NovelToon NovelToon
Hidup Yang Tidak Terpenuhi

Hidup Yang Tidak Terpenuhi

Status: tamat
Genre:Tamat / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Keluarga
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Rifaat Pratama

Menganggur selama 3 tahun sejak aku lulus dari Sekolah Menengah Atas, aku tidak mengetahui ada kejadian yang mengubah hidupku.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifaat Pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 4

Aku menarik wajahku dan dahiku mengkerut secara reflek karena ucapannya, aku memandangnya dengan tatapan aneh untuk beberapa saat. Hal itu membuatku sedikit terkejut, bagaimana bisa dia mengajak seseorang yang baru saja dia temui untuk pergi bersama.

Dengan perasaan bingung dan tidak ingin terlalu percaya diri, aku melihat ke sekitarku untuk melihat apakah dia berbicara kepada orang lain selain diriku. Namun, di lorong itu hanya ada kami berdua, yang dihimpit oleh rak-rak buku novel dengan segel plastik yang belum terbuka.

“Aku pengen minum kopi di kafe di atas, mereka punya Mocha Espreso yang enak dan aku ingin meminumnya.” Entah bagaimana kelihatannya wajahku saat memandang dirinya aneh. Tetapi dia terus berbicara seakan aku adalah temannya.

Aku tidak ingin terlihat kasar dan acuh tak acuh kepada seseorang yang mengajakku keluar. Namun, pikiran pertama yang terlintas di kepalaku adalah harga untuk memimum kopi di sebuah kafe. Aku yakin setidaknya aku akan menghabiskan 100 sampai 150 ribu hanya untuk membeli menu di sana.

Aku memang menyimpan sedikit uang untuk diriku, berjaga-jaga jika suatu saat aku perlu mengeluarkannya untuk sesuatu yang kubutuhkan. Namun, kopi bukanlah yang kubutuhkan saat ini dan aku juga bukan seseorang yang menyukai kopi walaupun aku sesekali meminumnya.

Tanpa memberi waktu untukku menjawab, Melissa mencoba menarik tanganku. Tetapi aku dengan cepat menghindarinya, membuat tangannya melayang begitu saja. Dia kemudian tampak terkejut dan mematung ketika melihat aku menarik tanganku, itu membuat diriku terlihat seperti seseorang tidak ingin disentuh oleh dirinya.

Wajahnya yang ceria seketika berubah menjadi gelap, senyumnya hilang menjadi wajah yang terkejut karena kebingungan. Aku tidak ingin membuat dirinya merasa tidak enak, jadi aku mengatakan: “Oh, sorry.”

Matanya melirik ke arahku, tetapi ekspresinya masih tidak berubah. Namun, beberapa saat kemudian dia kembali ceria.

“Oh engga, engga. Aku yang minta maaf.” Melissa tersenyum hingga putih giginya terlihat.

Dia berhasil membuat diriku merasa tidak enak untuk menolak. Jadi dengan sedikit rasa keterpaksaan aku menerima ajakannya untuk pergi ke kafe yang dia inginkan.

“Silakan, jalan duluan.” Aku membuat gestur seperti seorang penjaga pintu hotel yang menyambutnya, mempersilakannya jalan duluan di depanku.

Dia mengangguk dan tersenyum. Setelah dia berada beberapa langkah di depanku, aku mengikutinya dari belakang. Aku menjaga jarak darinya sekitar 2 langkah, jarak yang tidak terlalu dekat atau terlalu pendek. Tetapi dia berjalan sangat lambat, hingga membuatku kesulitan mengikuti langkahnya.

Saat keluar dari toko buku, dia berhenti dan menoleh ke belakang. Melihat dia berhenti, aku juga berhenti.

“Kamu ngapain? Ayo!” Dia melambaikan tangannya, mengajakku berjalan bersamanya.

“Iya, ayo, kamu duluan.” Aku kembali mempersilakannya dengan gerakan tanganku.

Baru berjalan beberapa langkah menuju tangga berjalan, dia kembali berbalik dan melihat ke belakang.

“Kamu jalannya jauh banget.” Kata Melissa.

“Gapapa, biar keliatan.” Entah apa yang

kupikirkan. Tetapi saat aku berjalan dengan wanita, naluriku seperti mengatakan bahwa aku harus berjalan di belakangnya agar aku bisa melindunginya dari segala arah.

