Seorang pemuda tanpa sengaja jiwanya berpindah ke tubuh seorang remaja di dunia lain. Dunia dimana yang kuat akan dihormati dan yang lemah menjadi santapan. Dimana aku? Itulah kata pertama yang diucapkannya ketika tiba di dunia yang tidak dikenalnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mdlz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketujuh Belas
Geram di dalam hati, pelayan toko pun bergegas pergi kearea belakang. Tidak lama berselang, seorang wanita paruh baya diikuti pelayan toko tadi, berjalan keluar dari ruangan bagian dalam toko.
“Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” tanya sang manager toko kepada si wanita dewasa, orang yang mengaku dari Keluarga Nylon.
Dengan ketus, Wanita dewasa itu berkata. “Aku dari Keluarga Nylon, sudah berlangganan lama di toko ini. Kenapa setelan baju ini begitu mahal untuk pelanggannya?”
Sebelum manager toko menanggapi, pelayan toko menyerahkan setelah brokat putih kepada manager toko, lantas berkata. “Setelan baju ini yang dimaksud oleh Nyonya itu, Manager.”
“Oh, setelan baju ini harganya dua ribu tujuh ratus koin emas. Karena Keluarga Nylon adalah pelanggan toko kami, maka kami berikan diskon sepuluh persen. Bagaimana,?” ujar manager toko setelah mengetahui jenis barang yang di persoalkan.
Wanita dewasa itu kembali terkejut, “Apa! Hanya diskon sepuluh persen! Kenapa pakaian ini sangat mahal?”
“Jika Nyonya keberatan, maka kami tidak bisa memberikan diskon lebih.” tandas manager toko dengan nada tidak senang.
Melihat situasi ini, Arsa angkat bicara, “Setelan baju ini tadinya akan dibeli oleh adikku, tapi orang kaya ini merebutnya. Apa kalian tidak punya cukup uang untuk membeli?”
Mendengar ini, si gadis muda menanggapi dengan nada sombong, “Keluarga Nylon kami adalah Keluarga terkemuka di kota Dreams. Hanya dua ribu tujuh ratus koin emas, itu hanya uang kecil belaka bagi kami.”
“Jika itu memang uang kecil, kenapa harus menawar dan melotot setelah mengetahui harganya?” tanya Arsa dengan senyum mengejek.
Baik si wanita dewasa maupun si gadis muda, terdiam membisu tanpa memberikan tanggapan. Keduanya hanya mendengus kesal sambil membuang muka dan berlalu pergi.
“Adik, serahkan pakaiannya! Kakak sudah lapar.” pinta Arsa sambil melirik tersenyum, mengarahkan adiknya untuk menyerahkan setelan baju terpilih kepada petugas kasir.
Setelah menghitung, pelayan toko itu berbicara, “Adik kecil, tiga baju ini harganya sembilan koin emas. Dan jika ditambah dengan setelan baju putih ini, maka totalnya adalah sebelas ribu tujuh ratus koin emas.”
Mendengar apa yang dikatakan pelayan toko, gadis muda dan si wanita dewasa yang masih tidak jauh dari situ terkejut. Bagi mereka, jumlah harga itu adalah satu tahun belanja, bahkan pasti lebih.
“Ini koin emasnya. “Arsa langsung mengeluarkan sebelas ribu tujuh ratus sepuluh koin emas.
Melihat bagaimana Arsa dengan santainya mengeluarkan ribuan koin emas, semua orang di dalam toko tercengang, mata mereka membelalak tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.
“Tuan muda, ada kelebihan sepuluh koin emas,” kata pelayan toko sembari menyerahkan koin emas yang di maksud.
Arsa tersenyum, merangkul adiknya seraya berjalan ke luar toko, “Ambil saja untukmu.”
“Tuan Muda, mohon tunggu!” panggil manager toko, lantas menyerahkan sesuatu, “ini adalah kartu pelanggan toko kami. Bagi pemegang kartu ini, akan mendapatkan diskon dua puluh persen.”
