Saat keadilan sudah tumpul, saat hukum tak lagi mampu bekerja, maka dia akan menciptakan keadilannya sendiri.
Dikhianati, diusir dari rumah sendiri, hidupnya yang berat bertambah berat ketika ujian menimpa anak semata wayangnya.
Viona mencari keadilan, tapi hukum tak mampu berbicara. Ia diam seribu bahasa, menutup mata dan telinga rapat-rapat.
Viona tak memerlukan mereka untuk menghukum orang-orang jahat. Dia menghukum dengan caranya sendiri.
Bagaimana kisah balas dendam Viona, seorang ibu tunggal yang memiliki identitas tersembunyi itu?
Yuk, ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 4
Viona membawa Merlia pulang ke rumah kontrakan mereka. Meletakkan gadis itu di atas sebuah tikar di ruang tengah dengan keadaan basah kuyup. Ia menatap sang putri dengan linangan air mata. Ada banyak lebam di wajah, bekas tamparan di kanan dan kiri pipinya. Juga sudut bibir yang robek.
Pandangannya turun pada leher Merlia, ada banyak bekas kebiruan di sana hampir menutupi. Jatuh air matanya, sesak serasa diremas hatinya. Viona berusaha menahan tangis agar sang anak tetap tenang.
Siapa yang tega melakukan ini kepadamu, sayang?
Hatinya bergetar, enggan menurunkan pandangan lebih jauh lagi. Namun, sesuatu menarik rasa penasarannya, kancing kemeja yang terlepas. Ada robek di beberapa bagian, juga bercak darah pada seragam itu.
Dengan tangan gemetar, Viona membuka kemeja Merlia. Ia menjerit tanpa suara sembari menutup mulut. Tubuhnya bahkan terjengkang seolah-olah ada sesuatu yang menghantam. Semakin perih luka di hatinya, air mata berlinang deras. Ia kembali mendekat. Tak berani menyentuh luka di bagian dada Merlia.
Luka robek bekas senjata tajam yang panjang meski tak dalam. Di dadanya tak luput dari tanda kebiruan sama seperti di leher. Viona tergugu, terisak-isak tak tertahan. Ia beranjak ke dapur mengambil air hangat dan handuk, pakaian ganti juga obat yang selalu dia sediakan.
Tanpa ia tahu, Merlia tengah menangis. Meratapi nasibnya yang malang, menyadari keberadaannya hanyalah beban untuk sang ibu.
Maafkan Lia, Ibu. Lia tidak mampu menjaga diri. Lia sudah kotor, Lia sudah tidak ingin hidup lagi.
Merlia merintih di dalam hati, tak hanya tubuhnya yang sakit, tapi jiwa serta mentalnya pun hancur berkeping-keping. Ia tak akan pernah lagi berani melihat dunia luar. Merlia membuka kelopak, air matanya jatuh tiada henti.
"Merlia! Apa yang kau lakukan?" pekik Viona seraya meletakkan baskom yang dibawanya di atas lantai, berlari mendekati Merlia yang berusaha meraih gunting di atas meja kecil. Ia merebut benda itu dan melemparnya jauh.
"Apa yang kau lakukan, sayang? Jangan lakukan hal-hal yang membuat ibu semakin sakit," ucap Viona menangkup wajah Merlia yang bersimbah air mata. Ia pun menangis.
Merlia menjerit di dalam pelukan Viona. Menumpahkan tangis sejadi-jadinya. Dia lemah dan tak berdaya.
"Aku sudah kotor, Bu. Aku malu, Bu! Lebih baik aku mati dari pada harus hidup menanggung malu, Ibu!" ucapnya sembari menangis pilu.
Viona memeluk erat anaknya, menggelengkan kepala menolak kata-kata itu. Dia tak kalah sakit, hatinya perih bagai disayat seribu sembilu.
"Tidak! Kau gadis yang kuat. Kau harus kuat, Merlia. Demi Ibu!" Viona melepas pelukan, kembali membingkai wajah Merlia dengan kedua tangannya.
"Kau dengarkan Ibu baik-baik. Kau tidak boleh melakukan hal bodoh sebelum membalas kejahatan mereka. Kau harus melihat bagaimana mereka menderita atas perbuatan yang telah mereka lakukan padamu malam ini. Apa kau mengerti, sayang? Kau harus kuat sampai waktu itu datang!" ucap Viona sembari menahan air mata untuk menguatkan putri semata wayangnya itu.
Viona menatap tegas kedua manik sayu Merlia, dia ingin anaknya menjadi kuat. Apapun yang terjadi di masa depan, Viona hanya ingin Merlia siap menerimanya.
