NovelToon NovelToon
Dear, Anak Presdir

Dear, Anak Presdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / One Night Stand / Crazy Rich/Konglomerat / Teen School/College / Diam-Diam Cinta
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: DityaR

Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.

Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.

Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.

Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.

Nah, kalau gue sendiri?

Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.

Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?

Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?

Itu cerita lain.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Apartemen

Dino benaran nggak bisa ngitung.

Nggak mungkin kalau ini cuma dua belas orang. Gue udah ngitung lebih dari tiga puluh kepala, dan kalau bukan karena apartemen kita lumayan gede, nggak bakal muat segini banyak orang.

Kerumunan paling gede ada di ruang tamu, mereka lagi main entah apa. Gue sendiri lebih milih sibuk sama Pipop, anjing kecil yang dibawa Jenna, salah satu temennya Dino.

"Dino sering banget ngomongin lo," kata Jenna, sementara gue masih jongkok ngelus Pipop. "Psikologi, ya?"

"Iya," jawab gue singkat, tapi tetap ramah.

Jenna senyum, terus ngangkat Pipop ke pelukannya sebelum jalan pergi.

Gue baru sadar kalau sejak masuk kuliah, ekspresi gue datar banget. Bisa jadi karena gue masih beradaptasi sama lingkungan baru ini, bisa juga karena satu-satunya orang yang gue kenal cuma Dino. atau mungkin karena kejadian waktu itu masih ngefek ke gue.

Tapi yang jelas, gue hampir nggak ngobrol sama siapa pun. Gue nggak bisa nangkep ritme orang-orang di sekitar, dan mereka lama-lama capek sendiri buat coba ngajak gue ngobrol. Akhirnya, mereka milih buat menjauh. Gue nggak bisa nyalahin mereka juga sih.

Gue emang nggak pernah jago bersosialisasi.

"Asta!" Suara Dino dari ruang tamu bikin gue mengernyit. "Sini, cuy! Asta!"

Gue paksa diri buat senyum dan jalan ke arah grup di ruang tamu.

Jenna duduk di samping cowok berkulit gelap yang merangkul dia dari belakang. Kayaknya tadi pas perkenalan bilang kalau mereka pacaran. Vey ada di pojokan bareng dua cewek lain, sementara ada empat cowok yang namanya… yah, gue udah lupa.

"Semuanya ke ruang tamu!" teriak Dino.

Gue ngeluh pelan, tapi tetap jalan ke arahnya. Begitu gue berdiri di sampingnya, semua orang memperhatikan gue. Mereka semua tampil keren malam ini, beberapa orang berisik kayak Dino.

"Gue udah ngenalin nih orang ke kalian, kan?" Dino tiba-tiba ngerangkul gue, tangannya membebani bahu gue. "Rekomendasi terbaik." Dia kedipin mata ke beberapa cewek. "Dan yang paling penting… masih jomblo."

Gue langsung melepas diri dari pelukannya, muka gue panas. "Udahan, deh."

"Hah? Lo kira kita bikin pesta ini buat apa?"

Gue ngelirik ke sekitar. Vey lagi bisik-bisik ke cewek di sebelahnya sambil nyengir. Gue lanjut memperhatikan orang-orang, sampai mata gue tiba-tiba ketemu sepasang mata hitam yang cantik banget.

Cewek itu beda sendiri dari yang lain. Sementara yang lain dandan keren atau kasual, dia malah pakai outfit sporty. Hoodie merahnya, yang ada logo universitas, kebesaran, menutupi celana pendek yang dia pakai.

Dia tenang, tatapannya santai, tapi langsung menusuk mata gue. Gue susah payah nelen ludah. Dia cantik banget.

Gue masih bengong, memperhatikan dia kayak orang bego, sampai akhirnya dia angkat alis.

"Asta?" Suara Dino bikin gue akhirnya noleh lagi.

"Hah?"

"Gue bilang, mau ngomong sesuatu nggak? Biar mereka lebih kenal lo."

"Ehh..."

Gue langsung diam. Semua orang nungguin gue ngomong, dan tenggorokan gue tiba-tiba kering.

Apa yang harus gue bilang?

Kalau gue salah ngomong, kan, malu?

Terus tiba-tiba Vey berdiri dari sana dengan mata merah dan hidung meler karena nggak tahan melihat hewan-hewan. Sejak itu gue sadar, kalau gue nggak bakal sanggup.

