Izinkan Aku Menjadi Orang Ketiga

"Hiks.."

Terdengar suara isak tangis seseorang yang sedang duduk di halte bus. Dia menangis sejak tadi karena merasa kesal akan kejadian tadi.

Seperti yang kalian tahu, seseorang yang menangis sejak tadi itu adalah Laura. Dia di pecat oleh manajer kafe tempat dia bekerja beberapa jam yang lalu.

Bisa di bilang kesalahan yang dia lakukan adalah karena telah mengotori pakaian mahal milik seseorang yang tak lain adalah Vina istri Dimas.

"Sialan hah! Ternyata dosen gebetan gue sudah menikah. Arrrgghh mana malu lagi kalau di ingat-ingat tentang kejadian tadi saat di kafe." Merengek kesal.

"Sayang banget tuh laki dapetin istri yang arogan dan menyebalkan, kalau aku jadi pak Dimas. Sudah ku sered tuh si nenek lampir keluar kafe." Gerutu Laura dengan kesal karena tidak bisa meluapkan emosinya tadi.

Laura pun menyeka dengan kasar air matanya, dan mencoba berjalan kembali hingga sampai di tempat yang dia tuju yaitu rumahnya sendiri.

30 menit kemudian.

Tok.. Tok.. Tok..

Laura mengetuk pintu rumahnya dengan wajah lesu. Dia masih belum bisa bersemangat dan bisa di bilang ,dia masih kesal.

Ceklek.

Pintu rumah pun terbuka, seseorang menyambut kedatangan Laura yang tak lain adalah sang kakak, yaitu Revan kakak kandung Laura.

"Sudah pulang dek?" Ucapnya bertanya lembut pada Laura.

Laura hanya bisa memaksakan dirinya untuk tersenyum dan tak menunjukkan kesialannya hari ini pada sang kakak. "Sudah kak, apa kakak sudah makan?" Tanyanya.

"Kakak berniat makan sore bersama denganmu, jadi kakak menunggumu pulang dan menyiapkan makanan kesukaanmu yaitu nasi goreng."

Mata Laura langsung berkaca-kaca kala dirinya mendengar sang kakak memberikan perhatian yang luar biasa.

Ada apa dengan Laura, kenapa dia merasakan sedih saat ini. Jika kalian ingin tahu yang sebenarnya kaki kirinya Revan saat ini dalam keadaan cacat. Saat itu kejadian yang luar biasa terjadi dan menimpa keluarganya.

Sebelum kejadian dimana orang tua Laura meninggal. Saat itu mereka berada di rumah dalam keadaan tertidur lelap.

Tiba-tiba, suara ledakkan pun terjadi di dapur. Gas yang selalu mereka gunakan tiba-tiba meledak dengan hebat. Api yang besar langsung melahap habis bagian dapur bahkan merambat ke ruang tamu.

Mereka berempat, mencoba menyelamatkan diri. Namun sayang, karena asap yang tebal membuat orang tua Laura kehabisan oksigen dan menghirup asap tebal karena ledakan tersebut.

Saat itu juga, orang tua Laura meninggal di tempat dalam keadaan tubuh terpanggang. Sedangkan itu, Revan yang panik pun teringat sang adik yaitu Laura yang berada di kamar sebelah.

Revan mencoba menyelamatkan Laura dengan menggedor pintu kamarnya hingga terbuka, di situ Laura sudah tergeletak pingsan karena menghirup abu asap yang tebal.

Saat itu dengan sigapnya Revan, langsung menggendong sang adik dan mencoba membawanya keluar rumah. Namun sayangnya, ketika dia berlari menyelamatkan diri, dia terjatuh dan kakinya tertimpa benda reruntuhan, yang sekarang menyebabkan kaki kirinya cacat.

Saat teringat kejadian itu, Laura pun menangis. "Hiks.. Kakak, maafkan aku!" Langsung memeluk Revan dengan erat.

Revan langsung terkejut ketika sang adik tiba-tiba memeluknya dan menangis. "Dek, ada apa? Apa yang terjadi, kenapa kamu menangis?" Panik.

"Gak papa kak, terima kasih karena kakak bertahan untukku dan sudah menyelamatkanku saat itu.

"Astaga kukira kenapa. Dek.. Kamu satu-satunya keluarga kakak, jadi kita harus bertahan dan selalu tersenyum walau apapun keadaan kita." Menangkup wajah sang adik sembari menyeka air matanya.

Laura langsung mengangguk cepat. "Ayo kita makan bersama. Sebentar lagi aku harus berangkat kerja lagi."

****

Sementara itu, di tempat lain.

"Bisakah kamu mengontrol emosimu, Vina?" Ucap Dimas dengan bernada tinggi.

"Loh, kok kamu nyalahin aku sih mas? Pegawai ceroboh itu yang berulah dan membuat pakaianku kotor begini!" Pekiknya tak terima.

Dimas pun memijit pelipisnya dengan wajah sedikit kesal. "Apa kau tau, apa yang membuatku menyalahkanmu? Kamu ini punya banyak uang,bahkan kamu bisa membeli pakaianmu yang kotor ini dengan uang triliunanmu. Sedangkan wanita tadi, dia hanya pegawai kafe yang bekerja mati-matian dengan uang tak seberapa bahkan tak bisa mengganti pakaianmu ini."

"Mas, kenapa kamu--"

"Bahkan dia sudah meminta maaf, jika kau sama salahnya, harusnya kau tak mempermasalahkan ini semua sehingga membuatnya di pecat dari pekerjaanya!" Ucap Dimas langsung memotong pembicaraan.

Tangan Vina langsung mengepal, dia tak habis fikir pada sikap suaminya yang malah membela pegawai ceroboh tadi.

"Apaan sih mas!! kau membela orang lain di depan istrimu. Memangnya dia wanita istimewa bagimu, hah?!" Pekik Vina dengan kesal.

Degh.

Dimas langsung terdiam dan mengalihkan pandangannya. Entah apa yang terjadi padanya sehingga membuat dirinya marah seperti kerasukan hantu harimau jantan.

"Ayah.. Ibu.. Berhentilah bertengkar!" Ucap gadis kecil sambil menitikan air matanya.

Vina dan Dimas pun langsung menoleh bersama. Dia tidak tau jika putrinya tersebut mendengar pembicaraannya sejak tadi.

"Sayang.. Kau sudah bangun nak?" Ucap Vina sambil mendekati Amelia.

"Hiks.. Kalian membuatku takut." Menangis

"Sial, aku malah membuat putriku menangis. Arrrgghh apa yang terjadi padaku sih! Kenapa aku sampai semarah ini." Gerutu hatinya dengan kesal.

"Maafkan ayah nak, ayah tak bermaksud membuatmu menangis." Mencoba menyentuh tangan Amelia.

Plakkk.

"Ayah jahat, aku tidak mau bicara pada ayah lagi." Pekiknya sambil berlari ke arah kamar.

"Lihat kan mas, gara-gara kamu yang marah-marah gak jelas, membuat Amelia terbangun sampai menangis." Ucap Vina menyalahkan Dimas

"Terserah lah, aku pusing. Malam ini aku akan tidur di apartemen saja!" Berjalan pergi ke arah pintu keluar.

"Hei mas, tunggu. Jangan pergi!!"

Bersambung.