selingkuhan suamiku merampok semua hartaku dan papaku, suamiku berubah saat bertemu wanita iblis bernama Syifa, aku tidak menyangka perubahan sikap yang ditunjukkan oleh suamiku karena pengaruh guna-guna wanita iblis bernama Syifa itu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rika ananda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Richard diusir dari rumah oleh Alice
Richard mengerutkan kening, matanya terpaku pada koper besar yang tergeletak di teras rumahnya. Koper itu berisi pakaian-pakaiannya, pakaian yang biasa dia gunakan untuk perjalanan bisnis. "Alice?" panggilnya, suaranya sedikit gemetar.
Ia mengetuk pintu, sekali, dua kali, tiga kali. Tak ada jawaban. Ia mencoba memutar kenop pintu, namun terkunci. "Alice, buka pintunya!" pintanya, suaranya mulai meninggi.
Hati Richard berdebar kencang. Kenapa Alice mengunci pintu? Apa yang terjadi? Apakah dia marah padanya? Atau... apakah dia sudah pergi?
Richard mencoba mengingat kejadian terakhir kali mereka bersama. Apakah ada pertengkaran? Apakah ada kata-kata kasar yang terlontar? Ia tak ingat. Ingatannya terasa buram, seperti diselimuti kabut.
Richard berjalan gontai mendekati mobilnya, koper berisi pakaiannya digenggam erat di tangannya. Langkahnya berat, seakan terbebani oleh beban yang tak terlihat. Pandangannya tertuju pada tanah, menghindari tatapan Alice yang masih membara amarah.
Alice masih berdiri di ambang pintu, punggungnya tegak, matanya masih tertuju pada punggung Richard yang semakin menjauh. Amarah membara di dadanya, menggerogoti hatinya. Bayangan kejadian di hotel itu kembali berputar di kepalanya, membuatnya semakin geram.
"Brengsek!" desisnya, suaranya serak. "Aku tidak akan pernah memaafkanmu!"
Richard membuka pintu mobilnya, melemparkan koper ke dalam, lalu masuk dan menutup pintu dengan keras. Ia menyalakan mesin, lalu melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Pandangan Alice masih tertuju pada mobil Richard yang semakin menjauh. Ia mengepalkan tangan, menahan amarah yang ingin meledak. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Ia hanya tahu, ia tidak bisa lagi hidup bersama Richard.
"Aku akan melupakanmu," gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku akan melupakanmu dan semua yang terjadi."
Ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia harus berpikir jernih. Ia harus mencari tahu apa yang terjadi.
"Alice!" teriaknya sekali lagi, kali ini dengan nada lebih keras.
Namun, hanya keheningan yang menjawabnya.
Pintu terbuka dengan kasar, menampakkan wajah Alice yang dingin dan penuh amarah. Matanya merah, seperti baru menangis. Bibirnya terkatup rapat, menahan amarah yang siap meledak.
"Apa yang kau lakukan di sini?" desisnya, suaranya serak.
Richard terdiam, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Alice, apa yang terjadi?" tanyanya, suaranya gemetar.
Alice menunjuk koper yang tergeletak di teras. "Ambil itu! Keluar dari rumahku!"
Richard tercengang. "Alice, aku—"
"Diam!" Alice memotong ucapannya, matanya menyala-nyala. "Aku sudah melihat semuanya. Kau berselingkuh! Di hotel itu! Aku tidak bisa mempercayai mata kepala sendiri!"
Richard terdiam, tak mampu berkata-kata. Ingatan Alice tentang pemandangan di hotel itu masih terngiang di benaknya. Bayangan Richard yang berpelukan mesra dengan wanita lain, bayangan yang membuatnya mual.
"Keluar!" Alice berteriak, suaranya bergetar. "Aku tidak ingin melihatmu lagi!"
Richard terhuyung mundur, matanya berkaca-kaca. Ia tak tahu harus berkata apa. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa terdiam, terpaku di tempatnya, melihat Alice menutup pintu dengan kasar, meninggalkan dirinya sendirian di teras.
Mobil Richard menghilang di balik tikungan, meninggalkan Alice sendirian di teras rumahnya. Ia terpaku di tempatnya, matanya kosong, tertuju pada titik di mana mobil Richard terakhir terlihat.
Sejenak, Alice terdiam, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Rumah tangganya, yang selama ini ia jaga dengan penuh kasih sayang, hancur berkeping-keping.
Tiba-tiba, air mata mengalir deras di pipinya. Ia menangis sejadi-jadinya, tubuhnya bergetar hebat. Tangisnya pecah, melepaskan semua rasa sakit, kekecewaan, dan amarah yang terpendam selama ini.
Ia membalikkan badan, lalu membanting pintu dengan keras, seakan ingin melampiaskan semua amarahnya pada pintu itu. Ia terduduk di lantai, tubuhnya lemas, air matanya terus mengalir deras.
"Kenapa?" gumamnya, suaranya teredam oleh tangisnya. "Kenapa harus seperti ini?"
Alice tak menyangka, rumah tangganya yang selama ini ia jaga dengan penuh cinta, hancur begitu saja. Ia tak tahu harus berbuat apa, harus kemana. Ia merasa sendirian, terpuruk dalam kesedihan yang mendalam.