Prolog
Hujan deras mengguyur malam itu, membasahi jalanan berbatu yang dipenuhi genangan air. Siena terengah-engah, tangannya berlumuran darah saat ia berlari melewati gang-gang sempit, mencoba melarikan diri dari kematian yang telah menunggunya. Betrayal—pengkhianatan yang selama ini ia curigai akhirnya menjadi kenyataan. Ivana, seseorang yang ia anggap teman, telah menjebaknya. Dengan tubuh yang mulai melemah, Siena terjatuh di tengah hujan, napasnya tersengal saat tatapan dinginnya masih memancarkan tekad. Namun, sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak akan mati begitu saja.
Di tempat lain, Eleanor Roosevelt menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat tanpa kehidupan, seolah dunia telah menghabisinya tanpa ampun. Sebagai istri dari Duke Cedric, ia seharusnya hidup dalam kemewahan, namun yang ia dapatkan hanyalah kesepian dan penderitaan. Kabar bahwa suaminya membawa wanita lain pulang menghantamnya seperti belati di dada
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 - Mempersiapkan Diri
Eleanor menatap bayangannya di cermin besar yang terpajang di dalam kamar. Tubuhnya yang kurus tampak rapuh, kulitnya masih terlihat pucat, dan matanya yang dulu kosong kini mulai memancarkan sedikit kehidupan.
Sejak menyadari bahwa dia tidak lagi menjadi Siena—mata-mata handal yang terlatih—Eleanor tahu bahwa dia harus menyesuaikan diri dengan tubuh barunya. Seberapa lemahnya tubuh ini, seberapa jauh batasannya, dan apakah dia bisa mengembalikan ketahanan fisiknya seperti dulu.
Dan itu dimulai dari hal yang paling dasar—pola makan.
Di kehidupan sebelumnya, Siena selalu memastikan dirinya mendapat asupan gizi yang cukup untuk menunjang fisiknya. Tapi Eleanor Roosevelt? Tubuh ini jelas kurang gizi, makanan yang dia konsumsi mungkin asal-asalan, atau mungkin dia bahkan sengaja dibiarkan kelaparan.
Eleanor menarik napas panjang sebelum menekan bel kecil di samping tempat tidurnya. Tak lama kemudian, seorang pelayan masuk dan menundukkan kepala.
“Ya, Nyonya?”
“Siapkan makanan bergizi untukku mulai hari ini. Tidak perlu terlalu mewah, tapi pastikan ada daging dan sayuran segar.”
Pelayan itu tampak sedikit terkejut. Biasanya, Eleanor hanya makan sedikit, bahkan terkadang melewatkan makan. Tapi dia tidak berani membantah dan segera mengangguk.
“Baik, Nyonya. Saya akan menyampaikannya ke dapur.”
Eleanor mengangguk, lalu membiarkan pelayan itu pergi.
Setelah memastikan tubuhnya mendapat nutrisi yang cukup, tahap berikutnya adalah mengasah kembali kemampuannya.
Saat malam tiba, Eleanor mengenakan pakaian yang lebih ringan dan nyaman, lalu pergi ke taman belakang, tempat yang jarang dilalui orang.
Dia mulai dengan peregangan sederhana, menggerakkan bahunya, melenturkan kakinya. Rasanya aneh, seperti menggunakan tubuh yang bukan miliknya sendiri. Setiap gerakan terasa kaku, kurang luwes.
“Tubuh ini benar-benar payah...” gumamnya sambil menghela napas.
Tapi dia tidak akan menyerah begitu saja.
Eleanor mulai melakukan beberapa gerakan dasar—berlatih keseimbangan, ketahanan, dan sedikit latihan kekuatan. Tubuhnya cepat lelah, keringat mulai membasahi dahinya, tapi dia terus memaksakan diri.
Dia harus kuat.
Karena dia tahu, ini baru permulaan.
Tanpa dia sadari, dari jendela lantai atas, seseorang tengah mengamatinya dalam diam.
Mata tajam itu menatap gerakan Eleanor dengan penuh perhatian.
“Sejak kapan dia...” Cedric bergumam pelan, matanya menyipit saat melihat wanita itu berlatih di tengah malam.
Wanita yang biasanya begitu lemah dan tunduk itu kini terlihat berbeda.
Dan itu membuatnya penasaran.
Eleanor mengatur napasnya, menenangkan detak jantungnya yang berpacu lebih cepat dari biasanya. Tubuh ini lebih rapuh dari yang dia duga, tapi itu bukan alasan untuk menyerah.
Dia mengangkat lengannya, merentangkannya ke depan, lalu menariknya kembali perlahan. Gerakan sederhana ini dulu terasa ringan baginya, tapi sekarang setiap otot di tubuhnya seperti berteriak. Siena terbiasa dengan tubuh yang gesit dan kuat, tapi Eleanor Roosevelt? Dia hanyalah wanita lemah yang bahkan bisa tumbang hanya karena angin dingin.
"Aku harus membiasakan diri..." gumamnya.
Malam semakin larut, udara dingin menusuk kulitnya, tapi Eleanor tetap bertahan. Dia mulai melakukan gerakan lain—berjalan mundur dan maju dengan keseimbangan yang lebih stabil, melatih refleksnya dengan melompat ringan ke samping, dan mencoba menyesuaikan tempo tubuhnya dengan ingatannya sebagai Siena.
Namun, sebuah kesalahan kecil membuatnya kehilangan keseimbangan.
"Tch—!"
Tubuhnya terhuyung, dan dalam sekejap dia jatuh ke tanah. Eleanor menggertakkan giginya, menahan rasa sakit yang menjalar dari lututnya.
"Hmph. Seharusnya aku memperhitungkan ini."
Alih-alih merasa frustrasi, Eleanor justru tersenyum tipis. Dia tidak marah pada dirinya sendiri, dia hanya sadar bahwa butuh waktu untuk mengembalikan semuanya.
Dia mengangkat wajahnya ke langit malam, menatap bintang-bintang yang bersinar redup.
"Aku pasti bisa," ucapnya dalam hati.
Tanpa Eleanor sadari, sepasang mata tajam masih terus mengamatinya dari lantai atas.
Cedric menatap pemandangan itu dengan ekspresi datar, tapi dalam benaknya, muncul satu pertanyaan besar—Apa yang sedang dilakukan wanita itu?
Wanita yang biasanya terlihat seperti boneka tanpa kehidupan, kini tampak berbeda. Dia berkeringat, jatuh, lalu bangkit lagi. Bukan sifat Eleanor yang dia kenal.
"Menarik," gumamnya.
Untuk pertama kalinya, Duke Cedric benar-benar memperhatikan istrinya.
suka banget sama alurnya, pelan tapi ada aja kejutan di tiap bab...
lanjut up lagi thor