NovelToon NovelToon
Nabil Cahaya Hidupku

Nabil Cahaya Hidupku

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Anak Genius / Anak Yatim Piatu
Popularitas:20.5k
Nilai: 4.9
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

nabil menulis

"Mamaaaah..."

Suara itu menggema dari ruang tengah, mengguratkan kecemasan di dada Santi. Dengan tangan yang masih basah oleh busa sabun, ia bergegas meninggalkan cucian. Langkahnya cepat menuju suara yang memanggil—memanggil dengan nada tangis yang merobek ketenangan pagi.

Di sana, ia temukan Nabil duduk bersimpuh di lantai. Kertas koran berserakan di sekelilingnya. Tangannya masih menggenggam pensil, dan matanya sembab. Ada gurat kecewa yang dalam di wajah mungil itu.

“Nabil?” Santi menjatuhkan diri di samping anaknya. “Ada apa, Nak?”

Nabil menunduk. Bahunya berguncang. “Aku… aku nggak bisa nulis kayak Mama,” suaranya parau, seperti tercekat oleh air mata yang belum tumpah sepenuhnya.

Santi mengusap rambut anak itu dengan lembut. Dibelainya kepala kecil itu, penuh kasih.

“Kamu sudah belajar, Sayang. Tidak apa-apa kalau belum bisa sekarang. Yang penting kamu mau mencoba. Itu sudah luar biasa.”

“Tapi…” Nabil menarik napas panjang, menahan sesenggukan. “Kalau aku nggak bisa nulis, aku nanti nggak bisa bikin sekolah, Mama.”

Santi terdiam sejenak. Ada senyum kecil yang terbit dari sudut bibirnya, walau matanya berkaca. Kalimat itu datang begitu polos, begitu jujur, namun mengandung impian yang besar. Terlalu besar untuk bahu kecil yang masih belajar memegang pensil.

“Kenapa Nabil ingin membuat sekolah?” tanya Santi, lembut.

“Supaya bisa ngumpulin uang banyak...” jawabnya tanpa ragu.

Santi terkekeh pelan. Ia menarik tubuh kecil itu dalam pelukannya. “Mama nggak suka kalau tujuan kamu cuma itu.”

Nabil menoleh, bingung. “Mama marah kalau Abil pengen kaya?”

Santi menggeleng. “Mama senang kalau kamu punya banyak rezeki, Sayang. Tapi sekolah… sekolah bukan tempat untuk cari uang. Sekolah itu tempat untuk berbagi ilmu, tempat untuk membangun masa depan orang lain.”

Nabil terdiam. Seperti sedang menyerap makna di balik kata-kata sederhana itu.

“Kalau kamu besar nanti, bikinlah sekolah. Tapi bukan supaya kamu kaya,” lanjut Santi. “Bikin sekolah karena kamu ingin anak-anak lain bisa belajar. Karena kamu ingin berbagi. Kaya bukan tentang uang, Nak. Kaya adalah ketika kamu bisa membuat orang lain merasa berharga.”

Matanya membulat. “Berbagi? Kayak aku bagi ikan asin sama Jery?”

Santi tertawa kecil. “Siapa Jery?”

“Itu meong, Mama. Musuhnya Tom. Tom itu tikus.”

“Lho, dari mana kamu tahu? Kita kan nggak pernah nonton TV.”

“Itu di angkot hijau, Mama. Ada gambar Tom dan Jerry di pintunya,” jawabnya polos. “Aku baca di sana.”

Santi menatap anaknya, kagum. Di tengah keterbatasan, Nabil tetap belajar. Ia menemukan ilmu di mana pun—di koran bekas, di spanduk jalanan, bahkan di pintu angkot.

“Pintarnya anak Mama,” Santi berbisik sambil mencium keningnya. “Membaca itu menyenangkan, ya?”

“Iya, Mama. Aku sekarang tahu kalau Ko Ahong itu jual pulsa. Tulisan itu ada di depan warungnya.”

Santi tersenyum. Ia tahu, tak mudah membesarkan anak yang dianggap berbeda. Nabil belum lancar menulis, bahkan sering diejek oleh anak-anak lain. Namun di balik keterbatasannya, ada cahaya yang perlahan menyala.

