Andreas Wilton sudah terlahir dingin karena kejamnya kehidupan yang membuatnya tidak mengerti soal kasih sayang.
Ketika Andreas mendengar berita jika adik tirinya akan menikah, Andreas diam-diam menculik mempelai wanita dan membawa perempuan tersebut ke dalam mansion -nya.
Andreas berniat menyiksa wanita yang paling disayang oleh anak dari istri kedua ayahnya itu, Andreas ingin melihat penderitaan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dan mendiang sang ibu.
Namun, wanita yang dia culik justru memberikan kehangatan dan cinta yang selama ini tidak pernah dia rasakan.
“Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau menangis saat aku sakit? Padahal aku sudah membuat hidupmu seperti neraka yang mengerikan”
Akankah Andreas melanjutkan niat buruknya dan melepas wanita tersebut suatu saat nanti?
Follow instagramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memenuhi Konsekuensi
Mistiza berdiri terpaku di hadapan Andreas. Jarak mereka begitu dekat hingga ia bisa merasakan hangatnya napas pria itu menyentuh wajahnya. Kakinya terasa berat, seolah ditambatkan pada lantai kayu yang dingin. Tangannya menggigil, bukan karena dingin, tetapi karena campuran rasa takut, benci, dan sesuatu lain yang sulit ia pahami. Suasana di ruang biliard itu tetap sunyi, hanya terdengar detakan jam tua di dinding yang menambah ketegangan yang menggantung di udara.
Andreas tidak bergerak. Ia hanya menatapnya, tatapan yang tenang namun penuh kuasa. Tidak ada kegembiraan berlebihan di wajahnya, namun jelas bahwa ia menikmati situasi ini. Permainan telah dimenangkan, dan sekarang ia hanya menunggu hadiah yang telah disepakati.
Mistiza menarik napas panjang, mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak liar. Ia telah membuat perjanjian, dan tidak ada ruang untuk melanggar. Ia tahu betul bahwa jika ia mencoba mundur, Andreas akan memanfaatkan setiap celah untuk menyeretnya kembali ke dalam siklus permainan yang jauh lebih kejam dari ini.
Langkah pelannya terdengar sayup saat ia mendekat. Ia dapat melihat dengan jelas setiap garis di wajah Andreas, ketegasan rahangnya, dinginnya mata itu. Tangannya terangkat, namun segera ia tarik kembali. Tubuhnya menolak, tetapi pikirannya memaksanya untuk melangkah terus. Ia menunduk sejenak, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata. Ini bukanlah ciuman dalam arti romantis; ini adalah simbol penyerahan, sebuah konsekuensi dari permainan yang tak pernah ia inginkan.
Dengan tubuh yang masih gemetar, Mistiza akhirnya berdiri tepat di depan Andreas. Ia mendongakkan wajahnya, menatap pria itu sebentar, lalu memejamkan mata. Bibirnya perlahan bergerak maju, nyaris tanpa suara, tanpa kekuatan. Satu sentuhan lembut mendarat di pipi Andreas, singkat, ringan, seperti angin yang lewat sekilas.
Namun Andreas tidak bereaksi.
Ia masih menatapnya, diam.
"Di bibir, Mistiza," ucapnya pelan, hampir berbisik, namun nadanya jelas membawa perintah yang tidak bisa ditawar.
Perlahan, ia melangkah maju, kini dengan gerakan lebih pasti meskipun tubuhnya masih bergetar. Nafasnya terasa berat, dada naik-turun tak beraturan. Tapi tak ada lagi keraguan. Andreas berdiri tegak di hadapannya, wajahnya tetap datar namun mata itu memancarkan sorot yang lebih dalam dari sekadar kepuasan menang. Ada harapan yang samar, entah dari rasa ingin menguasai… atau sesuatu yang lebih kompleks yang bahkan belum ia pahami sendiri.
Mistiza mendekat, dan kali ini ia tidak memejamkan mata begitu cepat. Ia menatap Andreas, menahan sejenak di ambang jarak. Jari-jarinya sedikit menyentuh dada pria itu, bukan untuk merayu, melainkan untuk menegaskan bahwa ia tidak gentar. Lalu, ia mendongak, dan dengan bibir yang sedikit gemetar, ia mendaratkan ciuman itu—di bibirnya.
Bibir mereka bersentuhan, lembut, namun terasa begitu nyata dan sarat makna. Mistiza hendak menarik diri segera setelah ciuman singkat itu diberikan, seperti sebuah kewajiban yang harus segera diselesaikan. Namun sebelum ia sempat benar-benar mundur, tangan Andreas terangkat dan menahan tengkuknya dengan gerakan yang tenang tapi tegas.
Mistiza terkejut.
Andreas tidak menariknya lebih dekat secara paksa, namun cukup untuk membuatnya tidak bisa menjauh. Jari-jarinya terasa hangat di kulit leher Mistiza, dan matanya menatap dalam ke arah wajah wanita itu. Dan di sanalah, di antara keheningan dan jarak yang nyaris hilang, ciuman itu tak berhenti.
Ciuman itu berubah.
Tidak lagi hanya tuntutan dari sebuah permainan, tapi menjadi sesuatu yang mengalir dari dua jiwa yang saling terperangkap dalam ruang dan waktu yang rumit. Andreas mencondongkan wajahnya sedikit, dan bibir mereka kembali bersatu—kali ini lebih dalam, lebih lambat, dan lebih penuh pertanyaan yang tak terucap.