Sekarang gue ada di balkon, melihat gemerlap lampu kota dari lantai tujuh apartemen kita. Dari kejauhan, kampus gue kelihatan, tempat di mana gue bakal habisin bertahun-tahun buat belajar.

Gue kangen rumah. Walaupun sebenarnya jaraknya nggak jauh-jauh banget, gue tahu kalau gue sering pulang tiap akhir pekan, adaptasi gue di sini bakal makin lama.

Dari dulu, orang-orang selalu bilang gue orangnya sensitif, nonton film aja sampe nangis-nangis. Justru karena hal-hal kayak gitu, gue milih buat belajar Psikologi. Otak manusia tuh kompleks banget, masih banyak yang belum kita pahamin. Dan gue pengen bantu orang-orang buat ngerti dan ngelola perasaan mereka.

Padahal dulu gue pengen banget jadi dokter hewan. Tapi waktu gue dateng ke rumah sakit hewan buat lihat langsung gimana kerja mereka, gue malah keluar dari sana dengan mata berkaca-kaca. Gue sadar, gue nggak punya hati yang cukup kuat buat ngelakuin itu setiap hari.

Pertanyaan yang mustahil dijawab. Kayaknya siapapun yang ada dalam radius lima meter dari dia otomatis jadi temennya.

Gue ketawa kecil, karena ada benarnya juga.

Carolline atau Caroll, seperti yang temen-temennya panggil, berdiri di sebelah gue, bersandar di pagar balkon. Dia kelihatan santai, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang bikin gue penasaran.

"Jadi, lo juga bukan tipe yang suka pesta?" tanya gue.

Dia ngangkat bahu. "Kadang-kadang, kalau gue lagi mood. Tapi malem ini gue lebih pengen cari udara segar daripada joget-joget nggak jelas di dalam."

"Sama."

Dia menyengir. "Tebakan gue benar, lo lebih milih suasana yang tenang, kan?"

Gue memengangguk, terus noleh ke arah pesta di dalam. Dino lagi heboh di tengah ruangan, kayaknya dia udah mulai minum lebih dari yang seharusnya. Jenna sama Vey masih ngobrol sama temen-temen mereka, sementara beberapa orang yang lain sibuk dengan permainan yang entah apa.

Gue kembali melihat Caroll. "Lo temenan sama Dino udah lama?"

Dia menyengir. "Cukup lama buat tahu kalau dia tukang rusuh."

Gue ketawa pelan. "Setuju."

Angin malam berembus, bikin rambut Caroll sedikit berantakan. Gue nggak tahu kenapa, tapi gue merasa lebih santai sekarang. Seakan gue akhirnya nemu seseorang di tengah semua keramaian ini yang nggak bikin gue pengen kabur.

"Pantes aja analisis lo dalam banget, lo anak Psikologi juga."

Caroll menyengir bangga. "Bisa dibilang begitu."

Gue nyenderin badan ke pagar balkon lagi, mata gue balik memperhatikan lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Udara dingin mulai terasa, tapi obrolan sama Caroll bikin gue lupa sama semua orang di dalam sana.

"Gimana, lo betah kuliah di sini?" tanya gue.

"Betah sih, tapi jujur aja, gue juga merasa agak capek. Makin lama semesternya, makin berat."

"Kebayang sih. Apalagi kalau dosennya mulai ngebombardir tugas."

"Benar banget!" Dia ketawa, terus melepas tudungnya, mengibaskan rambutnya yang panjang. "Tapi yaudah lah, mau nggak mau harus jalan terus."

Gue memperhatikan dia sebentar. Ada sesuatu di cara dia ngomong, santai, tapi juga serius. Kayaknya Caroll tipe orang yang nggak gampang nyerah.

"Lo tadi bilang kalau gue lebih suka ada di dalam kepala gue sendiri daripada di dunia nyata… itu benar banget."

"Hmm." Caroll narik sudut bibirnya, kayak udah bisa nebak. "Pasti suka overthinking, ya?"

Gue menyengir miris. "Parah."

Dia ngetok jidat gue pelan pakai ujung jarinya. "Jangan kebanyakan mikir. Dunia nyata kadang lebih seru dari apa yang ada di kepala lo."

Gue kaget sedikit, tapi malah ketawa. Jarang ada orang yang ngomong ke gue kayak gitu. Caroll benar-benar beda. "Oh, gitu."

"Jadi, jangan ragu buat minta bantuan gue kalau lo butuh sesuatu. Gue selalu siap bantu."