“Kamu tahu, Nak,” kata Santi perlahan, “bahagia itu bukan saat kita punya banyak, tapi saat kita bisa memberi.”

“Kayak aku kasih Jery lauk asin?”

“Ya. Kamu bahagia, kan?”

“Senang banget, Mama. Dia ngelilingin kakiku sambil ngeong terus. Lucu.”

“Begitu juga dengan ilmu. Kalau kamu bisa berbagi ilmu, kamu akan lihat orang lain tersenyum karena kamu. Itu yang paling berharga.”

Nabil menatap ibunya, lalu matanya menunduk lagi. “Tapi aku masih nggak bisa nulis, Mama…”

Santi meraih wajah anaknya, menatap dalam ke matanya. “Mama juga pernah nggak bisa, Nak. Semua orang pernah gagal. Tapi gagal itu bukan akhir. Itu tanda bahwa kita sedang belajar. Kamu bisa belajar dengan cara yang kamu suka. Mungkin kamu belum bisa menulis dengan rapi, tapi kamu suka bercerita, kan?”

Nabil mengangguk pelan.

“Nah, itu bisa jadi awal. Tulis dengan gambar, atau minta tolong Mama tuliskan ceritamu. Kita buat buku bareng-bareng, ya?”

Mata Nabil kembali berbinar. “Mama janji?”

Santi mengangguk mantap. “Janji. Tapi kamu harus tetap semangat belajar. Kamu boleh salah, tapi jangan berhenti mencoba.”

“Aku boleh bahagia walau belum bisa menulis?”

“Boleh. Justru kamu harus bahagia. Karena bahagia itu yang membuat hati kamu kuat.”

“Kayak Mama?”

Santi tersenyum. “Iya. Mama bahagia karena punya kamu. Dan kamu harus bahagia karena kamu punya mimpi yang besar.”

Nabil diam. Lalu perlahan, ia menyeka air matanya sendiri. “Kalau gitu… hari ini aku mau coba nulis pakai gambar. Aku gambar sekolah yang ada taman, terus aku cerita tentang kucing, tentang Ko Ahong, tentang Abil juga.”

Santi memeluknya erat. “Itu ide yang bagus. Anak Mama memang luar biasa.”

Di luar, matahari pagi menembus jendela, menyinari koran-koran yang berserakan. Di antara jejak air mata dan pensil tumpul, terselip satu hal yang paling berharga: harapan. Dan dari harapan itulah, impian besar anak kecil bernama Nabil mulai ditulis, pelan-pelan, dengan cara yang hanya bisa dimengerti oleh hati yang penuh cinta.

......

"Bayu… Ibu sudah lelah sekali,"suara Sinta lirih, nyaris tak terdengar, seperti daun kering yang meluruh satu per satu. Matanya merah, sembab. Ada letih yang tak bisa lagi disembunyikan, tak hanya dari tubuh, tapi dari hati yang lama memendam kecewa.

Bayu menoleh. Napasnya pelan, namun dadanya berdesir. "Terus… Ibu mau bagaimana? Nunik sama Nina juga sudah bantu, kan?"

Sinta tersenyum kecut. Senyum yang lebih mirip luka. “Bantu? Mereka lebih banyak nambah kerjaan, Bayu. Ibu malah harus bersih-bersih ulang. Masakannya nggak matang, baju malah luntur, sampah numpuk di mana-mana. Ibu kayak hidup di kapal pecah. Ini bukan rumah lagi…”

Bayu mengangguk pelan. Diam. Karena tak tahu harus berkata apa. Karena sebagian dari ucapannya—meski menyakitkan—ada benarnya.

“Bayu, bawa Santi pulang. Ibu mohon…” suara Sinta retak, seperti kaca yang sudah terlalu lama menahan tekanan.

Bayu mengangkat wajah. “Jadi sekarang… Santi berguna juga, ya, Bu?” Nada suaranya pelan, tapi getirnya menohok.

Sinta tak langsung menjawab. Lalu ia menghela napas, berat. “Iya. Dia berguna. Tapi bukan lebih dari seorang pembantu. Jangan harap lebih.”