Dia kemudian berjalan lagi, tetapi sialnya. Kerumunan orang yang ingin menaiki tangga berjalan mendorongku hingga aku berdiri tepat di samping Melissa saat tangga naik ke atas. Aku mencoba bersikap biasa saja, tetapi jarak yang terlalu dekat membuatku sedikit tidak nyaman. Jadi aku menyandarkan tubuhku ke sisi pegangan tangga berjalan untuk membuat jarak dengannya.

Ketika tangga berjalan itu bergerak, aku merasa tangga ini membutuhkan waktu yang sangat lama untuk membawa kami ke lantai atas. Aku tidak bisa terus bersandar ke sisi pegangan tangan karena ini sangat berbahaya. Namun tiba-tiba dia membuka pembicaraan denganku di atas tangga berjalan.

“Jadi, kamu nulis cerita tentang apa?” Dia menoleh ke arahku, menatap diriku menunggu jawaban.

“Fantasi.” Aku menjawab dengan menolehkan wajahku ke arahnya, untuk menunjukkan kesopananku. Setelah menjawab, aku kembali melihat ke arah bawah dan atas.

“Oh.. tentang apa itu?” Meskipun pertanyaannya terdengar mirip, aku tahu dia ingin mengetahui bagaimana jalan cerita yang kutulis. Yah lagi pula aku tidak keberatan untuk membocorkannya sedikit, aku juga belum menulis banyak. Hanya saja aku sudah menyiapkan ceritanya dari pertama sampai akhir di kepalaku.

“Tentang cowok terus ngelawan monster gitu, ada kekuatannya gitu. Pake pedang segala macem, masuk-masuk ruang bawah tanah. Kalau abis ngebunuh monster tar monsternya itu ngejatohin sesuatu biar bisa dijual.” Ini sepertinya kalimat terpanjang saat aku berbicara dengannya. Aku mengambil referensi cerita dari salah satu permainan yang aku mainkan dan ketika aku menceritakannya aku sudah siap dengan respon seperti. “Kaya cerita A ya, kaya cerita B ya.”

Dia mencolek lenganku, ketika tersentuh olehnya entah kenapa aku merasa malu dan senang bercampur sekaligus. “Eh kebetulan, aku juga gambar cerita kaya gitu di kartunweb.”

“Oh, kamu gambar di kartunweb?” Tanpa sadar aku mengikuti pembicaraannya.

“Iya, cuma masih buntu gitu sih, pusing ha ha.” Dia tertawa, aku mengerti perasaannya. Membuat karya seni terkadang memang membingungkan, tidak peduli bagaimana perasaan yang dialami atau kejadian yang dialami. Ketika otak tidak bisa menuangkannya ke dalam kanvas atau kertas terkadang kami jadi pusing sendiri.

Beberapa saat kemudian kami sampai di lantai atas, dia langsung menengok ke kiri. Ke sebuah kafe kopi yang memancarkan kehangatan saat pertama kali dilihatnya, nuansa coklat yang hangat memeluk setiap sudut ruangan. Seakan menciptakan suasana yang mengundang dan nyaman, dindingnya kayu alami dengan setengah kaca yang memberikan sentuhan estetik. Sementara lampu gantung dengan cahaya lembut menambah suasana yang dekat.

Kami berjalan mendekat. Di tengah ruangan, barista bersemangat dengan gerakan gesitnya, menciptakan karya seni dalam secangkir kopi yang harum. Aroma kopi yang menggoda menari di udara, menyentuh indera penciuman dengan kegembiraan yang tak terelakkan. Mesin espresso berdentum seperti irama yang membawa kehidupan ke tempat ini yang penuh semangat.

Kursi-kursi berwarna coklat yang nyaman menyambut pengunjung, mengundang mereka untuk duduk santai dan menikmati momen yang tenang. Di meja-meja kecil, laptop-laptop terbuka menciptakan pemandangan yang serba canggih dan sibuk, meskipun penuh dengan orang. Kafe ini tidak berisik dan semua orang menikmati makanan dan minuman mereka dalam diam, tidak ada tawa atau suara yang berlebihan di dalamnya.

Kafe ini seperti tempat yang cocok untuk merenung, bekerja atau sekedar menikmati segelas kopi sambil menyaksikan kesibukan yang berlalu di sekitar kota. Dengan suasana yang hangat dan ramah di tengah kota yang berisik dan sibuk, kafe ini seperti menjadi tempat istirahat untuk mereka yang ingin melupakan kegiatan di tengah kota.

“Ayo.” Melissa dengan semangat berjalan masuk ke dalam kafe.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!