Sungguh berat beban hidup yang di jalani Sri Qonita, karena harus membesarkan anak tanpa suami. Ia tidak menyangka, suaminya yang bernama Widodo pamit ingin mencari kerja tetapi tidak pernah pulang. Selama 5 tahun Sri jatuh bangun untuk membesarkan anaknya. Hingga suatu ketika, Sri tidak sanggup lagi hidup di desa karena kerja kerasnya semakin tidak cukup untuk biaya hidup. Sri memutuskan mengajak anaknya bekerja di Jakarta.
Namun, betapa hancur berkeping-keping hati Sri ketika bekerja di salah satu rumah seorang pengusaha. Pengusaha tersebut adalah suaminya sendiri. Widodo suami yang ia tunggu-tunggu sudah menikah lagi bahkan sudah mempunyai anak.
"Kamu tega Mas membiarkan darah dagingmu kelaparan selama 5 tahun, tapi kamu menggait wanita kaya demi kebahagiaan kamu sendiri"
"Bukan begitu Sri, maafkan aku"
Nahlo, apa alasan Widodo sampai menikah lagi? Apakah yang akan terjadi dengan rumah tangga mereka? Kita ikuti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
"Selamat malam" ucap bapak yang berpakaian koko lengkap dengan peci bertamu ke rumahnya.
"Selamat malam, Bapak ini siapa?" Widodo tidak mengenal pria itu.
"Saya rt sini" tamu yang tak lain ketua rt setempat itu mengatakan jika ada yang kontrak baru harus lapor ke rt, rw lebih dulu.
"Baik Pak, nanti malam saya ke rumah Bapak" Widodo minta pak rt masuk lebih dulu, tapi pak rt menolak. Widodo minta alamat lengkap dan berjanji nanti malam setelah isya akan datang. Setelah rt pergi, Widodo melanjutkan makan mie yang sudah melar memenuhi mangkuk.
Begitulah kehidupan Widodo saat ini, setiap hari ia narik angkut dan tidak pernah absen selalu berhenti di depan ruko ingin melihat Sri dan Laras. Kadang juga Sri numpang angkutan miliknya bila ingin ke pasar, tentu saja Widodo senang sekali.
Hingga suatu ketika Widodo merubah penampilan rambut agar Sri tidak mengenali karena ingin membeli nasi uduk. Selain rindu masakan Sri, ia juga ingin menatap Sri lebih dekat. Widodo berdiri di depan ruko memandangi mantan istrinya yang tengah melayani pembeli dengan ramah dan semakin cantik saja.
Rupanya setelah tiga hari luka pundak Sri sudah sembuh, bahkan sudah mengirim ke restoran Pras. "Abang mau sarapan juga?" Tanya Sri ketika antrian hanya tinggal Widodo.
"Saya mau nasi uduk Mbak, sekalian kopinya" jawab Widodo tersenyum karena Sri tidak mengenalinya setelah mengenakan rambut dan kumis palsu.
"Oh, duduk Bang" Sri minta mantan suaminya masuk tanpa dia sadari, lalu menyuruh Yani membuat kopi sementara dirinya yang melayani nasi uduk agar selesai bersamaan.
"Terima kasih" Widodo masuk ke dalam ruko. Begitu melihat Laras ia tersenyum senang, lalu duduk di dekat putrinya yang tengah mencium boneka sambil komat kamit mengajak bicara seperti seorang ibu yang menimang anaknya.
"Boneka kamu bagus, siapa yang membelikan?" Widodo menyentuh boneka tersebut dengan perasaan bersalah karena tidak pernah membelikan mainan padahal dulu banyak uang.
"Bunda saya, Om" Laras berpaling dari boneka menatap Widodo seksama. Anak itu lagi-lagi merasa dekat dengan pria yang baru dia kenal itu, tetapi tentu saja harus menjaga jarak dengan orang yang tidak dikenal seperti kata bundanya.
"Oh, bonekanya bagus, pantas kamu senang sekali" Widodo menekan tangan boneka yang dipegang Laras.
"Sarapannya Bang" Yani mengantar pesanan menghentikan obrolan Widodo dengan Laras.
"Terima kasih" Widodo menoleh Sri ke depan rupanya sibuk melayani pembeli, padahal Widodo berharap Sri yang mengantar pesanan untuknya.
"Laras sudah sarapan, kita sarapan bareng yuk?" Widodo menghayal bisa makan bareng bersama putri pertamanya itu.
"Saya sudah makan, Om"
Widodo merasa sepi mempunyai dua anak tetapi tidak bisa berdekatan. Jika ingin melihat Ara pun datang ke sekolah dengan cara sembunyi-sembunyi. Ia menarik napas panjang, entah sampai kapan ia akan seperti ini.
Widodo menunduk menatap piring kala aroma nasi uduk yang masih panas itu masuk ke lubang hidung. Segera ia menyuap melupakan masalahnya sejenak.
Sementara Sri masih terus melayani pembeli yang berjumlah 4 sampai 5 porsi karena kebanyakan mereka bawa pulang.
