf itu bukan karena ia telah membuat Alana mengingat kembali betapa menyedihkan hidupnya. Nisya tidak menyesali bahwa mereka telah membuka luka lama. Yang ia sesali adalah kehadirannya—yang tanpa sengaja menjadi pengganggu di antara Alana dan Naresh.
Ia tahu, perselisihan antara keduanya bermula dari dirinya.