Bayu menatap ibunya, lama. “Kalau begitu, sekarang siapa yang jadi pembantu, Bu?” tanyanya perlahan, meski hatinya tahu ia sedang menyiram luka lama dengan garam.

Sinta langsung menoleh tajam. “Jangan lancang, Bayu!”

Bayu berdiri. Ia merasa dadanya sesak. “Santi itu bukan sekadar ‘pembantu’, Bu. Saat dia ada, rumah kita hidup. Saat dia pergi, baru semua terlihat berantakan. Bahkan Nunik dan Nina nggak tahu cara menyapu dengan benar. Baju menumpuk, dapur bau, kamar penuh bekas makanan. Dan mereka… bahkan nggak merasa bersalah.”

Tiba-tiba terdengar suara dari dalam kamar. “Enak aja kamu salahin aku, Bayu! Kamu itu suami yang nggak becus! Harusnya kamu dari dulu didik Santi pakai tangan besi. Kalau perlu, kamu pukul dia biar nurut!” suara Nina tajam, menyelipkan dendam yang belum selesai.

Bayu memejamkan mata. Terlalu banyak suara, terlalu sedikit pengertian. “Aku memang menceraikannya. Tapi bukan karena aku ingin, Bu. Kalian yang dorong aku terus. Terus bilang dia keras kepala, nggak pantas jadi bagian dari keluarga ini. Padahal, justru dia yang paling berusaha jaga rumah ini.”

Sinta menunduk. Jemarinya saling menggenggam erat, seolah sedang menahan sesuatu yang hendak pecah. “Bayu… kita ke kampungnya. Kita bawa Santi kembali.”

Bayu tertawa pahit. “Ibu kira Santi akan diam saja? Dia bukan boneka. Dulu Ibu usir dia dengan hinaan, sekarang mau jemput dia dengan paksaan?”

Sinta mendesah. “Jadi apa solusimu, Bayu? Rumah ini sudah seperti kapal bocor. Ibu nggak sanggup lagi.”

Bayu terdiam. Lalu berkata, “Mungkin… aku nikah lagi, Bu. Cari istri yang bisa urus rumah.”

Sinta menatapnya, lama. Lalu, dengan nada datar yang menyimpan luka lebih dalam dari marah, ia berkata, “Dan nanti kamu salah pilih lagi, kita semua repot lagi. Apa kamu nggak capek terus lari dari masalah yang kamu buat sendiri, Bayu?”

Kata-kata itu menggantung di udara. Berat. Dingin. Menyesakkan.

Bayu menunduk. Ada rasa bersalah yang menggumpal di kerongkongan. Ia tahu, di balik kerasnya suara ibunya, ada ketakutan. Tentang rumah yang tak lagi hangat. Tentang keluarga yang saling menjauh. Tentang anak yang tak pernah belajar mencintai, kecuali saat kehilangan datang menghantam.

....

Kembali ke Rumah Sederhana Santi

“Mamaaah!”

Suara nyaring itu melesat dari ruang depan, menggema hingga ke sudut dapur yang sempit dan hangat. Santi sontak menoleh dari tumpukan cucian yang baru saja hendak dibilas. Tangannya masih basah, tapi hatinya mendadak hangat oleh panggilan yang begitu dikenalnya.

Ia berlari kecil ke ruang tamu, jantungnya berdegup kencang—antara cemas dan penasaran. Tapi begitu melihat wajah kecil Nabil yang bersinar penuh semangat, kegelisahannya menguap seketika.

“Apa, sayang?” katanya lembut, menunduk hingga sejajar dengan mata anak semata wayangnya itu.

“Mah! Aku udah bisa nulis!” serunya penuh bangga sambil menyodorkan secarik kertas.

Santi menerima kertas itu dengan hati-hati, seolah sedang menerima karya seni paling berharga di dunia. Di atasnya, tampak coretan-coretan… huruf-huruf yang belum sepenuhnya utuh, tapi jelas lahir dari ketekunan dan semangat Nabil.

Huruf N tampak seperti kambing berkaki tiga.

Huruf A mirip atap rumah dengan pintu kecil di tengah.