Perlahan kepala Merlia mengangguk, air matanya tak henti berjatuhan. Dia tidak dapat menahan tangis. Viona mendekapnya kembali, beberapa saat menghantarkan ketenangan dan kehangatan pada hati Merlia.
Ia melepas pelukan, membuka perlahan pakaian sang anak. Bagaimana tak menangis? Ada banyak luka sabetan di bagian punggung. Seperti bekas ikat pinggang, luka berdarah.
Aku akan membalas seribu kali lipat atas semua luka di tubuh anakku malam ini!
Dia mengancam sembari mengusap bagian punggung Merlia dengan handuk lembut yang sudah dicelupkan ke dalam air hangat. Sangat pelan dan hati-hati, ia akan berhenti ketika Merlia berdesis nyeri. Viona memejamkan mata, tak kuasa melihat semua luka itu.
"Tahan, sayang. Mungkin ini akan terasa sedikit sakit," bisiknya saat hendak mengoleskan salep pada semua luka Merlia.
Gadis itu memejamkan mata sembari menggigit bibir kuat-kuat. Tangannya mengepal, menahan semua rasa sakit yang mendera. Serasa seluruh tulang yang remuk luruh semuanya.
"Kau anak hebat!" puji Viona dengan suara bergetar seraya membalut luka-luka itu dengan plester dan kain kasa sebelum memakaikan baju pada Merlia.
Ia membawa sang anak pindah ke kamar agar dapat beristirahat dengan baik.
"Apa kau lapar? Ibu membelikan makanan kesukaanmu," tawar Viona menahan lidah agar tidak bergetar.
Merlia mengangguk, keadaannya jauh lebih baik. Ia merasa aman ketika berada di dekat sang ibu. Viona beranjak mengambil bungkusan yang sembarang ia lemparkan. Dibukanya bungkusan itu, dipindahkannya ke dalam sebuah piring.
"Ibu suapi," katanya disambut anggukan kepala oleh Merlia.
Perlahan-lahan ia menyuapi sang anak, sembari sesekali menguap air mata yang jatuh. Merlia benar-benar tak tega melihatnya, tapi dia harus kuat demi sang ibu. Dia tidak boleh membuatnya semakin kecewa.
"Ibu sudah makan?" tanyanya pelan.
Viona tersenyum, ia tak lagi lapar setelah melihat keadaan anaknya. Bagaimana dia bisa makan? Bayangan sekujur tubuh Merlia yang luka membuat perutnya penuh terisi oleh rasa dendam yang membara.
"Ibu akan makan setelah kau kenyang, sayang. Kau harus makan banyak agar cepat sembuh," jawab Viona sembari mengusap pipi sang anak.
Merlia menggelengkan kepala, sudah merasa kenyang. Padahal biasanya dia habiskan nasi bungkus itu.
"Baiklah. Sisanya ini Ibu yang akan menghabiskan. Kau sebaiknya cepat beristirahat," ucap Viona sembari tersenyum getir.
Merlia mendongak, matanya yang sedikit membiru menatap wajah lelah Viona.
"Ibu, aku ingin pergi dari sini. Aku tidak ingin tinggal di sini lagi. Bisakah kita pergi, Ibu?" pinta Merlia menggenggam tangan Viona yang terasa dingin.
Wanita itu menyeka air mata dengan kepala tertunduk. Lalu, tersenyum saat mengangkat wajah dan mengangguk.
"Kita akan pergi dari sini, tapi kau harus sembuh terlebih dahulu. Kau mengerti, sayang?" jawab Viona diangguki Merlia.
Ia membantu gadisnya berbaring miring, menyelimutinya, mengusap kepalanya dan memberikan sebuah kecupan penuh kasih sayang.
"Tidurlah!" katanya seraya beranjak.
Viona menatap lekat-lekat wajah sang putri, senyumnya hilang berganti tatapan dingin menusuk. Wajah Viona berubah bengis, sesuatu yang coba dia kubur harus naik ke permukaan kembali.
Ia berjalan tanpa suara, keluar dari kamar. Berdiri menyandarkan punggung pada dinding di samping pintu. Air matanya kembali luruh, ia tutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara.
"Apa yang telah aku perbuat sehingga anakku harus mengalami penderitaan seperti ini?" Ia menengadah, menatap langit-langit ruangan yang sudah kusam.
Viona menarik udara, menegakkan tubuh. Dia tidak boleh lemah, harus kuat untuk membalas kesakitan anaknya.
"Aku akan mencari tahu siapa saja yang sudah melakukan ini kepada putriku," katanya dengan tangan terkepal.
"IBU!"
kyknya Peni yg terakhir.. buat jackpot bapaknya.. si mantan Viona..!! 👻👻👻