Berangkat dari cinta manis di SMA, Daris dan Felicia duduk bersanding di pelaminan.
Perkawinan mereka hanya seumur jagung. Felicia merasa tertipu dengan status sosial Daris. Padahal Daris tidak pernah menipunya.
Dapatkah cinta mengalahkan kasta, sementara berbagai peristiwa menggiring mereka untuk menghapus jejak masa lalu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon grandpa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pejuang Kehidupan
Daris melangkah lunglai melewati gang rumah petak yang sunyi. Ia sengaja pulang cukup malam untuk menghindari kecurigaan tetangga. Pasti riuh pertanyaan yang menyesakkan hati.
Daris enggan pulang kalau tidak ingat tanggung jawabnya. Ia mesti berjualan untuk menghidupi ibu dan dua adiknya.
Keluarga Daris terbilang mapan di antara warga sekitar. Rania kuliah di fakultas kedokteran universitas negeri ternama. Alvian sebentar lagi lulus dari SMA unggulan, dan bersiap masuk Akmil. Ia terobsesi menjadi TNI.
"Mereka generasi strawberry berkulit melon," puji Daris kagum. "Tangguh menghadapi kekurangan. Mereka rela menahan lapar demi memenuhi kebutuhan sekolah."
Ibu Daris memanfaatkan harta tersisa untuk membeli rumah petak di pinggiran kota, sebagian untuk modal usaha.
Mereka cepat akrab dengan lingkungan. Tapi warga tak ada yang tahu sejarah keluarga mereka. Sejak dulu mereka jarang bercerita. Buat apa?
Daris bersyukur mempunyai adik mengerti keadaan keluarga. Mereka mampu menyesuaikan diri dari lingkungan wangi parfum ke lingkungan wangi keringat.
"Aku bangga mereka dapat menerima kenyataan baru," kata Daris terharu. "Mereka bahkan membantu diriku berjualan kalau libur panjang. Padahal mereka biasa traveling ke Eropa."
Untuk hari-hari biasa, Daris melarang mereka berjualan. Ia ingin adiknya fokus belajar. Setiap akhir pekan ia meminta mereka refreshing ke tempat hiburan yang terjangkau oleh kantongnya.
Urusan mencari nafkah adalah tanggung jawabnya sebagai pengganti almarhum Ayah. Darlis memutuskan berjualan soto mie, usaha kakek yang ditinggalkan ayahnya.
Daris menggunakan resep warisan yang masih disimpan ibunya.
"Barangkali Ayah kena karma karena meninggalkan usaha turun-temurun," keluh Daris sesak. "Padahal dengan berjualan soto mie, kakek mampu membeli tanah di kampung, membangun rumah bertingkat, dan menyekolahkan anak sampai sarjana."
Ada ujaran; semakin tinggi pohon semakin kencang angin menerjang. Itulah yang terjadi pada ayahnya, ia tidak kuat menahan hantaman badai.
Daris ingat betul wajah sekretaris yang menjadi istri muda. Waktu itu di dadanya menggelegak darah barbar dan sempat berurusan dengan polisi.
"Aku berusaha melupakan dendam untuk bertahan hidup," kenang Daris. "Aku pasti kehabisan waktu untuk bangkit."
Sekarang usaha Daris sudah maju untuk ukuran orang pinggiran. Rumah direnovasi sehingga layak huni. Perabotan komplit. Motor tiga untuk aktivitas mereka, dan satu mobil pick up buat belanja.
Ibunya terkejut saat membuka pintu pada ketukan ketiga. Pada kerutan di wajah terlihat sisa-sisa kecantikan bintang film terkenal di jamannya.
"Kau pulang larut sekali."
Ibunya mengikuti Daris berjalan ke sofa dan duduk di depannya. Ia tidak bertanya meski rasa penasaran menyelubungi hatinya.
Daris pulang tanpa istrinya. Membawa travel bag. Wajah lusuh. Pasti terjadi hal yang luar biasa.
"Kamu sudah makan?" tanya ibunya. "Aku hangatkan dulu sayurnya."
"Tidak usah," jawab Daris. "Aku sudah makan."
"Mau dibuatkan teh manis?"
"Aku capek kepingin istirahat. Besok harus jualan."
"Jualan?" pandang ibunya penuh selidik. "Bukankah kau mestinya pergi bulan madu?"
"Barangkali aku durhaka sama Ibu," keluh Daris lesu. "Balasannya langsung diterima di dunia."
Ibunya tersenyum lembut. "Aku sendiri tidak mau menghadiri resepsi pernikahanmu. Adikmu juga. Aku khawatir kehadiranku merusak acara. Di antara mereka pasti ada yang mengenalku."
"Memangnya kenapa ada yang mengenal Ibu? Takut mendapat santunan? Bintang film terkenal jadi janda miskin."
"Nah, kamu tahu alasannya kalau kita bukan lagi keluarga jet set. Pernikahanmu pasti berantakan kalau ada yang tahu keadaan sebenarnya."
"Felicia tahu kalau aku bukan pengusaha soto mie."