Mistiza, yang awalnya ingin menolak, merasakan tubuhnya kehilangan arah. Lidah Andreas menyentuh bibir bawahnya dengan lembut, seakan menunggu izin, dan tanpa sadar, ia mengizinkannya. Nafas mereka tercampur, hangat dan penuh ketegangan. Hatinya berdebar keras, bukan lagi hanya karena takut, tetapi karena jiwanya mulai goyah.
Tangan Mistiza mengepal di dada Andreas, seolah ingin mendorong namun tak kunjung melakukannya. Ciuman itu menyita seluruh kesadarannya. Ia ingin membenci Andreas. Ia ingin tetap kuat. Namun untuk beberapa detik itu, dunia di sekeliling mereka lenyap. Yang ada hanya mereka berdua—dua manusia yang sama-sama terikat oleh permainan dan luka, saling mencium dengan rasa yang belum bisa diberi nama.
Begitu jarak di antara mereka tercipta kembali, Mistiza menarik napas dalam-dalam, seolah baru saja muncul ke permukaan setelah hampir tenggelam dalam lautan yang asing. Matanya berusaha keras menghindari pandangan Andreas, dan ia segera mundur satu langkah. Tangannya secara refleks mengusap bibirnya sendiri, seakan hendak menghapus sisa dari ciuman yang masih membekas hangat di sana.
Andreas tidak berkata apa pun. Tatapannya tidak lagi setajam biasanya. Justru ada bayangan samar di wajahnya, sesuatu yang asing, bahkan untuk dirinya sendiri. Ia melangkah menjauh beberapa langkah, membelakangi Mistiza.
"Kau boleh pergi dari sini" ucapnya pelan, suara itu tidak setegas biasanya, nyaris seperti bisikan.
Mistiza tidak menunggu pengulangan. Ia langsung berbalik, melangkah cepat menuju pintu, seolah takut kalau detik berikutnya Andreas akan berubah pikiran dan menahannya lagi. Dalam pikirannya, ia hanya ingin pergi—menjauh dari ruangan itu, dari permainan itu, dan dari pria yang telah menekan jiwanya dengan segala bentuk dominasi.
Namun sesaat sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, langkahnya melambat.
Entah kenapa, sesuatu membuatnya menoleh. Hanya sejenak.
Pandangan matanya jatuh pada sosok Andreas di tengah ruangan. Pria itu berdiri membelakangi meja biliar, kepalanya sedikit tertunduk. Tangan kanannya terangkat, lalu dengan kasar mengusap wajahnya—gerakan cepat dan penuh tekanan, seolah ingin menghapus sesuatu yang tak terlihat dari kulitnya. Sebuah gerakan yang begitu jujur, tidak terkontrol, seperti luapan rasa yang bahkan tak ingin ia akui.
Mistiza mematung.
Dalam gerakan sederhana itu, ia menangkap sesuatu. Penyesalan? Kekacauan batin? Andreas tampak... rapuh. Sekilas saja. Tapi cukup untuk membuat dada Mistiza terasa aneh. Seperti ada pertanyaan yang tak bisa ia jawab—mengapa pria itu menunjukkan ekspresi seperti itu setelah mendapatkan apa yang ia inginkan?
Mistiza tidak berkata apa pun. Ia tidak berani mengganggu keheningan yang mendadak terasa berat itu. Ia hanya menatap beberapa detik, kemudian membuka pintu dan melangkah keluar, meninggalkan ruangan tanpa suara, tanpa salam, tanpa penutup. Namun bayangan Andreas yang mengusap wajahnya dengan kasar masih melekat kuat dalam ingatannya.
Sementara itu, Andreas tetap berdiri di tempatnya, tak bergeming.
Jantungnya masih berdetak cepat, bukan karena ciuman itu semata, tapi karena sesuatu yang jauh lebih dalam. Ada kegelisahan yang tidak bisa ia namai. Sejak Mistiza pergi, udara terasa hampa. Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan pikirannya, namun justru bayangan wajah Mistiza yang muncul—mata yang penuh luka namun kuat, bibir yang gemetar, dan sentuhan yang begitu nyata.
"Bodoh," gumamnya pelan, menundukkan kepala.
Andreas menghempaskan diri ke salah satu kursi di sudut ruangan. Ia tidak mengerti. Bukankah ia yang membuat aturan? Bukankah ia yang menang? Lalu kenapa sekarang hatinya terasa seperti yang kalah?
Ciuman itu, yang seharusnya menjadi trofi, justru berubah menjadi sesuatu yang menusuk balik ke dalam dirinya. Bukan karena rasa bersalah. Tapi karena rasa yang lebih buruk: ketidaktahuan akan apa yang sebenarnya ia rasakan. Dan itu membuatnya resah.
Ia mengangkat kepalanya menatap ke arah pintu yang telah ditutup Mistiza tadi.
“Apa yang baru saja terjadi?” bisiknya pada dirinya sendiri.
sehat sehat Mak othor... maaf kan aku yg tamak ini .. crtmu bgs bingittt
aku baca yg sudah tamat dan ingat cerita ini pernah ku baca dulu