Nathaniel Alvaro, pewaris muda salah satu perusahaan terbesar di negeri ini, hidup dalam bayang-bayang ekspektasi sang ibu yang keras: menikah sebelum usia 30, atau kehilangan posisinya. Saat tekanan datang dari segala arah, ia justru menemukan ketenangan di tempat yang tak terduga, seorang gadis pendiam yang bekerja di rumahnya, Clarissa.
Clarissa tampak sederhana, pemalu, dan penuh syukur. Diam-diam, Nathan membiayai kuliahnya, dan perlahan tumbuh perasaan yang tak bisa ia pungkiri. Tapi hidup Nathan tak pernah semudah itu. Ibunya memiliki rencana sendiri: menjodohkannya dengan Celestine Aurellia, anak dari sahabat lamanya sekaligus putri orang terkaya di Asia.
Celeste, seorang wanita muda yang berisik dan suka ikut campur tinggal bersama mereka. Kepribadiannya yang suka ikut campur membuat Nathan merasa muak... hingga Celeste justru menjadi alasan Clarissa dan Nathan bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nitzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Sisi Lain Celeste
Pagi hari di rumah Alvaro biasanya sunyi. Tapi pagi ini, Nathan bangun karena suara berisik dari arah taman belakang. Ia berjalan ke jendela, menyibak tirai dengan malas. Yang terlihat membuatnya mengerutkan alis.
Celeste, masih pakai hoodie kebesaran dan celana training, jongkok di halaman, membuka kaleng bekas berisi nasi dan ikan. Sekitar lima ekor kucing liar mendekatinya, mengendus-endus, lalu menyantap makanan itu dengan lahap.
“Kalau makan di sini tiap hari, jangan lupa bayar pajak ya, Kucing,” gumam Celeste sambil mengelus salah satu kepala belang tiga.
Nathan melipat tangan di dada. Wanita yang ngomel soal motif gorden kemarin, sekarang ngasih makan kucing jalanan?
Ia mengamati lebih lama, berniat pergi tapi mendadak langkahnya tertahan. Celeste memungut plastik bekas yang tertiup angin, memasukkannya ke kantong sampah kecil di sampingnya. Ia juga memeriksa pot bunga yang kemarin baru dipindahkan tukang taman. Beberapa daun tampak layu.
“Duh, kamu stres ya, potongannya nggak rata nih,” katanya lembut, memotong daun kering satu per satu.
Ada keheningan aneh yang terasa damai. Bukan Celeste yang suka ribut soal warna keset, tapi seseorang yang tampak... peduli.
Nathan menjauh dari jendela dan mengacak rambutnya. “Huh. Mungkin tadi cuma halu,” gumamnya sambil kembali ke kamarnya.
*
Siangnya, Nathan turun ke dapur, dan mendapati Celeste duduk di meja, mencatat sesuatu di buku kecilnya. Ia cepat-cepat menutup buku itu saat melihat Nathan datang.
“Kamu suka nulis?” tanya Nathan, sekadar basa-basi.
Celeste tersenyum. “Cuma coret-coret. Biar ingatan gak bocor.”
Nathan menatapnya sejenak, tapi tidak bertanya lebih lanjut. Ada bagian dari dirinya yang masih ingin menjaga jarak, tapi... ada bagian kecil lain yang mulai ragu. Bisa jadi dia nggak seburuk yang gue kira.
Ponsel Celeste tiba-tiba berdering. Ia bangkit cepat-cepat dan menjauh ke balkon lantai atas. Nathan tidak berniat menguping, tapi karena pintu geser ke balkon tidak tertutup sempurna, sebagian percakapan itu terdengar juga.
“Ya, Ayah?” suara Celeste rendah.
Dari nada suaranya, tidak terdengar santai. Ada ketegangan.
“Jangan lupakan misi kamu, Celeste. Enam bulan. Hanya enam bulan. Kau harus bisa membuat Nathan Alvaro luluh dan mau menikahimu. Ini kehormatan keluarga.”
“Ayah, aku baru seminggu di sini,” Celeste menunduk, suara pelan.
“Jangan beralasan. Anak Julianne tidak boleh gagal.”
Lalu sambungan terputus.
Celeste menatap layar ponselnya. Tangannya menggenggam erat hingga buku catatannya hampir terlipat. Ia menarik napas panjang, lalu menatap langit, seolah sedang minta kekuatan.
Nathan yang diam-diam mengamati dari balik tembok dalam rumah, memicingkan mata.
Misi enam bulan? Nikah sama gue?
Ia mundur perlahan ke balik tangga sebelum Celeste kembali masuk.
*
Malamnya, Celeste duduk di ruang keluarga menonton drama Korea dengan Madeline. Ia tertawa lepas saat adegan pemeran utama pria jatuh ke kolam karena sok romantis.
Madeline ikut tertawa. “Kamu mirip Julianne. Dulu, tiap malam nonton drama bareng aku.”
Celeste tersenyum kecil. “Ibu pasti senang Tante masih ingat dia.”
Nathan masuk, menatap Celeste. Kali ini pandangannya tidak setajam biasanya. Ada sedikit kebingungan di sana. Ia masih menyimpan potongan percakapan siang tadi di kepala.
Clarissa datang membawa teh hangat, seperti biasa, hening dan tertib. Ia menyodorkannya ke Nathan dengan sopan, lalu ke Celeste.
“Terima kasih, Clarissa,” kata Celeste, tulus.
Clarissa hanya mengangguk.