Gue memperhatikan dia dan sadar kalau cara dia ngomong sama ekspresinya tuh kelihatan dewasa banget. "Lo keluar ke balkon ini gara-gara gue?" tanya gue, penasaran. "Buat... nganalisis gue?"

"Lo kuliah Psikologi atau jadi psikolog bukan berarti lo bakal analisis semua orang tiap saat. Itu cuma berarti lo punya pemahaman lebih dalam soal perilaku dan cara mikir manusia."

Dengar dia ngomong kayak gitu bikin gue memperhatikannya lagi. Cantik, pinter, dan belajar di jurusan yang sama kayak gue.

Apa gue kelewatan kalau ngajak dia jalan?

Paling buruk apa?

Dia nolak?

Ya udah, bisa saja sih dia malah ilfeel. Padahal, dari semua orang di sini, cuma dia yang benaran ngobrol sama gue.

Jangan bikin kacau cuma gara-gara otak lo turun ke celana, Asta.

"Kenapa?" Dia nanya pas gue diam aja. "Muka gue kenapa?"

"Lo cantik banget."

Ya, bagus, Asta. Baru saja bilang jangan bikin kacau, malah ngerusak sendiri.

Tapi dia nggak kelihatan risih, malah senyum lebar ke gue.

"Makasih banyak, Asta."

"Sama-sama," jawab gue cepat.

Hening.

Dia maju selangkah. Terus selangkah lagi, sampai jarak di antara kita nyaris nggak ada. Terus dia dekatin muka, dan cium pipi gue.

"Sampai ketemu lagi, Asta."

Dia kasih senyum terakhir sebelum balik masuk ke dalam apartemen.

Gue refleks taruh tangan di dada. Jantung gue ngebut.

Lah, kalau dia dekatin gue gini, dia kira jantung gue bakal gimana?

Sistem kardiovaskular?

Yaelah, gue mulai kedengaran kayak Anan. Kebanyakan ngehabisin liburan bareng dia sama studi kedokterannya yang nggak ada habisnya bikin gue ketularan.

Gue balik ke dalam apartemen, dan tiba-tiba suasana udah chaos. Semua orang pada nyanyi sekenceng mungkin sambil joget heboh ke lagu yang gue sama sekali nggak tahu. Gue cuma bisa nyender di pojokan, memperhatikan mereka. Mata gue otomatis mencari Caroll, tapi dia udah nggak kelihatan. Tanpa sengaja, pandangan gue malah kelempar ke Vey.

Dia lagi joget sama dua temennya. Tangan dia narik ujung bawah dress-nya, melipat dikit ke atas, ngebiarin pahanya kelihatan lebih banyak. Cara dia goyangin pinggulnya, sial. Gue gigit bibir, niatnya mau alihin mata ke tempat lain, tapi nggak bisa. Tatapan gue balik lagi ke dia.

Sumpah, cara dia gerak, cara dia menikmati dirinya sendiri, seolah dia tahu se-seksi apa dia dan gue nggak bisa berhenti memperhatikan.

Terus dia lepasin dress-nya lagi, tangan naik ke rambut, bawa semua helaiannya ke atas sebelum dilepas pelan-pelan seiring gerak tubuhnya. Dan saat itu juga, mata kita ketemu. Dia senyum miring, jahil. Sekarang rasanya kayak dia joget buat gue doang.

Tangan dia naik dari pinggul, ke perut, terus ke dada, gerakannya, gila. Gue nyaris lupa kalau di ruangan ini ada banyak orang.

Terus, dia mulai jalan ke arah gue. Gue reflek geleng-geleng, tapi dia pura-pura nggak lihat. Dia tetap goyang, tepat di depan gue. Gigit bibir, terus memutar badan dan bokongnya mulai nyentuh bagian depan celana gue.

Gue langsung ngegenggam tangan di sisi badan, karena ini, ini jauh bikin gue keras.

Kapan terakhir kali gue tidur sama seseorang?

Dia makin menekan bokongnya ke gue. Nafas gue langsung berhenti sesaat. Dan nggak butuh waktu lama sebelum tubuh gue bereaksi dengan sendirinya.

Sial.

Gue harus berhentiin ini.

Gue buru-buru pegang pinggulnya, nahan dia biar stop. Tapi dia malah nyender ke gue, tangannya naik ke rambut gue, mainin ujungnya pelan. Dari posisi ini, gue bisa lihat wajahnya dari samping.

"Kita cuma joget, Asta."

