Ketika Akbar tiba-tiba terbangun dalam tubuh Niko, ia dihadapkan pada tantangan besar untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru yang sama sekali berbeda. Meskipun bingung, Akbar melihat kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih baik sambil berusaha mempertahankan identitasnya sendiri. Dalam prosesnya, ia berjuang meniru perilaku Niko dan memenuhi harapan keluarganya yang mendalam akan sosok Niko yang hilang.
Di sisi lain, keluarga Trioka Adiguna tidak ada yang tau kalau tubuh Niko sekarang bertukar dengan Akbar. Akbar, dalam upayanya untuk mengenal Niko lebih dalam, menemukan momen-momen nostalgia yang mengajarinya tentang kehidupan Niko, mengungkapkan sisi-sisi yang belum pernah ia ketahui.
Seiring berjalannya waktu, Akbar terjebak dalam konflik emosional. Ia merasakan kesedihan dan penyesalan karena mengambil tempat Niko, sambil berjuang dengan tanggung jawab untuk memenuhi ekspektasi keluarga. Dengan tekad untuk menghormati jiwa Niko yang hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Farhan Akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertekad Penuh
Dengan langkah ragu, Akbar melangkah keluar dari kamar. Begitu membuka pintu, dia disambut oleh suasana sibuk di rumah.
Pelayan-pelayan berlarian dari satu sudut ke sudut lain, membersihkan, menyiapkan sarapan, dan mengatur barang-barang. Rumah ini memang terlihat megah, dengan banyak tangan yang mengurus segala sesuatunya.
Ruang Tamu – Kediaman Trioka Adiguna
Maya: (dari ruang tamu) “Niko! Sudah siap? Cepat, kamu sudah telat!”
Akbar merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia melangkah ke ruang tamu dan melihat Maya, yang tampak ceria tetapi sedikit khawatir.
Akbar: “Mamah, aku… eh, Niko sudah siap.”
Maya: “Bagus! Ini roti, makan di mobil saja. Sekarang cepat!”
Akbar mencoba tersenyum, meski hatinya berat. Sebuah panggilan dari jiwanya yang hilang mengingatkannya akan tanggung jawab yang kini dipikulnya.
Akbar: “Iya, Mamah. Aku akan berusaha.”
Maya memperhatikan Akbar dengan penuh kasih, tidak menyadari perasaan yang membebani jiwanya.
Saat mereka menuju mobil, Akbar melihat Ria dengan sepertinya seorang baby Sister bermain di halaman. Ria, yang berusia 10 tahun, berlari mendekatinya.
Ria: “Kak Niko! Kakak terlihat keren sekali hari ini!” (matanya bersinar melihat seragamnya)
Tanpa berpikir, Akbar mencubit pipi Ria dengan bercanda.
Akbar: “Iya, terima kasih, Ria!”
Namun, Ria terkejut dan langsung menangis. Dia berlari ke arah Maya, menangis sambil menyebut nama ibunya.
Ria: “Mamah! Kak Niko cubit aku!”
Maya segera merangkul Ria, wajahnya terlihat khawatir
Maya: “Niko, kenapa kamu melakukan itu? Ria hanya bercanda!”
Akbar merasa bersalah dan bingung.
Akbar: “Mamah, aku cuma bercanda. Maaf, Ria!”
Ria masih terisak, dan Maya berusaha menenangkan putrinya.
Maya: “Sudahlah, sayang. Kakak tidak bermaksud jahat. Kak Niko sayang sama kamu.”
Akbar berusaha berpikir positif. Dia menggigit rotinya, tetapi rasa bersalah masih membayangi pikirannya. Mungkin dia harus lebih hati-hati ke depannya.
Tiba-tiba, Mang Toing, sopir setia keluarga Trioka Adiguna, menghampiri Akbar dengan wajah penuh semangat.
Mang Toing: “Den Niko, ayo cepat! Kita bisa telat. Saya takut dimarahin Tuan Bastian!”
Akbar mengangguk, merasakan kegugupan di dalam dirinya. Dia melangkah keluar menuruni tangga dan melihat sebuah Mercedos Benzo berwarna putih keluaran terbaru menanti mereka. Mobil itu berkilau di bawah sinar matahari, tampak sangat elegan dan mewah.
Sambil berjalan menuju mobil, Akbar juga memperhatikan 3 mobil lain di dekatnya, masing-masing dengan logo mewah yang menambah suasana glamor rumah ini.
Dalam hati, Akbar merasa terpesona, tetapi sekaligus cemas. Ini semua terasa begitu asing bagiku...
Akbar: (dalam hati) Apakah aku benar-benar bisa menjalani kehidupan ini?
Saat mereka masuk ke dalam mobil, Mang Toing membantu Akbar masuk dengan sopan.
Ketika mobil melaju, Akbar merasa perlu mengubah suasana hatinya. Dia membuka jendela mobil dan melambaikan tangan sambil memberikan senyuman manis kepada Ria yang kini tampak lebih tenang setelah tangisannya reda.
Akbar: “Hai, Ria! Semangat ya!”
Ria membalas dengan senyuman lebar, matanya berbinar ceria.
Ria: “Kak Niko! Semangat juga!”
Maya: (sambil mencium pipi Ria) “Tuh, Kak Niko sebenarnya sayang sama kamu, Ria. Dia hanya bercanda.”
Ria mengangguk, senyumnya semakin lebar.
Ria: “Iya, Mamah! Kak Niko sayang sama aku!”
Mobil melanjutkan perjalanannya menuju sekolah, sementara Akbar bertekad untuk lebih mengenal adik-kakaknya dan menjadi sosok yang dapat mereka andalkan. Dia ingin menciptakan kenangan baru yang akan selalu dikenang, tidak hanya bagi dirinya tetapi juga bagi keluarga Trioka Adiguna
Di dalam mobil, Akbar menghela napas panjang. Dia merasakan beratnya tanggung jawab yang kini dipikulnya.
Suasana di dalam mobil terasa hangat, tetapi pikirannya berputar cepat, mengingat betapa banyak yang harus dia pelajari tentang kehidupan Niko dan keluarganya.
Akbar: (dalam hati) Aku harus berpikir secara tenang. Jika ingin menjalani peran ini dengan baik, aku harus benar-benar menjiwai.
Dia menatap ke luar jendela, mencoba meresapi setiap detail yang berlalu. Jalan yang ramai, gedung-gedung megah, dan aktivitas orang-orang di sekelilingnya seolah memberi pelajaran baru. Salah satu hal yang membuat Akbar takjub adalah dia harus melewati Jembatan yang besar dan luas seperti berjalan di tengah Lautan yang luas.
Akbar bertanya dalam pikirnya, "Tempat ini menakjubkan."
Semua itu mengingatkannya bahwa hidup di dunia glamor ini bukan hanya tentang penampilan, tetapi juga tentang hubungan dan tanggung jawab.
Dengan setiap hembusan napas, dia bertekad untuk tidak hanya menjadi pengganti Niko, tetapi juga untuk menghormati ingatannya dengan menjadi versi terbaik dari diri sendiri.
Akbar: (dalam hati) Aku bisa melakukan ini. Aku harus melindungi keluarganya dan membuat mereka bangga.