Melihat betapa mudahnya Arsa mengeluarkan ribuan koin emas, sang manager toko langsung berinisiatif memberikan kartu pelanggan kepada Arsa.
Melihat jenis kartu yang terbuat dari logam tembaga berlapis emas, Arsa menerimanya seranya berkata. “Baiklah, terima kasih banyak.”
Begitu Arsa dan adiknya meninggalkan toko, si wanita dewasa bertanya kepada manager toko, “Nyonya Manager, apa kamu tahu siapa pemuda kaya itu?”
“Maaf, kami baru melihatnya hari ini. Dan kebetulan juga, aku adalah manager baru di sini, “Jawab manager toko.
“Ayo, kita ikuti mereka! Jika kamu bisa menarik perhatiaannya, kamu bisa membeli apa saja yang kamu inginkan, “bisik wanita dewasa kepada gadis muda di sampingnya.
***
Restoran..
Di perjalanan, Lita Nugraha sangat gembira, senyum merekah menghiasi wajahnya yang mungil dan imut. tak henti-henti bernyanyi riang di sepanjang perjalanan.
“Kakakku yang tampan. Apakah besok kita akan berbelanja lagi?” tanya Lita dengan riang dan tersenyum-senyum.
Arsa mengerutkan kening, “Berbelanja lagi? Kakak akan kembali latihan tertutup selama satu tahun.”
“Kakak! Kenapa Kakak begitu tega dengan adikmu yang manis dan imut ini!” pekik Lita Nugraha, ekspresinya ambigu antara memelas dan kesal.
Arsa tidak menanggapi, hanya tertawa kecil seraya merangkul bahu adik perempuannya itu, hingga tiba di sebuah restoran yang terbilang sangat mewah dan ramai pengujung.
Di dalam Restoran, Arsa dan adiknya memilih duduk di salah satu sudut ruangan yang ada di dalam restoran, hal itu dikarenakan situasi di dalam restoran saat ini sedang ramai.
Seorang pelayan menghampiri, langsung menanyakan pesanan kepada Arsa, “Tuan muda ingin memesan sesuatu?”
“Sediakan kami bakmi daging dua porsi!” angguk Arsa memesan.
Ketika sedang menunggu makanan yang dipesan, Arsa melihat kearah salah satu meja. Tampak dua orang pengunjung, yang mana salah satunya sedang memandang kearahnya dengan tajam.
Dimana orang itu, lelaki tua berkisar tujuh puluhan tahun, ditemani seorang gadis, yang setidaknya berusia sekitar enam belas tahun, duduk dengan manis sembari menunggu pesanan datang.
Mendapati Arsa juga memandang kearahnya, lelaki tua itu tersenyum, menganggukan kepala sebagai tanda sapa yang begitu ramah.
Melihat sikap baik ini, Arsa juga mengangguk dan tersenyum sebagai balasan, dia tidak bisa mengabaikan jika ada orang yang bersikap baik padanya.
“Guru, siapa dia?” tanya lirih gadis disebalah lelaki tua itu.
“Aku tidak tahu. Pemuda ini tidak sesederhana kelihatannya,” jawab si lelaki tua dengan suara nyaris berbisik.
“Tidak sesederhana kelihatannya? Kenapa bisa begitu, Guru?” si gadis kembali bertanya dengan penasaran, matanya melirik ke arah Arsa.
Sambil menikmati makanannya, lelaki itu menjelaskan, “Usia tulangnya baru berumur lima belas tahun, tapi kultivasinya sudah mencapai Tahap Transformasi tingkat Ketujuh.”
“Dan anehnya, pemuda itu mempu menyembunyikan kultivasinya hingga lima tingkat.” lanjut si lelaki tua, matanya berbinar penuh minat melihat sosok Arsa yang ada di depannya.