Pembohong.

Dia tahu banget apa yang dia lakuin.

Gue cengkeram pinggulnya makin kuat, terus nyamperin kupingnya buat berbisik, "Berhenti manas-manasin gue."

Gue tekan tubuh gue ke dia, dan dia menghirup napas kaget.

"Kalau enggak, kenapa?" tanya dia pelan, ngetes gue. "Lo mau hukum gue?"

Gue otomatis ngebayangin dia dalam posisi yang... Aaarghhh.

Sial.

Gue buru-buru menggeleng, coba mengusir semua pikiran ngawur yang udah kelewat jauh. Dengan sisa kontrol yang gue punya, gue dorong dia pelan dan mundur. Terus, tanpa lihat ke belakang, gue langsung cabut ke kamar.

Dia manggil nama gue, tapi gue tetap jalan, menembus keramaian dengan napas masih nggak beraturan. Begitu masuk kamar, gue menutup pintu, nyenderin punggung ke kayu.

Gue merem. mencoba balikin napas gue ke ritme normal. Tapi di otak gue, sensasi tubuh dia, bokong dia yang menempel ke gue, masih jelas banget.

Gue usap muka, terus ngelempar badan ke kasur. Mungkin tidur bisa membantu. Butuh beberapa menit, tapi akhirnya gue ketiduran juga.

...Tok tok....

Gue kebangun gara-gara suara ketukan di pintu.

Dengan mata masih setengah merem, gue duduk, terus nyalain lampu kecil di meja samping kasur. Suara musik dan keributan di luar udah nggak ada. Kayaknya pesta udah bubar.

Gue cek HP.

04:20 pagi.

Gue gosok-gosok mata, terus jalan ke pintu. Perkiraan gue, Dino yang ngetok. Tapi ternyata bukan.

"Vey."

Dia senyum ke gue, terus masuk ke kamar tanpa nunggu izin. Pintu langsung dikunci dari dalam.

"Lo ngapain di sini?" Suara gue masih serak gara-gara baru bangun.

Makeup dia udah sedikit luntur, tapi tetap cantik banget.

Dia gigit bibirnya sebentar, terus senyum miring, tatapan jahilnya bikin gue langsung keinget lagi sama semua yang dia lakuin tadi.

"Lo takut sama apa, Asta?"

Suaranya lembut, tapi nadanya menggoda, mengegema di kamar yang sekarang cuma diterangi lampu tidur. Gue tarik napas pelan, mencoba buat nggak kebawa suasana.

Tapi sial, dia udah terlalu bikin gue keras.

Dia nurunin tangan ke celana gue, tapi gue langsung menangkap pergelangan tangannya buat nahan.

Tatapan dia mencari mata gue, terus dia miringin kepala dikit, ada kilatan jahil di matanya.

Apa yang sebenarnya gue lakuin?

Satu hal yang jelas, Vey udah jadi godaan yang bikin kepala gue penuh dengan hal yang nggak benar, dan gue sama sekali nggak tahu harus bagaimana mengatasinnya.