"Mbak Sri tambah hebat saja" kata salah satu pelanggan kontrakan yang lama, karena Sri sekarang bukan hanya menjual sarapan saja, tapi juga minum-minuman.
"Bukan hebat Bu, tapi saya harus mengejar target agar bisa membayar sewa ruko" Sri bahkan sudah mempunyai rencana tidak hanya berjualan sarapan saja, tapi akan menjual nasi rames hingga tutup malam.
"Mudah-mudahan lancar Mbak Sri, nanti kalau nambah karyawan aku mau ikut Yani kerja membantu Mbak Sri ya" kata pelanggan sungguh-sunguh.
"InsyaAllah Bu" Sri tersenyum.
Ketika pembeli masing-masing pergi, mobil mewah berhenti di depan ruko. Mata Sri menyipit memastikan jika mobil yang baru berhenti itu ia kenal. "Untuk apa Sally datang kesini?" Batin Sri karena tidak mungkin wanita itu membeli.
Namun Sri harus ke dalam karena pelanggan pria yang tak lain Widodo memanggilnya butuh sesuatu. Sri harus melayani pembeli dengan baik agar tidak mengecewakan.
Hanya tinggal Yani yang berdiri di sana. "Ada yang bisa saya bantu Nona?" Tanya Yani karena yang datang bukan pelanggan biasa, bahkan wanita itu berpakaian mewah seperti model, anting-anting besar dan rambut tergerai indah berjalan tergesa-gesa sembari menuntun anak.
"Sri ada?" Tanya Sally pada intinya.
"Ada, tapi sedang melayani pembeli di dalam, Non" Yani menoleh ke belakang di mana Sri ambil air mineral untuk Widodo. Namun, begitu menoleh lagi wanita di depanya sudah berjalan ke dalam ruko tanpa permisi.
"Sri, dimana Mas Widodo kamu sembunyikan?" Tanya Sally ketus.
Sri menatap Sally bingung, sudah tiga bulan tidak bertemu Sally tiba-tiba datang menanyakan Widodo. "Anda ini lucu, Anda kan istrinya Widodo, tapi kenapa mencari ke sini, salah alamat, Mbak"
"Jangan pura-pura, sudah seminggu Mas Widodo tidak pulang, kemana lagi jika bukan bersama kamu" Sally benar-benar mencurigai Sri.
Sementara Widodo hanya menunduk menjadi pria pengecut, pura-pura sibuk menutup botol air mineral. "Duuuh... kenapa jadi begini?" Batinya.
"Heh, mana Papa saya, kamu kan yang umpetin Papa?" Ara tiba-tiba mendamprat Laras yang berdiri di belakang Sri.
"Aku nggak tahu dimana Ayah Ra, Ayah tidak pernah menemui aku" jawab Laras jujur.
"Bohong, Papa pasti kamu sembunyikan, ini boneka pasti pemberian Papa kan? Sini boneka saya" Ara merebut boneka Laras.
Laras menangis tersedu-sedu segera merangkul Sri dari belakang.
Sri tidak mau melihat putrinya sedih lalu menggendong dan mengusap-usap bahunya. Ia menatap Ara tidak berkata-kata, hanya merasa aneh dan bingung, karena anak belum genap lima tahun sudah mempunyai sifat buruk.
"Ara, kembalikan boneka itu" Sally mengatakan akan membelikan boneka yang lebih mahal.
"Ini boneka aku Mama, anak pembantu ini tidak mungkin mampu membeli" Ara meremehkan.
Widodo menunduk sedih mendengar sifat putri keduanya yang semakin kasar, tapi dia yang menyamar itu tidak bisa berbuat apa-apa.
"Mbak Sally, tolong tinggalkan ruko saya, karena kedatangan Mbak mengganggu kenyamanan kami" Sri mengusir secara halus karena Sally dan anaknya membuat keributan.
"Sombong sekali kamu Sri" Sally tidak terima diusir Sri.
"Sekali lagi tolong pergi Mbak, cari suami Anda ke tempat lain saja" Sri mengulangi.
"Bunda... boneka aku" Laras yang masih menangis digendongan Sri melirik boneka di pelukan Ara.
"Ini boneka aku" Ara pindah dan berdiri di depan Sally.
"Sayang... relakan boneka itu, besok bunda belikan lagi" Sri lebih baik boneka itu dibawa Ara yang penting segera pergi. Sri takut keributan ini didengar oleh para pelanggan dan ruko sebelah.
"Ara, kembalikan boneka ini" Sally menarik boneka yang dipeluk Ara erat. Namun, Ara mempertahankan boneka sekuat tenaga.
"Dek, boneka ini memang milik Laras, sebaiknya kamu kembalikan" Widodo tiba-tiba berdiri dan mendekati Ara.
Semua mata berpaling ke arah Widodo.
...~Bersambung~...
udh blik aj ma bini mu kng dodol dn coba bgun bisnis mu yg lain stlh sukses bhgiain larass ank mu....
mknya cuss krja bikin kmu sukses dn bhgiain laras....doll...
sekarang baru merasakan widodo, dulu kemana hati nuranimu menelantarkan sri n laras anak kandungmu