Mendengar apa yang dikatakan gurunya, gadis itu tertegun lama. Matanya agak melebar, menatap kearah Arsa dengan penuh kekaguman dan rasa ingin tahu yang tinggi.
Pasalnya, dia sendiri berusia enam belas tahun. Tetapi kultivasinya baru mencapai Tahap Transformasi tingkat Pertama, itu sudah menjadi seorang jenius.
*
Tidak lama kemudian, makanan yang dipesan sudah disajikan oleh pelayan di meja Arsa dan adiknya, mereka segera menyantap makanan tanpa menunggu lama.
Sambil menikmati bakmi daging, Arsa mendengarkan obrolan para pengunjung restoran di sekitarnya, dia merasa lucu dengan apa yang dikatakan oleh orang-orang di sekitarnya.
“Apa kalian sudah dengar, kalau kediaman Keluarga Bohim disusupi pencuri?” kata seorang pria muda di meja lainnya.
“Pencuri? Yang benar?” sahut teman-teman pemuda itu dengan raut tidak percaya, mereka semua tahu bagaimana menakutkannya Keluarga Bohim.
Pemuda itu menanggapi dengan ketus, “Apa kalian hanya tidur saja selama ini? Berita itu sudah tersebar luas seminggu yang lalu, tapi kalian malah tidak tahu sama sekali.”
“Menurut apa yang aku dengar, ruang harta Kelurga Bohim dikuras habis oleh pencuri itu. Bahkan tidak menyisakan apa pun,” lanjut pemuda itu, seolah dia mengetahui kejadian dengan persis.
“Apakah Keluarga Bohim memprovokasi pihak lain sehingga hartanya di sapu bersih sampai ke akar-akarnya?” tanya seorang teman.
Pemuda itu mengangkat kedua bahu, “Mungkin saja. Yang jelas, patriak Bohim sangat marah, kerugian yang di deritanya sangat besar. Mungkin akan berpengaruh dengan ekonomi dan kekuatan keluarga.”
Seorang teman yang lain juga bertanya, “Apakah Keluarga Bohim tidak menyelidikinya? dengan kekuatan yang mereka punya, sepertinya akan mudah untuk mengetahui siapa yang merampok mereka!”
“Yang aku dengar, patriak Bohim menyewa beberapa ahli, dan juga mendapat dukungan penuh dari Keluarga kelas satu dari kota distrik,” sahut si pemuda menyakinkan.
Di tengah ketenangan restoran, tiba-tiba. Seorang berbadan kekar berteriak diluar restoran, “Hei, Bocah! jangan mendekat! Kalian anak miskin, dilarang mendekati kami! Cepat menjauh!”
Seoarang anak laki-laki usia sebelas tahun, menanggapi dengan suara bergetar, “Kami tidak mendekatimu. Kami akan membeli makanan di restoran.”
“Plak!” pria kekar itu menampar ringan. Kendati demikian, benturannya membuat bocah laki-laki itu jatuh tersungkur.
“Kalian bertiga, cepat menyingkir! Jika tidak, akan kupatahkan kaki kalian semua!” lanjut si pria kekar dengan mata melotot, menunjuk jari kearah lain tanda mengusir.
Mendengar apa yang dikatakan si pria kekar, dua bocah laki-laki dan satu perempuan, ketakutan dengan tubuh gemetar dengan keringat yang membasahi keningnya.
Melihat peristiwa tidak menyenangkan ini, Arsa langsung bertindak, bergegas menghampiri ketiga bocah yang sedang tergeletak di jalanan sembari ketakutan.
“Adi, Bagus, Mila, kalian di sini, ayo masuk! Biar kakak yang mentraktir,” sapa Arsa dengan tersenyum ramah.
“Kakak Arsa!” pekik Mila, si gadis kecil berusia lima atau enam tahunan, memanggil seraya menjulurkan tangan kananya ke arah Arsa.