1
Ummi Yatusholiha
udah deh phyton kamu harus berusaha tegas ke melvin dan tinggalin melvin. ibu kamu gak akan bangga dgn keadaan kamu sekarang,yg ada pasti beliau sangat kecewa sama kamu.
cobalah utk hidup normal phyton
Ummi Yatusholiha
tuh ketahuan kan sama si melvin.. deg degan deh
Ummi Yatusholiha
egois banget si malvin
Ummi Yatusholiha
vey juga kok gitu sih,deket sama vino dan ngaku kecewa karna vino blm bisa move on dari bessie, tapi malah godain asta juga.. gatel gak tuh
Ummi Yatusholiha
kirain asta gak bakal tergoda sama vey,secara asta kan udah kesemsem banget sama selma.
arif didu
oo baru ngeh, jd si uar piton ini gay?
Ummi Yatusholiha
𝚘𝚊𝚕𝚊𝚊𝚊𝚊,𝚝𝚎𝚛𝚗𝚢𝚊𝚝𝚊 𝚋𝚎𝚜𝚜𝚒𝚎 𝚖𝚊𝚗𝚝𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚒 𝚍𝚒𝚗𝚘.. 𝚒𝚔𝚞𝚝 𝚔𝚊𝚐𝚎𝚝 𝚋𝚊𝚛𝚎𝚗𝚐 𝚊𝚜𝚝𝚊
Ummi Yatusholiha
𝚝𝚛𝚞𝚜 𝚔𝚎𝚗𝚊𝚙𝚊 𝚜𝚒 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚜𝚊𝚖𝚙𝚎 𝚔𝚊𝚢𝚊𝚔 𝚐𝚒𝚝𝚞 𝚔𝚎 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗.
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗
Ummi Yatusholiha
𝚘𝚖𝚎𝚐𝚘𝚝,𝚐𝚊𝚔 𝚗𝚢𝚊𝚗𝚐𝚔𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚗𝚢𝚊𝚝𝚊 𝚜𝚒 𝚌𝚘𝚠𝚘𝚔 𝚝𝚘𝚡𝚒𝚍 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔 𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊
Ummi Yatusholiha
𝚔𝚊𝚜𝚒𝚊𝚗 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗, 𝚔𝚊𝚢𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚍𝚒𝚊 𝚍𝚒 𝚋𝚊𝚠𝚊𝚑 𝚊𝚗𝚌𝚊𝚖𝚊𝚗 𝚝𝚞𝚑 𝚌𝚘𝚠𝚘𝚔 𝚍𝚎𝚑
Ummi Yatusholiha
𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗 𝚜𝚞𝚔𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚊𝚜𝚝𝚊 𝚔𝚊𝚑
Ummi Yatusholiha
𝚔𝚎𝚝𝚊𝚑𝚞𝚊𝚗 𝚋𝚎𝚜𝚜𝚒𝚎 𝚔𝚊𝚗 🤭
Ummi Yatusholiha
𝚝𝚎𝚛𝚒𝚖𝚊𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚢𝚊 𝚊𝚜𝚝𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚗𝚒𝚛𝚒𝚊,𝚐𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝚍𝚒𝚊 𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚐𝚘 𝚝𝚘 𝚙𝚊𝚛𝚝𝚢.
𝚜𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚍𝚘𝚗𝚐 🥰🥰
Ummi Yatusholiha
𝚝𝚞𝚑 𝚊𝚜𝚝𝚊,𝚍𝚊𝚙𝚊𝚝 𝚜𝚞𝚙𝚘𝚛𝚝 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚋𝚊𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗.. 𝚜𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚍𝚘𝚗𝚐 𝚋𝚛𝚘𝚘𝚘
Ummi Yatusholiha
𝚢𝚊 𝚊𝚖𝚙𝚢𝚞𝚗 𝚊𝚜𝚝𝚊𝚊𝚊𝚊,𝚖𝚎𝚕𝚘𝚠 𝚋𝚊𝚗𝚐𝚎𝚝 𝚍𝚎𝚑 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚌𝚘𝚠𝚘𝚔.
𝚜𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚌𝚘𝚌𝚘𝚔 𝚢𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 🥰🥰
Ummi Yatusholiha
anan zielle,kangen kalian deh 🥰🥰
Ummi Yatusholiha
selma terima gak tuh ajakan asta 😊
Rainn
Kak sorry ini cerita asta? Anan belum ya kak? Aku lupa smpet kaget kirain asta itu aman, lah kok sma carolin bukan sma ze 🥹 trnyata asta ya si bungsu 🤭
Rainn: Yg anan zee season 2 kapan updte kak?
Nah ini nih ciri khas nya teka teki yg amazing 🤤
DityaR: Anan udah tenang sama Zee, kak.
Asta bukan juga sama carroline, tapi sama .....
total 2 replies
Ummi Yatusholiha
𝚔𝚊𝚢𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚊𝚜𝚝𝚊 𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐 𝚋𝚞𝚝𝚞𝚑 𝚙𝚜𝚒𝚔𝚘𝚕𝚘𝚐 𝚍𝚎𝚑..
𝚜𝚎𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚍𝚐𝚗 𝚊𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚗𝚎𝚖𝚞𝚒𝚗 𝚓𝚊𝚝𝚒 𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚍𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚙𝚊𝚒𝚗 𝚟𝚎𝚢..𝚐𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚝𝚞𝚓𝚞 𝚔𝚕𝚘 𝚊𝚜𝚝𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚟𝚎𝚢
Ummi Yatusholiha
𝚑𝚊𝚍𝚎𝚞𝚑 𝚊𝚜𝚝𝚊𝚊𝚊,𝚝𝚊𝚖𝚋𝚊𝚑 𝚔𝚊𝚌𝚊𝚠 𝚍𝚎𝚑 𝚔𝚕𝚘 𝚐𝚒𝚝𝚞
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!