Huruf B menyerupai wanita menggendong bayi.

Huruf I seperti tiang bendera menjulang tinggi.

Huruf L terlihat seperti jalan yang berbelok pelan.

Santi mengerutkan dahi, lalu tersenyum. Bukan senyum mengolok, tapi senyum seorang ibu yang baru saja menyaksikan anaknya menaklukkan dunia dengan caranya sendiri.

“Masya Allah… ini tulisan paling indah yang pernah Mama lihat,” ucapnya dengan mata berkaca. “Kamu hebat sekali, Nabil.”

“Aku hebat ya, Mah?” tanya Nabil, matanya berbinar, penuh harap akan pengakuan.

Santi mengangguk, lalu mencium kening anak itu. “Kamu anak paling hebat bagi Mama. Bukan karena tulisanmu, tapi karena semangatmu.”

Nabil tersenyum kecil, tapi kemudian wajahnya berubah. Pandangannya menunduk, dan suara kecil itu terdengar lirih, menyayat.

“Tapi… kenapa orang lain bilang aku anak setan, Mah?”

Santi terdiam. Dadanya nyeri seketika. Dunia memang sering kejam pada yang tak sama. Ia tahu, meski Nabil tak seperti anak-anak lain, hatinya lebih lembut, pikirannya jernih, dan kasih sayangnya melimpah.

Santi menarik tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. “Nak, dengar Mama baik-baik. Kamu bukan anak setan. Kamu adalah hadiah. Cahaya. Keajaiban.”

“Tapi mereka bilang aku aneh…”

“Biarkan orang berkata apa, sayang,” bisik Santi, menahan air mata. “Kita nggak bisa tutup mulut mereka. Tapi Mama janji satu hal—Mama akan selalu di sini. Menjadi rumahmu. Tempat di mana kamu selalu dianggap istimewa.”

Dan di pelukan itu, Nabil tenang kembali. Dunia boleh mencibir. Tapi dalam dekapan ibunya, ia tahu, ia dicintai sepenuhnya—tanpa syarat.

Karena bagi Santi, tak ada hal yang lebih indah di dunia ini…

…selain menjadi tempat pulang bagi anak yang Tuhan titipkan dengan cara istimewa.

1
Wanita Aries
Wah asik liburan
indah
/Sob/ mungkin ini hanya sebuah cerita, tapi banyak pelajaran yang bisa di ambil.
DISTYA ANGGRA MELANI
Ayo bayu dituntut 2 orang sekaligus apa bisa tu si pengacara bantuin dy apalagi ada kasus kdrt jg wow masuk penjara langsung lah si bayu
Wanita Aries
Hadeh si bayu gk ada berentinya buat onar
Wanita Aries
Bayu edan
Nur Syamsiah
lanjut
Nur Syamsiah
GG as terus
Vina Nuranisa
semakin seruu , LANJUT THORRR
Wanita Aries
Ihh pede kali bayu kl laras masih cinta
Arlis Wahyuningsih
wah seru nihhh..the power of emak2...ras terkuat dibumi bergabung...siap2 jadi peyek kau bayu..😂😂😂💪💪
Wanita Aries
Wahhh seru nihhh gmn kira2 nnti bayu liat santi sama laras barengan
Arlis Wahyuningsih
cerita yg menarik dan juga inspiratif..karna walaupun punya fisik tak sempurna tp ada kelebihan dan kemampuan yg bisa dibanggakan.
Ninik
Bayu laki laki mokondo
Arlis Wahyuningsih
selamat ya pak bayu..😂😂😂😂
mantap sekali bu laras..😘😘😘
Irma Minul
lanjut kak 👍👍👍
Wanita Aries
Rasakan dah nasibmu laki gk modal. Tkt aj sih ngusik santi lagi
Rizky Sandy
cari tuh selingkuhanmu si Dewi yg LBH muda,,,,,
Wanita Aries
MasyaAllah nabil ganteng dan pinter
Wanita Aries
Ihh kepedean amat si bayu. Udh pengangguran, tempramen, trllu berambisi. Sbntr lg jd gelandangan.
Vina Nuranisa
dasar bayu gatau diri ,
yukk lanjut thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!