“Jadi kamu kakaknya?” kata si pria kekar dengan nada menghardik. Lalu berkata. “Bagus sekali! Aku perlu memberimu pelajaran agar bisa mengajari adik-adik miskinmu ini.”
Tanpa jeda, pria kekar itu bergerak, melayangkan pukulan, meninju dada Arsa dengan kekuatan penuh tanpa sedikit pun di tahan.
Mendapati Arsa tidak menghindar, si pemuda kekar tersenyum penuh kemenangan. Dia sudah memastikan, jika pukulannya akan menyebabkan melapetaka.
“Kakak! Awas!” teriak ketiga bocah memperingatkan Arsa.
“Bam!” suara ledakan teredam terdengar, tercipta dari benturan tinju dan dada Arsa, diikuti suara gemertak tulang. “krak!”
“Aaaarrggg…!” bukan Arsa yang menjerit, melainkan si pemuda kekar yang berteriak kencang, lengan kanannya tampak berubah posisi membentuk sudut yang aneh.
Baik ketiga bocah maupun pengunjung restoran, membeku di tempat dan tercenggang. Rahang mereka jatuh, membuat mulut mereka menganga lebar.
“Pemuda ini sangat kuat! Siapa dia? Dari mana asalnya?” bisik seorang pengunjung bertanya dengan raut wajah penasaran.
Pengunjung yang lain menanggapi, pun dengan berbisik, “Apa kamu tidak tahu? Dia itu Arsa Nugraha . Putranya Wahyu Nugraha, cucu dari Patriak Keluarga Nugraha.”
“Lihat! Orang kekar itu setidaknya sudah berusia dua puluh tahun, tapi lengannya patah karena memukul pemuda ini.”
“Seberapa kuat tubuhnya?”
“Apakah dia melatih Keterampilan Teknik Tubuh?”
Berbagai tanya dan tanggapan, bergulir dalam bisik-bisik di banyak titik sudut restoran, utamanya pengunjung restoran yang melihat kejadiaan itu dari dekat.
*
Arsa masih berdiri di tempat, kepalanya sedikit menunduk, melihat dadanya sendiri, diikuti tangannya yang mengibas ke dada, seolah sedang membersihkan debu yang menempel.
Menegakkan kepala, menatap pria kekar yang memukulnya, Arsa bertanya sarkasme, “Apakah kamu akan mengajariku lagi?”
“Siapa kau? Kenapa kamu ikut campur dengan urusan kami?” sela Midun Nylon, seorang tuan muda dari keluarga Nylon.
“Ikut campur?” sahut Arsa menatap dingin, lantas berkata, “apa aku tidak salah dengar? Kalian ini sudah dewasa, mereka bertiga masih bocah cilik. Apakah kalian hanya mampu menggertak orang-orang lemah?”
Dengan kepercayaan diri yang tidak berkurang sedikit pun, Midun Nylon menanggapi dengan mimik sombong, “apa kamu tahu siapa aku, ha?”
“Aku adalah Tuan muda dari Keluarga terkemuka di Kota Dreams ini. Jika kamu berlutut sekarang, aku akan menganggap masalah ini selesai sampai disini,” Lanjut Midun Nylon dengan melipat kedua tangan di depan dada.
Arsa melengkungkan sudut mulutnya sedikit ke atas, “Kalian ini lucu sekali. Bagaimana jika tidak?”
“Maka kamu akan menyesalinya, “Geram Midun Nylon, langsung memberi perintah kepada para bawahannya, “kalian semua! Hajar dia, biarkan dia merasakan akibat menyinggung Tuan Muda ini!”
Mendapati tanggapan yang tidak diharapkan, Arsa tersenyum dan menggelengkan kepalanya, bingung dengan jalan pikiran orang-orang bebal yang merasa jika dirinya paling berkuasa hanya mengandalkan nama keluarga.
Melihat tiga orang kekar meyerang kearahnya, Arsa mengaktifkan Teknik Mata Dewa dengan pikirannya, ‘Mata Dewa, Mata Ilusi!’