"Kamu pengusaha soto mie, kamu bekerja pada diri sendiri, cuma...."
"Cumanya itu jadi masalah besar bagi Felicia. Aku dan Felicia sepakat pisah ranjang. Tapi aku minta Ibu merahasiakan dari Rania dan Alvian, dari tetangga juga."
Daris berusaha menutupi kejadian sebenarnya. Ia kuatir ibunya jatuh sakit kalau tahu dirinya diusir dari mansion.
Sekarang saja ibunya terlihat sangat sedih.
"Maafkan Ibu. Ibu sudah mendesakmu untuk segera menikah. Ibu ingin kamu memikirkan dirimu sendiri, bukan hanya memikirkan adikmu. Ibu kira doa Ibu terkabul saat kamu mendapatkan istri yang demikian sempurna, ternyata hanya membuatmu menderita."
"Aku malu pada diriku sendiri," kata Daris sesak. "Seharusnya aku tidak mengikuti permainan konyol itu."
"Mereka ingin melihatmu bahagia, seperti Ibu, meski caranya salah."
"Kesalahan Ibu dan bestie ku adalah mengira aku sengsara hidup sendiri. Tapi aku tidak menyalahkan siapa-siapa."
"Baiknya jangan jualan dulu. Kau perlu menenangkan pikiran."
"Aku sulit menenangkan pikiran kalau tinggal di rumah."
Daris tidak sudi meratapi kegagalan cintanya dengan bermalas-malasan di rumah.
Perkawinan kilat ini adalah satu ombak besar dari beribu ombak yang menghantam biduk dalam mengarungi samudera kehidupan. Ia mesti siap menghadapi.
"Kau bisa menggunakan tabungan keluarga untuk pergi liburan."
"Tabungan itu untuk Alvian masuk Akmil."
"Ada perhiasan Ibu."
"Jangan pernah berpikir untuk menjual mas kawin dari almarhum Ayah. Ibu harus menjaganya sampai sisa umur habis."
Daris sebetulnya keberatan sebagian perhiasan dijual untuk mas kawin pernikahannya, seperti halnya pindah ke rumah petak ini karena harus menjual rumah peninggalan ayahnya.
Tapi Daris tak pernah tega melihat air mata ibunya.
"Kamu butuh kekuatan baru untuk mengembalikan kehidupanmu," kata ibunya. "Dapatkah ditemukan di keramaian Alun-alun?"
"Aku cuma perlu menghadapi diri sendiri," sahut Daris. "Mereka tidak boleh tahu cerita cintaku. Aku bercerita kepada Ibu supaya tidak beharap banyak dari perkawinan itu."
"Aku tidak berharap banyak, aku hanya ingin melihat anakku bahagia. Aku tahu perempuan itu yang menghalangi cintamu kepada perempuan lain."
Daris tidak membantah, juga tidak mengakui. Hanya sedikit perempuan yang memenuhi kriteria, dan makin sulit mendapatkan dengan kondisi sekarang.
Felicia adalah satu dari sedikit perempuan itu, tapi pintu sudah tertutup. Daris tidak mau CEO itu bertambah benci jika ia bersikeras untuk kembali.
"Biarlah air mengalir sesuai kehendaknya," kata ibunya. "Kau tak ada kekuatan untuk menahannya. Janganlah kau benci."
"Aku pergi berlayar atas nama masa lalu. Aku ingin sedikit menyisakan kenangan manis di antara kepingan hati."
Meski kejadian itu sangat menghinakan dirinya, bukan berarti segalanya mesti berakhir dengan kebencian.
Kebencian hanya membuat dirinya makin terpuruk dalam kehancuran. Daris mesti segera menemukan lentera hidupnya kembali.
Sejak kejatuhan orang tuanya, Daris sering menerima perlakuan yang mengiris harga diri. Ia menjadikan irisan itu sebagai kepingan puzzle untuk membangun jati diri yang lebih kokoh. Ia yakin satu hal, roda kehidupan berputar di jalan berbeda.
"Kak Daris kok pulang sendiri?" tanya Rania heran. Ia keluar kamar untuk mengambil minuman di kulkas. Udara musim kemarau kering sekali. Kipas angin tak mampu mendinginkan. "Kak Felicia pasti tidak mau tinggal di rumah petak."
Daris tersenyum kecil. "Bukan tidak mau. Mobilnya parkir di mana? Besok ia harus ngantor."
"Terus kakak kenapa pulang? Pengantin baru itu harus tinggal satu rumah."
"Sok tahu kamu. Aku sudah empat hari tidak jualan. Kalau tinggal di mansion, aku mesti berangkat lebih pagi, repot."
"Pikirkan saja bulan madu. Jualan urusanku."
"Kau tidak sempat belajar di warung, sibuk melayani pelanggan. Sudahlah. Jangan pikirkan kakakmu."
"Aku jadi merasa membebani kakak."
"Aku justru merasa bersalah pada kalian, belum bisa mengembalikan kehidupan kalian seperti dulu."